Kenapa Kita Bermadzhab??? - Tempat Blogging

Kenapa Kita Bermadzhab???

بسم الله الرحمن الرحيم


ini ialah tulisan sahabat sekelas saya dulu waktu masih kelas satu, ada banyak kisah wacana goresan pena ini yang mungkin akan saya jelaskan dalam postingann berikutnya...InsyaAllah..

Kenapa kita bermadzhab? (Tanya Kenapa??)

Ehm, Sepertinya pertanyaan itu harus dirubah, “KENAPA KITA HARUS BELAJAR?”

Pernah ada orang yang berkata kepadaku, Madzhab Fikih yang ada kini sudah tidak orisinil lagi, madzhab yang ada tidak layak lagi disebut dengan madzhab Syafi`i dikarenakan telah mendapat perubahan-perubahan di dalamnya oleh para pengikut Imam Syafi`i, maka lebih tepatnya kalau disebut dengan Madzhab Syafi`iyah, atau madzhab para pengikut Imam Syafi`i.



Lalu ia menambahkan, kenapa kita tidak eksklusif berguru fikih dari kitab Al-Umm miliknya Imam Syafi`i kalau memang kita madzhab Syafi`i? itupun kita telah memalingkan pandangan kita dari Al-Qur'an dan Hadis, padahal kita diperintahkan untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis, merujuk kepada keduanya dalam segala segi kehidupan, dan bukan kepada kitab fikih yang notabene ialah karangan para ulama! Al-Qur'an dan Hadis tidak akan salah, namun ulama pasti akan salah!

Percakapan itu terjadi sekitar satu tahun yang lalu, ketika saya ikut ujian masuk di UIN Bandung sekian bulan sebelum kesudahannya saya berangkat ke Mesir. Dia juga calon mahasiswa sama sepertiku ketika itu. Dia berasal dari salah satu kawasan di Jawa Barat. Katanya dia mau ngambil jurusan Pendidikan Fisika, alasannya ialah memang dia lulusan STM.

Aku bertanya-tanya dalam diriku, bagaimana orang lulusan STM mengajariku seperti dia yang benar, padahal ketika itu saya juga gres lulus dari pesantren, setidaknya 8 tahun saya berputar-putar berguru di pesantren dan tidak pernah ada guruku yang bilang menyerupai itu. Akhirnya saya bertanya, “Antum berguru di mana? Berguru sama siapa?” dia menjawab, “Ana hanya baca-baca dari buku, sama ikut ‘dauroh’ yang kadang kala diadakan” Jreng!

Bukannya saya merasa lebih banyak ilmunya dari dia, tidak! Hanya saja, selama delapan tahun saya berguru fikih, membaca buku hingga sempat mengajar sebentar, tak pernah ada perkataan menyerupai itu. Aneh, dan yang mengucapkan ialah orang yang sekolahnya bukan di tempat ‘pengkhususan’ agama sepertiku! Dan sayangnya, ketika itu saya belum mempunyai jawaban, alasannya ialah pertanyaan itu gres saya dengar, maka saya hanya mengiyakan semua yang ia katakan, alasannya ialah perkenalan pertama kali lebih baik berjalan lancar dari pada saling berdebat. Akhirnya pertanyaan itu menjadi bekalku ke negeri ini, yang menciptakan saya belajar, mencari dan membaca. Setidaknya, inilah jawabanku. (Semoga kamu tidak bosan membaca hingga final ^_^)

Kawan, Jika kamu mendapat orang bertanya menyerupai ini, katakanlah “Kau melihat madzhab hanya dari kulit luarnya saja! 4 madzhab yang memang sekilas terlihat banyak mempunyai perbedaan, tapi kamu tidak mempelajari bagaimana permulaannya hingga menyerupai dikala ini.” Madzhab bukanlah ajaran yang berbeda-beda dan saling menyesatkan, madzhab bukan partai, ataupun pemecah belah umat muslim. Madzhab ialah tempat belajar, sarana, sandaran, dan jembatan dalam memahami Syari`at.

