“Ketika Kampus Islam Dibajak Orientalis”
Tuesday, June 12, 2018
Add Comment
بسم الله الرحمن الرحيم
Saat mengisi program workshop di Pondok Pesantren Gontor, 19-20 Agustus 2006 lalu, saya mendapatkan hadiah sebuah Jurnal yang sangat bagus, berjulukan TSAQAFAH. Jurnal ini diterbitkan oleh Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia. Pada edisi Vol.2, Nomor 2, 2006/1427, diangkat aneka macam artikel menarik ihwal keislaman. Salah satu yang perlu kita jadikan catatan yakni sebuah artikel berjudul “Framework Kajian Filsafat Islam” goresan pena Hamid Fahmy Zarkasyi, Pembantu Rektor III ISID.
Melalui riset yang cukup mendalam terhadap sejumlah kurikulum kajian filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia –baik yang negeri maupun swasta– Hamid Fahmy mengambarkan bahwa kajian filsafat Islam di Indonesia tampak terang terpengaruh oleh kajian para orientalis. Pengaruh itu tidak hanya pada cara atau metodologi pengkajian, tetapi lebih fundamental lagi, hingga pada framework (kerangka) dan cara pandangnya terhadap filsafat Islam.
Cara pandang ini tentu bukan tanpa maksud. Secara sistematis, mereka akan memperlihatkan bahwa filsafatIslam hanyalah kertas copi dari Yunani; tanpa Yunani, Islam tidak mempunyai pemikiran rasional. Padahal, sekalipun konsepsi falsafah juga dikenal dalam pemikiran Islam, namun tetap disertai kritik dan seleksi yang ketat. Itulah yang dilakukan oleh Al-Ghazali dan Ibn Taymiyah.
Menurut Hamid Fahmy, berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang berdasarkan akal, tradisi filsafat Islam bersumberkan pada wahyu. Dengan demikian, filsafat Islam yakni filsafat yang lahir dari pemahaman, penjelasan, dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Quran dan Sunnah.
Dalam sejarahnya, para ulama dan cendekiawam Muslim telah melaksanakan proses seleksi dan adapsi yang ketat terhadap pemikiran yang tiba dari luar Islam.
Sejumlah ilmuwan menyerupai Ibn Sina, al-Kindi, dan al-Farabi, mendapatkan filsafat Yunani dan berusaha memodifikasikannya biar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam pedoman Islam. Al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi menerimanya sejauh masih sejalan dengan pedoman Islam dan menolak konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam.
Ibn Taymiyah termasuk diantara penolak keras “filsafat”, tetapi ternyata juga mendapatkan jenis filsafat tertentu, yang disebutnya al-falsafah al-shahihah (filsafat yang benar) dan al-falsafah al-haqiqiyah (filsafat yang sebenarnya).
Hamid Fahmy – yang telah menuntaskan disertasi doktornya ihwal ‘Teori Kausalitas al-Ghazali” di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur – mencatat, bahwa para ulama Islam menolak, mendapatkan secara selektif atau mendapatkan dan memodifikasi prinsip-prinsip filsafat Yunani, lantaran konsep-konsepnya yang tidak sejalan dengan konsep Islam.
Selain itu, mereka juga percaya akan adanya konsep Islam sendiri yang berbeda dengan konsep aneh itu. Ini berarti, simpul Hamid Fahmy, para ulama memandang bahwa dalam Islam terdapat prinsip berfikir filosofisnya sendiri yang berbeda dari Yunani.
Jadi, semenjak awal, umat Islam sudah mempunyai tradisi berpikir sendiri yang berdasarkan wahyu, yang berbeda dengan tradisi berpikir Yunani. Sumber aspirasi yang orisinil dan riil dari para pemikir Muslim yakni Al-Quran dan Sunnah Rasul. Bahwa ada sebagian unsur aneh yang kemudian diserap dalam khazanah pemikiran Islam, tetap diupayakan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pedoman Islam. Dalam dilema Tuhan, manusia, dan alam semesta, para pemikir Muslim mempunyai konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam tradisi filsafat Yunani.