Perlu diketahui, bahwa perbedaan pendapat dan pemahaman ialah sebuah keniscayaan, alasannya ialah kemampuan bahasa, hafalan, pergaulan dan budaya antara satu kepala dan lainnya juga berperan. Dalam sebuah riwayat, diceritakan ketika dalam sebuah peperangan Rasulullah berkata kepada para sahabat “Jangan ada yang shalat ashar kecuali kalau kalian hingga di Bani Quraidzah!”. Ternyata, sebagian sahabat ada yang tetap melaksanakan shalat ashar di perjalanan, alasannya ialah kalau harus hingga ke tempat tujuan maka waktu ashar pasti sudah habis. Dan sebagian sahabat yang lain tetap meneruskan perjalanan dan gres shalat di tempat tujuan meski waktu sudah habis.

Mereka semua ialah para sahabat, pemahaman mereka juga berbeda. Golongan pertama memahami bahwa perkataan Rasulullah tadi ialah perkataan Rasulullah dengan kedudukannya seorang pemimpin perang supaya pasukan bergegas pergi ke tempat tujuan, dan bukan perkataan Rasulullah dalam kedudukannya ketika memberikan wahyu. Lalu golongan kedua tetap berjalan dan shalat ashar di tempat tujuan, mereka memahami bahwa apapun yang Rasulullah katakan haruslah diikuti, meski dia memerintahkan untuk mengakhirkan shalat ashar hingga hingga di tempat tujuan. Saat itulah, berdasarkan para ulama lahir dua kelompok besar yang akan berkembang pada zaman setelahnya, Ahlu Ra`yi dan Ahlu Hadis.

Masa Sahabat.

Setelah Rasulullah wafat hingga zaman Umar bin Khathab sebagian besar para sahabat masih menetap di Madinah, alasannya ialah Umar bin Khathab ketika itu melarang mereka keluar Madinah. Tujuan dia tidak lain ialah supaya ketika dibutuhkan, para sahabat bisa berkumpul untuk memecahkan suatu dilema yang belum terpecahkan oleh khalifah, itulah yang kita kenal belakangan dengan nama Ijma`.

Selama masa kekhalifahan Umar bin Khathab, kawasan yang dikuasai oleh pasukan muslim semakin bertambah luas, membentang dari Mesir ke Persia, Hijaz dan hampir seluruh Jazirah Arab hingga ke Yaman. Maka, daerah-daerah yang ditaklukan itu membutuhkan guru untuk membuatkan dan mengajarkan Islam di sana. Akhirnya semakin lama, para sahabatpun menyebar hingga ke daerah-daerah untuk mengajarkan apa yang telah mereka dapatkan dari Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam.

Beberapa sahabat yang masih menetap di Madinah di antaranya ialah Sayyidah `Aisyah, dan Abdullah bin Umar. Lalu yang tersebar di kawasan ialah Abdullah bin Abbas di Makkah, Abu Musa Al-Asy`ari dan Anas bin Malik di Bashrah, Abdullah bin Mas`ud di Kufah, Abdullah bin Amru bin Ash dan Abu Dzar Al-Ghifari di Mesir, dan masih banyak yang lainnya, mereka tersebar di aneka macam pelosok daerah.

Masa Tabi`in

Semakin lama, para sahabat yang menyebar tadi mempunyai banyak murid dan pengikut, maka dikala itulah populer istilah dua ajaran besar dalam dilema fikih.

Para Ahlu Ra`yi, mereka lebih memakai nalar dalam pemahaman tekstual, mereka bertempat di Kufah maka bisa dibilang kalau sumber hadis mereka sedikit alasannya ialah letaknya jauh dari Madinah. Sanad berguru mereka mengerucut kepada Abdullah bin Mas`ud sebagai guru besar penduduk Kufah. Lalu Ahlu Hadis, bertempat di Madinah. Sumber hadis yang lebih banyak daripada Kufah mengakibatkan mereka lebih memerhatikan hadis yang diriwayatkan oleh generasi sebelumnya, mereka lebih memahami hadis sebagaimana diriwayatkan, lebih condong kepada tekstual hadis.