Mengambil pola Kurikulum dan Silabi Kuliah Filsafat Islam terbitan Departemen Agama, Hamid menunjukkan, bahwa yang dimaksudkan sebagai “pemikiran filsafat Islam yang awal” dalam kurikulum ini yakni dimulai semenjak masuknya dampak filsafat peripatetik Yunani ke dalam Islam. Artinya, filsafat Islam dianggap wujud hanya sehabis datangnya dampak filsafat Yunani. Ha ini mendukung anggapan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat atau pemikiran filosofis. Model kajian menyerupai ini tidak akan memberi bekal kemampuan kepada mahasiswa untuk membuatkan filsafat sains dalam Islam.
“Jika framework ini ditelusuri asal usulnya maka akan terungkap kesamaannya dengan framework yang dipegang secara meluas oleh para orientalis,” tulis Hamid Fahmy, yang juga Direktur Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), ISID Gontor.
Hasil riset Hamid Fahmy Zarkasyi ihwal metode studi filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini sangat penting untuk ditelaah dan direnungkan secara mendalam.
Jauh sebelumnya, 30 tahun lalu, Prof. HM Rasjidi telah memperlihatkan kuatnya dampak metode orientalis terhadap buku wajib dalam studi Islam di Indonesia, yakni buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi kemudian mengatakan kritik-kritik yang tajam terhadap buku tersebut, bahwa buku itu merusak dan membahayakan aqidah Islam.
Tetapi, kritik-kritiknya tidak pernah didengar. Buku ini tetap dijadikan sebagai acuan dalam studi Islam di Perguruan Tinggi, tanpa didampingi oleh buku Prof. Rasjidi: Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution ihwal “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”.
Seperti pernah kita bahas, buku Harun Nasution ini memuat begitu banyak kesalahan fatal dan fundamental ihwal Islam. Dalam aspek filsafat, Harun Nasution juga menulis: “Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir…Filosof kenamaan yang pertama yakni Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi.”
Dalam pemaparannya, Harun mengungkap aneka macam perdebatan seputar isu-isu dalam kajian filsafat, tetapi tidak melaksanakan ‘tarjih’ terhadap pendapat yang benar. Bahkan ketika membahas pendapat seorang filosof yang jelas-jelas bertentangan dengan pedoman Islam, Harun tidak mengatakan kritik terhadapnya. Seperti ketika menjelaskan ihwal filosof Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (864-925), Harun bahkan menulis, “Tetapi sungguhpun ia menentang agama-agama, al-Razi bukanlah seorang ateis. Ia tetap percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini.”
Padahal, ditulis oleh Harun: “Al-Razi yakni seorang rasionalis yang hanya percaya pada nalar dan tidakpercaya pada wahyu. Menurut keyakinannya nalar insan cukup berpengaruh untuk mengetahui adanya Tuhan, apa yang baik dan apa yang buruk, dan untuk mengatur hidup insan di dunia ini. Oleh lantaran itu Nabi dan Rasul tak perlu, bahkan ajaran-ajaran yang mereka bawa mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat manusia. Semua agama beliau kritik. Al-Quran baik dalam bahasa maupun isinya bukanlah mu’jizat.”
Sebagai buku panduan untuk mahasiswa Muslim, harusnya Prof. Harun menjelaskan, bahwa pendapat Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (bukan Fakhruddin al-Razi) yakni keliru dan bertentangan dengan prinsip pedoman Islam.
Harusnya, Prof. Harun tidak bersikap netral dalam hal-hal yang jelas-jelas salah. Bahkan, dalam uraiannya, Harun lebih cenderung mengunggulkan pendapat Ibnu Ruyd, ketimbang al-Ghazali. Dalam kritiknya, Rasjidi menyesalkan kecenderungan Harun untuk lebih menonjolkan pendapat Ibn Rusyd yang mengatakan pembelaan kepada para filosof peripatetik dari kritikan al-Ghazali.
Kajian Harun ihwal aspek filsafat dalam Islam, berdasarkan Prof. Rasjidi, merupakan aspek yang sangat negatif, khususnya bagi mahasiswa IAIN tingkat pertama.