Ahlu Ra`yi di Kufah ada bukan untuk menyaingi kelompok Ahlu Hadis di Madinah, keduanya sama-sama mempelajari syari`at dari Rasulullah, hanya saja dengan jalur yang berbeda. Kufah ialah sentra kehidupan Islam ketika masanya, maka banyak orang gres yang berdatangan ke sana dan juga banyak hal-hal gres yang belum pernah ditemukan pada masa sebelumnya. Meski mereka tidak mempunyai sumber hadis sebanyak Madinah, namun mereka tetap ulet mempelajari dan berijtihad.

Pada tahun 80 Hijriyah, lahirlah Abu Hanifah di Kufah. Setelah menghafal Al-Qur'an semenjak kecil, dia berguru aneka macam macam ilmu kepada aneka macam ulama yang ada di sana. Salah satu gurunya ialah Hamad bin Abi Sulaiman, yang berguru dari Ibrahim An-Nakha`i, kemudian Ibrahim An-Nakha`i berguru dari Ilqimah An-Nakha`i, dan Ilqimah berguru dari Ibnu Mas`ud. Beliau dikenal mempelajari empat ajaran fikih, yaitu fiqh Umar bin Khatab yang berlandaskan maslahat, kemudian fiqh Ali bin Abi Thalib yang berlandaskan pengambilan kesimpulan dari makna diturunkannya syari`at, kemudian fiqh Abdullah bin Mas`ud yang berlandaskan Takhrij, dan fiqh Abdullah bin Abbas yang mempunyai pemahaman yang dalam terhadap Al-Qur’an dan Hadits.

Beliau menjadi salah seorang pembesar Aliran Ahlu Ra`yi, dia banyak mempunyai murid yang menngambil ilmu darinya kemudian mengajarkan kepada generasi selanjutnya. Di antaranya ialah Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Beliau wafat tahun 150 H.
Pada tahun 93 H, lahirlah Malik bin Anas di Madinah. Beliau berguru kepada para tabi`in yang menetap di Madinah, di antara gurunya ialah Rabi`ah bin Abdirrahman, Syihab Az-Zuhry, dan Nafi`, silsilah keilmuannya hingga kepada beberapa sahabat, di antaranya ialah Aisyah dan Ibnu Umar. Imam Malik sangat ulet mempelajari ilmu, ia pernah berkata bahwa ia tidak akan mengeluarkan fatwa sebelum fatwanya diakui oleh 70 orang ulama pada masanya. Ia mengajarkan ilmunya di majlis Umar bin Khathab, dan tinggal di rumah bekas Abdullah bin Mas`ud.

Beliaulah pembesar Aliran Ahlu Hadis. Ribuan orang tiba ke Madinah untuk berguru kepada beliau, hingga tak heran kalau dia mempunyai banyak sekali murid. Beliau selalu menetap di Madinah, dan tidak pernah keluar dari Madinah kecuali ketika Haji ke Makkah. Beliau wafat tahun 179 H. Meninggalkan banyak hasil karya, di antaranya ialah kitab Al-Muwattha, kitab hadis yang masih dijadikan referensi hingga sekarang. Beliau juga meninggalkan banyak sekali murid, di antaranya ialah Imam Syafi`i.

Imam Syafi`i lahir pada tahun 150 H, bersamaan dengan tahun wafatnya Abu Hanifah. Beliau lahir di Gaza, Palestina, kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah supaya tidak kehilangan nasab dari leluhurnya. Beliau masih termasuk keluarga Quraisy, keluarga besar Rasulullah, nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdu Manaf. Beliau menghafal Al-Qur'an dalam umur yang sangat muda, kemudian berguru kepada beberapa ulama di Makkah. Beliau telah menghafal seluruh isi kitab Al-Muwattha karya Imam Malik, kemudian dia berguru kepadanya. Imam Malik pun takjub kepada beliau, meski umurnya masih sangat muda tapi dia mempunyai kemampuan yang luar biasa.

Beliau diketahui melaksanakan beberapa kali perjalanan, dia berguru kepada Muhammad bin Hasan, murid eksklusif Abu Hanifah di Kufah. Maka, dia menyatukan ajaran fikih antara Ahlu Ra`yi dan Ahlu Hadis. Beliau juga yang meletakkan kerikil pertama ilmu Ushul Fikih, tak heran kalau dia mempunyai banyak sekali murid, salah satunya ialah Ahmad bin Hanbal. Setelah Imam Malik wafat, dia mengajar di Madinah selama sembilan tahun, kemudian dia berpindah ke Baghdad dan mengajar di sana, dan lima tahun sebelum wafat dia pergi ke Mesir untuk mengajar di sana hingga wafat menjemput. Salah satu karya dia yang digunakan hingga kini ialah kitab Ar-Risalah dalam Ushul Fikih dan Al-Umm dalam Fikih. Wafat tahun 204 H, dimakamkan di Kairo.

Lalu Ahmad bin Hanbal, lahir tahun 164 H di Bagdad. Bagdad ketika itu ialah pusatnya peradaban Islam, maka dia berguru aneka macam macam ilmu kepada para ulama di sana. Beliau juga dikenal sering bepergian untuk mencari ilmu, dia pergi ke Bashrah, Yaman, Kufah, Makkah, Madinah dan lainnya. Beliau berguru kepada Imam Syafi`i ketika di Baghdad, maka dia juga mewarisi tradisi ilmu Ahlu Ra`yi dan Ahlu Hadis.

Beliau sangat berpegang kepada riwayat hadis, bahkan bisa dibilang sedikit condong kepada tekstual hadis. Beliau pun mempunyai kitab kumpulan hadis yang kita kenal dengan Musnad Imam Ahmad yang ditulis dan diriwayatkan oleh putranya. Beliau juga mempunyai banyak sekali murid, di antaranya ialah kedua putranya sendiri Shalih dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Beliau wafat tahun 241 H.

Kembali kepada pertanyaan tadi, Kenapa kita harus Bermadzhab (baca: Belajar)?

Ya, Bermadzhab tak lain ialah belajar. Ketika kita berguru kepada guru A, tanpa disadari kita telah bermadzhab kepada beliau. Maka, kalau ada orang yang bilang tidak bermadzhab tapi dia masih berguru kepada seorang guru, maka katakan bahwa ia tidak membuka matanya! Kita tadi melihat bahwa Imam Abu Hanifah tidak menciptakan madzhab supaya umat Islam terpecah, dia tidak lain ialah memberikan Syari`at yang diturunkan kepada Rasulullah, kemudian Ibnu Mas`ud kemudian kepada beliau. Imam Syafi`i tidak membangun sebuah madzhab gres untuk ‘menandingi’ Imam Malik atau Imam Abu Hanifah, dia tidak lain ialah memberikan ilmu yang dia dapatkan dari semua gurunya dan berujung kepada Rasulullah. Maka, apa bedanya beliau-beliau ini dengan seorang guru yang mengajarkan ilmunya di masjid-masjid?

Sebenarnya madzhab tidak hanya empat, bahkan bisa jadi tidak terhitung, alasannya ialah hasil ijtihad setiap orang bisa saja berbeda. Ada Imam Laits bin Sa`ad, Ibnu Hazm, Imam Auza`i, dan masih banyak ulama lainnya yang telah bisa berijtihad sendiri, hanya saja, mereka tidak mempunyai murid sebanyak empat imam tadi, para murid yang kembali mengajarkan ilmunya dan masih menisbatkan dirinya kepada imamnya. Karena itulah, meski tidak secara formal, seluruh umat muslim di Dunia setuju bahwa keempat imam ini boleh diikuti tanpa memandang bahwa yang satu lebih baik dari yang lain.

Ada orang yang berdalil dengan surat Al-Mu`minun ayat 52-54. Dan sungguh umatmu ini ialah umat yang satu dan Aku ialah tuhanmu, maka bertakwalah kepadaku!. Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan mereka menjadi beberapa golongan, setiap golongan merasa gembira dengan apa yang ada pada mereka. Maka, biarlah mereka dalam kesesatan mereka hingga waktu yang ditentukan!.