Dalam kritiknya, Rasjidi mengupas secara tajam kekeliruan pemikiran Ibnu Rusyd, al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Filsafat Islam, kata Prof. Rasjidi, yakni suatu perjuangan untuk mempertahankan aqidah Islam dengan mengambil materi dari filsafat Yunani yang tidak bertentangan dengan Islam. Teori al-Farabi dan Ibnu Sina ihwal emanasi (pancaran) bertentangan dengan Islam, yang menegaskan, bahwa Yang Mahakuasa membuat alam dengan kemauan-Nya, bukan melalui pancaran. Meskipun mengakui kebaikan niat baik Ibnu Rusyd dalam membela filosof – yakni untuk memperlihatkan bahwa Islam tidak bertentangan dengan nalar – tetapi Rasjidi menilai teori Ibnu Rusjd ihwal kekekalan alam sudah lama untuk kurun ke-20. “Kelihatan sekali bahwa Dr. Harun Nasution tidak mengikuti perkembangan ilmu cosmology astrophysic, sehingga ia mempertahankan pendapat Ibnu Rusyd yang sudah lama itu,” tulis Prof. Rasjidi.
Itulah studi kritis Prof. Rasjidi terhadap aspek filsafat dalam buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya” karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi menulis kritiknya ini pada tahun 1975. Bisa dikatakan, kajian Hamid Fahmy Zarkasyi lebih maju selangkah lagi dari apa yang telah dilakukan oleh Prof. Rasjidi, lantaran Hamid Fahmy sudah menyentuh aspek “framework” dan cara pandang. Bahkan, Hamid memperlihatkan perspektif gres dalam studi filsafat Islam yang belum ditawarkan oleh Prof. Rasjidi sebelumnya.
Kajian-kajian ilmiah dan serius ihwal aneka macam bidang keilmuan Islam (Ulumuddin) ketika ini merupakan proyek yang sangat mendesak bagi umat Islam. Apalagi, 30 tahun sehabis benih orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, cengkeraman orientalis dalam studi Islam sudah semakin merambah ke aneka macam bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya ‘proyek-proyek pesanan’ negara-negara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata kuliah hermeneutika, misalnya, tidak bisa dianggap hal yang enteng.
Penggunaan epistemologi relatif dalam studi agama di Ushuluddin telah membongkar framework studi agama-agama dalam tradisi Islam yang berbasis pada keimaman Islam.
Ketika mengisi satu seminar di Yogyakarta pada 18 Agustus 2006 lalu, seorang penerima menyatakan, bahwa dalam studi ilmu-ilmu agama, metodologi Barat lebih baik dibandingkan dengan metodologi Islam. Pernyataan semacam ini sudah sering disampaikan dalam aneka macam buku dan kesempatan. Padahal, biasanya yang mereka maksud dengan ‘metodologi’ yang baik yakni dalam soal teknik penulisan. Misalnya, lantaran banyak catatan kakinya, maka suatu goresan pena disebut ilmiah dan bagus.
Kita tidak menolak metode semacam ini. Bahkan, perlu mengatakan apresiasi terhadap ketekunan dankesungguhan para orientalis dalam melaksanakan penelitian dan penulisan ihwal Islam. Terutama dengan kesungguhan mereka dalam menghimpun literatur-literatur Islam.
Tetapi, kita juga perlu senantisa kritis, bahwa dalam metodologi atau lebih tepatnya framework kajian agama, ada perbedaan yang fundamental antara Islam dengan para orientalis pada umumnya. Bagi seorang Muslim, mencar ilmu agama bertujuan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang sanggup meningkatkan akidah dan ibadah kepada Allah. Sebab, tidaklah insan diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah.
(QS 51:56).
Seorang Muslim yakin, bahwa mencari ilmu itu sendiri yakni kewajiban dan merupakan ibadah. Karena itu, kita diajarkan untuk senantiasa berdoa, mudah-mudahan kita dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang manfaat yakni ilmu yang menghasilkan dan memperkuat keimanan, dan bukan ilmu yang menambah keraguan dan kebingungan, serta semakin menjauhkan diri dari ibadah kepada Allah.