Mereka berkata bahwa ‘Umat Islam itu satu! Tidak terpecah ke dalam madzhab-madzhab yang saling bertentangan, itulah Islam yang hakiki tanpa campur tangan insan yang merubah syari`at sekehendak mereka!’

Katakanlah apa yang saya tulis di atas tadi, Madzhab ialah tempat belajar, bukan pemecah belah. Sebagaimana Kementrian Agama menaungi aneka macam macam pesantren atau Departemen Pendidikan menaungi aneka macam macam sekolah. Apakah sekolah-sekolah itu ada untuk memecah belah? Jika memang para murid sekolah itu saling tawuran, siapa yang salah? apakah yang salah ialah ‘pendirian sekolah’ itu? Atau oknumnya? Apakah gurunya mengajarkan tawuran? (Jawab!^^)

Lalu, mereka berkata bahwa ‘Yang harus kita ikuti ialah Al-Qur'an dan Hadis, bukan perkataan ulama! Kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis itu lebih selamat, tidak ada campur tangan nalar insan dan ulama-ulama jahat (suu’)!’

Katakanlah, para ulama ialah jembatan kita dalam memahami Al-Qur'an dan Hadis, mereka ialah pewaris Rasulullah dan bukan penghalang antara kita dengan beliau. Belajar membaca Al-Qur'an saja kita membutuhkan guru, apalagi untuk memahami isinya. Kembali kepada keduanya tanpa melalui ulama bahkan bisa lebih berbahaya lagi alasannya ialah hanya memakai pemahaman sendiri tanpa ada bimbingan dari guru!

Sekarang saya bahas sedikit wacana silsilah buku yang digunakan di ‘Sekolahan’ Syafi`i. kita sedikit tahu dari mana Imam Syafi`i belajar. Lalu, sesudah itu dia berijtihad, kemudian menuangkan ijtihadnya dalam kitab Al-Umm. Murid beliau, Al-Muzani berijtihad dengan hasil bimbingan dari gurunya, kemudian menuliskan ijtihadnya dalam kitab Mukhtashar Al-Muzani, begitu juga Al-Buwaithi. Lalu, Kitab Mukhtashar Al-Mizani saja setidaknya mempunyai 7 ringkasan yang dibentuk oleh para ulama generasi setelahnya. Mereka berijtihad menjelaskan isi kitab itu, mengoreksi dan menentukan antara yang lebih penting, menambahkan kekurangan, mereka tidak merubah isi kitab kemudian tetap memakai nama Al-Muzani sebagai penulis, mereka menciptakan kitab gres dengan nama mereka, kalau mereka berbeda pendapat dengan Al-Muzani, mereka akan tulis keterangan di dalamnya.

Lalu dari ketujuh Mukhtasar kitab Al-Muzani tadi, masih dijelaskan kembali oleh ulama lain, menambahkan kekurangan dan menuliskan hasil ijtihadnya. Lalu kitab mereka kembali dijelaskan oleh ulama generasi setelahnya, dan menyerupai itulah karya ulama kita. Maka kalau kita belajar, kita akan tahu ada kitab Matan, kemudian Syarah, kemudian Hasyiyah, kemudian Mukhtashar. Matan ialah kitab pertama, kemudian Syarah ialah klarifikasi dari Matan, dan Hasyiyah ialah klarifikasi dari Syarah, kemudian Mukhtashar ialah Ringkasan dari kitab sebelumnya. Terkadang, ada kitab Mukhtashar yang kembali disyarah, kemudian syarahnya dijelaskan lagi dalam hasyiyah. Ada beberapa kitab yang bisa kita rujuk untuk mempelajari wacana madzhab Syafi`i, di antaranya ialah Al-Fawa’id Al-Makkiyah fi ma yahtajuhu thalabah Asy-Syafi`iyah. Karangan Syaikh Ahmad bin Alawi bin Abdirrahman As-Saqqaf. Dar Al-Faruq lil Istitsmarat Ats-Tsaqafiyah. Atau Al-Madkhal ila Dirasah Al-Madzahib Al-Fiqhiyah. Dr. Ali Jum`ah. Percetakan Darussalam Cairo.

Kenapa kitab itu diringkas, kemudian kitab dan ringkasan itu kembali dijelaskan, kemudian penjelasannya juga masih saja dijelaskan kembali? (Tanya kenapa?) Karena ilmu semakin berkembang, dan bahasa juga berkembang. Butuh keahlian khusus untuk membaca kitab klasik, apalagi yang masih asli, dan terkadang dilema yang gres pasti akan terus bermunculan seiring berjalannya waktu, kalau hanya berpatok kepada kitab Al-Umm saja tanpa memakai kitab ulama-ulama generasi setelahnya, maka kita hanya akan terpatok kepada aneka macam dilema yang hanya ada di kitab itu, itupun kalau kita memahami seluruhnya. Nah, Kitab fikih saja perlu klarifikasi dari ulama generasi setelahnya, apalagi Al-Qur'an dan Hadis? Maka, kalau ada orang berkata menyerupai itu lagi, katakanlah kembali, kalau kamu belum mengetahui hal-hal ini, maka lebih baik diam! Bacalah kembali!

Lalu, terkadang ada juga yang berkata “Para imam madzhab saja melarang muridnya untuk mengikutinya! Kenapa kamu malah mengikuti mereka?” jawablah! Untuk apa seorang guru mengajarkan ilmunya kemudian melarang muridnya untuk mengikuti apa yang ia sampaikan? Itu tidak lain alasannya ialah para ulama sangat rendah hati, mereka mempunyai ilmu yang luas namun alasannya ialah mereka ‘merendah’ jadi seolah mengaku bahwa mereka tidak pantas diikuti, alasannya ialah lebih banyak ulama lain yang lebih pantas untuk dijadikan guru (menurut beliau). Tidak menyerupai ‘sebagian’ umat kini yang gres mempunyai sedikit ilmu, kemudian berkata bahwa dialah yang memegang kebenaran, dialah yang harus diikuti daripada ulama-ulama jahat (Suu’) yang bermadzhab! Pendapat selain pendapatnya ialah salah, dan berkata “Jangan kembali kepada perkataan ulama, tapi kembalilah kepada Al-Qur'an dan Hadis!”

Imam Malik, ketika dia tidak bisa menjawab pertanyaan, dia tidak akan aib berkata “Tidak Tahu!” padahal dia ialah seorang Mujtahid Mutlak! Aisyah Radhiyallahu `Anha pernah menolak orang yang bertanya kepadanya, kemudian berkata bahwa yang lebih tahu dalam dilema ini ialah seorang sahabat yang lain. Beliau ialah istri Rasulullah, tapi dia tidak sok tahu kemudian menjawab, atau bahkan menyalahkan pendapat orang lain dan merasa benar sendiri. Para ulama mempunyai akhlak, yang bahkan seakan itulah yang kini sudah lenyap. Sesungguhnya suatu kaum terlihat dari akhlaknya, dan kalau susila itu lenyap, maka lenyaplah juga kaum itu.

Bahkan, ada yang lebih ekstrim lagi, orang yang berkata “Kalo kamu mengikuti Imam Madzhab, berarti kamu menyamakan kedudukan Imam Madzhab dengan Rasulullah! Kau mengedepankan perkataan mereka di atas perkataan Rasulullah! Awas! Bisa jadi syirik!”

Jawablah! Siapa yang menyamakan kedudukan mereka dengan Rasulullah? saya atau kau? Tidak ada orang yang berguru dari gurunya kemudian menyamakan mereka dengan Rasulullah! Apakah para ulama itu ‘mengarang’ kitab fikih sebagaimana JK. Rowlings menulis novel? Hanya dengan imajinasi tanpa rujukan? Lihatlah kembali penuturan di atas, para ulama belajar, mempelajari ilmu, pergi kesana kemari mencari sumber ilmu, kemudian sesudah bisa dan mempunyai kecakapan, maka dia berijtihad dari apa yang mereka miliki. Kau mengajak untuk kembali ‘langsung’ kepada Al-Qur'an dan Sunnah, kemudian apakah para ulama itu tidak merujuk kepada keduanya? Bahkan, siapa yang lebih mempunyai kecakapan dalam hal ini, kamu atau mereka?