Metode studi agama cara Islam ini tentu berbeda dengan metode para studi agama ‘gaya Barat’ yang lebih diarahkan untuk menjadi ‘ilmuwan dan pengamat keagamaan’. Karena itu, dalam model studi menyerupai ini, para dosen tidak mempersoalkan apakah mahasiswa itu sesat atau benar. Suatu skripsi atau tesis tetap diluluskan bila dianggap sudah memenuhi syarat metode penulisan ilmiah, tanpa peduli apakah karya ilmiah itu benar atau salah dari segi isinya dalam pandangan Islam. Bahkan, banyak yang sudah bersifat skeptis dan agnostik terhadap kebenaran, dengan menyatakan, bahwa insan tidak akan tahu kebenaran sejati, yang tahu kebenaran hanya Allah. Tentu saja ini sangat keliru, lantaran Yang Mahakuasa telah menurunkan wahyu-Nya kepada insan melalui Nabi dan Rasul dengan tujuan untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Kita berharap para dosen di akademi tinggi Islam dan para pejabat Departemen Agama sadar akan amanah berat yang mereka pikul ketika ini, sehingga mereka tidak bersantai-santai atau bermain-main dalam hal ilmu agama.
Mereka perlu sadar, bahwa upaya untuk meruntuhkan Islam yang sangat strategis yakni dengan cara merusak konsep-konsep keilmuan Islam. Itulah yang semenjak berabad-abad kemudian dilakukan oleh para orientalis.
Dalam pasal 2, Perpres No 11 tahun 1960, ihwal pembentukan IAIN disebutkan, bahwa tujuan pembentukan IAIN adalah: “IAIN tersebut bermaksud untuk memberi pengadjaran tinggi dan mendjadi sentra untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan ihwal Agama Islam.”
Jadi, sesuai dengan niat mulia semenjak awalnya, perguruan-perguruan tinggi Islam harus menjadi sentra pengembangan dan pendalaman ilmu ihwal agama Islam. Tentu, sebagai umat Islam Indonesia, kita berharap, dari kampus-kampus ini lahir para cendekiawan dan ulama yang arif tinggi dan taat kepada Allah. Untuk itu, biar menjadi kampus Islam yang benar-benar sehat, segala macam jenis bakteri dan virus-virus yang merusak ilmu-ilmu Islam harus mulai dikaji, diteliti, untuk selanjutnya ‘dijinakkan’ dan diamankan’.
Cita-cita mulia itu tidak akan terwujud, bila civitas academica di kampus Islam tidak bisa membedakan manayang ‘obat’ dan mana yang ‘racun’; mana ilmu yang bermanfaat dan mana ilmu yang madharat. Jika tidak paham atau tidak peduli dengan dilema ini, bisa jadi, kampus yang semula didirikan dengan niat begitu mulia, risikonya secara tidak sadar sudah dibajak oleh para orientalis.
Wallahu a’lam.
(Depok, 25 Agustus 2006/www.hidayatullah.com]
*Diambil dari Kumpulan Tulisan Adian Husaini
*Beliau yakni Pemburu Pengetahuan, Aktifis mahasiswa & Jaringan Islam Kampus Jember.sekaligus Alumni PP.Baitul Arqom Balung Jember (CP: +6281358001080)
Saat mengisi program workshop di Pondok Pesantren Gontor, 19-20 Agustus 2006 lalu, saya mendapatkan hadiah sebuah Jurnal yang sangat bagus, berjulukan TSAQAFAH. Jurnal ini diterbitkan oleh Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia. Pada edisi Vol.2, Nomor 2, 2006/1427, diangkat aneka macam artikel menarik ihwal keislaman. Salah satu yang perlu kita jadikan catatan yakni sebuah artikel berjudul “Framework Kajian Filsafat Islam” goresan pena Hamid Fahmy Zarkasyi, Pembantu Rektor III ISID.
Melalui riset yang cukup mendalam terhadap sejumlah kurikulum kajian filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia –baik yang negeri maupun swasta– Hamid Fahmy mengambarkan bahwa kajian filsafat Islam di Indonesia tampak terang terpengaruh oleh kajian para orientalis. Pengaruh itu tidak hanya pada cara atau metodologi pengkajian, tetapi lebih fundamental lagi, hingga pada framework (kerangka) dan cara pandangnya terhadap filsafat Islam.
Cara pandang ini tentu bukan tanpa maksud. Secara sistematis, mereka akan memperlihatkan bahwa filsafatIslam hanyalah kertas copi dari Yunani; tanpa Yunani, Islam tidak mempunyai pemikiran rasional. Padahal, sekalipun konsepsi falsafah juga dikenal dalam pemikiran Islam, namun tetap disertai kritik dan seleksi yang ketat. Itulah yang dilakukan oleh Al-Ghazali dan Ibn Taymiyah.
Menurut Hamid Fahmy, berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang berdasarkan akal, tradisi filsafat Islam bersumberkan pada wahyu. Dengan demikian, filsafat Islam yakni filsafat yang lahir dari pemahaman, penjelasan, dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Quran dan Sunnah.
Dalam sejarahnya, para ulama dan cendekiawam Muslim telah melaksanakan proses seleksi dan adapsi yang ketat terhadap pemikiran yang tiba dari luar Islam.
Sejumlah ilmuwan menyerupai Ibn Sina, al-Kindi, dan al-Farabi, mendapatkan filsafat Yunani dan berusaha memodifikasikannya biar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam pedoman Islam. Al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi menerimanya sejauh masih sejalan dengan pedoman Islam dan menolak konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam.
Ibn Taymiyah termasuk diantara penolak keras “filsafat”, tetapi ternyata juga mendapatkan jenis filsafat tertentu, yang disebutnya al-falsafah al-shahihah (filsafat yang benar) dan al-falsafah al-haqiqiyah (filsafat yang sebenarnya).
Hamid Fahmy – yang telah menuntaskan disertasi doktornya ihwal ‘Teori Kausalitas al-Ghazali” di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur – mencatat, bahwa para ulama Islam menolak, mendapatkan secara selektif atau mendapatkan dan memodifikasi prinsip-prinsip filsafat Yunani, lantaran konsep-konsepnya yang tidak sejalan dengan konsep Islam.
Selain itu, mereka juga percaya akan adanya konsep Islam sendiri yang berbeda dengan konsep aneh itu. Ini berarti, simpul Hamid Fahmy, para ulama memandang bahwa dalam Islam terdapat prinsip berfikir filosofisnya sendiri yang berbeda dari Yunani.
Jadi, semenjak awal, umat Islam sudah mempunyai tradisi berpikir sendiri yang berdasarkan wahyu, yang berbeda dengan tradisi berpikir Yunani. Sumber aspirasi yang orisinil dan riil dari para pemikir Muslim yakni Al-Quran dan Sunnah Rasul. Bahwa ada sebagian unsur aneh yang kemudian diserap dalam khazanah pemikiran Islam, tetap diupayakan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pedoman Islam. Dalam dilema Tuhan, manusia, dan alam semesta, para pemikir Muslim mempunyai konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam tradisi filsafat Yunani.
Mengambil pola Kurikulum dan Silabi Kuliah Filsafat Islam terbitan Departemen Agama, Hamid menunjukkan, bahwa yang dimaksudkan sebagai “pemikiran filsafat Islam yang awal” dalam kurikulum ini yakni dimulai semenjak masuknya dampak filsafat peripatetik Yunani ke dalam Islam. Artinya, filsafat Islam dianggap wujud hanya sehabis datangnya dampak filsafat Yunani. Ha ini mendukung anggapan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat atau pemikiran filosofis. Model kajian menyerupai ini tidak akan memberi bekal kemampuan kepada mahasiswa untuk membuatkan filsafat sains dalam Islam.
“Jika framework ini ditelusuri asal usulnya maka akan terungkap kesamaannya dengan framework yang dipegang secara meluas oleh para orientalis,” tulis Hamid Fahmy, yang juga Direktur Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), ISID Gontor.
Hasil riset Hamid Fahmy Zarkasyi ihwal metode studi filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini sangat penting untuk ditelaah dan direnungkan secara mendalam.
Jauh sebelumnya, 30 tahun lalu, Prof. HM Rasjidi telah memperlihatkan kuatnya dampak metode orientalis terhadap buku wajib dalam studi Islam di Indonesia, yakni buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi kemudian mengatakan kritik-kritik yang tajam terhadap buku tersebut, bahwa buku itu merusak dan membahayakan aqidah Islam.
Tetapi, kritik-kritiknya tidak pernah didengar. Buku ini tetap dijadikan sebagai acuan dalam studi Islam di Perguruan Tinggi, tanpa didampingi oleh buku Prof. Rasjidi: Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution ihwal “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”.