Ada yang mengatakan, “Rasulullah mengajarkan tata cara ibadah kepada para Sahabat. Rasulullah itu satu, tapi kenapa kini tata cara ibadah antara madzhab satu dan lainnya berbeda?”

Jawablah! Satu kata bisa saja mempunyai aneka macam macam arti, Lima bisa berarti angka sesudah empat atau ibukota Peru, itu bahasa Indonesia, apalagi bahasa Arab yang lebih kaya kosakatanya. Lalu, enam orang mendengarkan klarifikasi guru, bisa saja kelimanya mempunyai pemahaman yang berbeda, dan delapan orang menjadi saksi kecelakaan, bisa saja kesaksian mereka berbeda-beda. Itu gres hal kecil, apalagi kalau hal itu disampaikan semenjak ratusan tahun yang lalu. Kemampuan intelektual antara satu orang dan orang lain pasti berbeda, kecakapan, pendalaman pemahaman, pengalaman, pergaulan, hafalan, tempat tinggal dan aneka macam macam faktor lainnya yang menciptakan setiap kepala insan bisa mempunyai pendapat sendiri. Apalagi para ulama..

Jika kamu banyak membaca, kamu akan menemukan bahwa Ibnu Abbas mempunyai dua riwayat wacana membaca Basmalah dalam Al-fatihah ketika shalat, dikeraskan dan tidak dibaca. Begitu juga Anas bin Malik. 2 riwayat berbeda dari satu orang, dan keduanya tertulis dalam kitab hadis. Mana yang kita ikuti? Apakah ketika kita membaca basmalah, kemudian kita menyalahi perintah Rasulullah? Jika memang riwayat yang ada menyerupai itu, kemudian bagaimana? Pastinya kita harus meneliti dan membandingkan antara kedua riwayat yang ada!

Jika kita mendapat hal ini dalam hadis, kita harus berguru ilmu hadis riwayat dan diroyat sebelum bisa menilai hadis ini lebih shahih dari yang lain. Itulah ladangnya para ulama, kita hanya tinggal mengikuti hasil ijtihad mereka, mereka telah meninggalkan warisan dari Rasulullah kepada kita, masa kita tolak? Jika memang mengikuti ulama yang memberikan itu lebih mudah, kenapa mempersulit diri dengan mencari segalanya ‘sendiri’ dalam Al-Qur'an dan Hadis?

Ada lagi yang bilang “Tidak usah berguru fikih, cukup dengan berguru kitab-kitab hadis dan tafsir! Karena setiap andal tafsir dan hadis pasti andal dalam fikih, namun tidak setiap andal fikih itu andal dalam hadis dan tafsir”

Jawablah! Perkataanmu tidak sepenuhnya benar! Setiap andal bergelut dalam bidangnya sendiri, kecuali beberapa orang yang memang telah diakui kemampuannya. Kitab tafsir atau hadis, hanya menjelaskan hadis atau ayat yang tertulis. Namun fikih, lebih kaya dari sekedar klarifikasi wacana ayat dan hadis. Kitab fikih ialah hasil dari observasi seorang mujtahid yang mengumpulkan Ayat dan Hadis, memilihnya, mengklasifikasinya, kemudian menuliskannya. Hadis dan Ayat Al-Qur'an tidak akan bertambah dengan berkembangnya zaman, namun kasus gres pasti saja muncul setiap dikala dan perlu dicari hukumnya. Kloning, transplantasi organ tubuh, puasa di kawasan kutub, shalat di pesawat terbang, Bayi Tabung, senjata biologi, penentuan bulan hijriyah memakai sains modern, dan aneka macam macam permasalahan gres yang sama sekali tidak tertulis dalam Al-Qur'an dan Hadis. Kemana kita harus mencari kalau bukan di dalam kitab fikih? Atau hanya alasannya ialah tidak ada dalilnya, kemudian kita bilang semua hal itu Bid`ah, harus ditinggalkan?

Untuk menjadi seorang fakih, setidaknya ia harus menguasai ilmu ushul fikih. Ushul fikih, membahas wacana Dalil yang digunakan dalam ijtihad, kata perintah, kata larangan, kata umum, kata khusus, kata sinonim, kata homonim, dan aneka macam dilema lainnya yang tidak ditemukan dalam kitab hadis atau tafsir. Sebagaimana seorang insinyur atau arsitek, meskipun ia menguasai rumus bangunan, tapi belum tentu ia bisa ngaduk semen, belum tentu ia bisa memasang kusen pintu, belum tentu ia bisa mengoperasikan buldozer, dan sebagainya.

Satu lagi, ada yang berkata bahwa “Tidak ada perintah untuk terus mengekor kepada satu madzhab. Madzhab bukan tujuan, namun kita seharusnya mengumpulkan aneka macam macam pendapat dalam madzhab kemudian meneliti kembali pendapat mana yang lebih erat ke sunnah Rasulullah.”

Jawablah! Dalam membaca Al-Qur'an saja terdapat tujuh cara baca yang memang diriwayatkan dari Rasulullah secara Mutawatir, kita kenal dengan istilah Qira’ah Sab`ah. Lalu, yang selalu kita baca kini hanya cara baca dari Imam Hafs, dan kita seolah terbiasa dengan cara baca ini. Sekarang saya bertanya, adakah perintah supaya kita selalu membaca Al-Qur'an dengan bacaan Hafs? Tidak ada! Jika memang kiprah kita dalam fikih ialah mengumpulkan semua pendapat dari aneka macam madzhab kemudian mengoreksinya, kenapa itu tidak digunakan juga dalam bacaan Al-Qur'an? Kenapa tidak mempelajari ketujuh cara baca tadi, kemudian menentukan mana yang paling erat dengan sunnah Rasulullah?

Ketujuh cara baca itu saling berlainan, dari cara baca hingga makna, dan semuanya memang diriwayatkan dari Rasulullah. Jika tidak bisa mempelajari ketujuh bacaan ini alasannya ialah kurangnya kemampuan, kenapa dalam fikih tetap dipaksakan harus mempelajari seluruh pendapat yang ada? Biarlah para ulama yang berijtihad eksklusif dari Al-Qur'an dan Hadis kemudian menuliskannya dalam kitab mereka, kita hanya tinggal mengikuti hasil ijtihad mereka dengan prasangka baik bahwa mereka berijtihad untuk memudahkan generasi setelahnya. Yang Mahakuasa berfirman, maka bertanyalah kepada orang yang mengetahui (Ahlu Dzikr) kalau kamu tidak tahu.

Sebenarnya banyak tanggapan yang ingin kutulis untuk sahabat baruku tadi, namun kalau terlalu banyak mungkin kamu juga akan bosan membacanya. Aku ingat perkataan Lukman Sardi yang berperan sebagai KH. Ahmad Dahlan dalam film Sang Pencerah. “Kita berguru untuk jadi yang terbaik di hadapan Allah, tidak untuk diri kita sendiri tapi untuk kepentingan orang banyak”. Jika kini kita bertanya, suatu dikala kita pasti akan ditanya.

Aku bukanlah orang yang lebih cendekia darimu, bahkan mungkin ilmumu jauh di atasku. Seperti yang kutulis di atas, ini ialah tanggapan yang kudapat atas apa yang temanku katakan kepadaku. Pertanyaan yang terus berdengung di kepala kesudahannya terjawab juga. Maaf kalau mungkin tulisanku terlalu kasar atau tidak yummy dibaca. Kebenaran hanyalah dari Allah, dan kesalahan dalam tulisanku ini murni dari diriku. Jika kamu mewaspadai sumber apa yang kubaca, mari kita diskusi dengan sehat. Semoga kita diberi hidayah oleh Yang Mahakuasa Subhanahu wa ta`ala. Amin.


Sukron sudah mau membaca....jazakaAllah aufaru jaza'
Show comments
Hide comments

0 Response to "Kenapa Kita Bermadzhab???"

Post a Comment

Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)

NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".

Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close