Seperti pernah kita bahas, buku Harun Nasution ini memuat begitu banyak kesalahan fatal dan fundamental ihwal Islam. Dalam aspek filsafat, Harun Nasution juga menulis: “Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir…Filosof kenamaan yang pertama yakni Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi.”
Dalam pemaparannya, Harun mengungkap aneka macam perdebatan seputar isu-isu dalam kajian filsafat, tetapi tidak melaksanakan ‘tarjih’ terhadap pendapat yang benar. Bahkan ketika membahas pendapat seorang filosof yang jelas-jelas bertentangan dengan pedoman Islam, Harun tidak mengatakan kritik terhadapnya. Seperti ketika menjelaskan ihwal filosof Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (864-925), Harun bahkan menulis, “Tetapi sungguhpun ia menentang agama-agama, al-Razi bukanlah seorang ateis. Ia tetap percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini.”
Padahal, ditulis oleh Harun: “Al-Razi yakni seorang rasionalis yang hanya percaya pada nalar dan tidakpercaya pada wahyu. Menurut keyakinannya nalar insan cukup berpengaruh untuk mengetahui adanya Tuhan, apa yang baik dan apa yang buruk, dan untuk mengatur hidup insan di dunia ini. Oleh lantaran itu Nabi dan Rasul tak perlu, bahkan ajaran-ajaran yang mereka bawa mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat manusia. Semua agama beliau kritik. Al-Quran baik dalam bahasa maupun isinya bukanlah mu’jizat.”
Sebagai buku panduan untuk mahasiswa Muslim, harusnya Prof. Harun menjelaskan, bahwa pendapat Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (bukan Fakhruddin al-Razi) yakni keliru dan bertentangan dengan prinsip pedoman Islam.
Harusnya, Prof. Harun tidak bersikap netral dalam hal-hal yang jelas-jelas salah. Bahkan, dalam uraiannya, Harun lebih cenderung mengunggulkan pendapat Ibnu Ruyd, ketimbang al-Ghazali. Dalam kritiknya, Rasjidi menyesalkan kecenderungan Harun untuk lebih menonjolkan pendapat Ibn Rusyd yang mengatakan pembelaan kepada para filosof peripatetik dari kritikan al-Ghazali.
Kajian Harun ihwal aspek filsafat dalam Islam, berdasarkan Prof. Rasjidi, merupakan aspek yang sangat negatif, khususnya bagi mahasiswa IAIN tingkat pertama.
Dalam kritiknya, Rasjidi mengupas secara tajam kekeliruan pemikiran Ibnu Rusyd, al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Filsafat Islam, kata Prof. Rasjidi, yakni suatu perjuangan untuk mempertahankan aqidah Islam dengan mengambil materi dari filsafat Yunani yang tidak bertentangan dengan Islam. Teori al-Farabi dan Ibnu Sina ihwal emanasi (pancaran) bertentangan dengan Islam, yang menegaskan, bahwa Yang Mahakuasa membuat alam dengan kemauan-Nya, bukan melalui pancaran. Meskipun mengakui kebaikan niat baik Ibnu Rusyd dalam membela filosof – yakni untuk memperlihatkan bahwa Islam tidak bertentangan dengan nalar – tetapi Rasjidi menilai teori Ibnu Rusjd ihwal kekekalan alam sudah lama untuk kurun ke-20. “Kelihatan sekali bahwa Dr. Harun Nasution tidak mengikuti perkembangan ilmu cosmology astrophysic, sehingga ia mempertahankan pendapat Ibnu Rusyd yang sudah lama itu,” tulis Prof. Rasjidi.
Itulah studi kritis Prof. Rasjidi terhadap aspek filsafat dalam buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya” karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi menulis kritiknya ini pada tahun 1975. Bisa dikatakan, kajian Hamid Fahmy Zarkasyi lebih maju selangkah lagi dari apa yang telah dilakukan oleh Prof. Rasjidi, lantaran Hamid Fahmy sudah menyentuh aspek “framework” dan cara pandang. Bahkan, Hamid memperlihatkan perspektif gres dalam studi filsafat Islam yang belum ditawarkan oleh Prof. Rasjidi sebelumnya.
Kajian-kajian ilmiah dan serius ihwal aneka macam bidang keilmuan Islam (Ulumuddin) ketika ini merupakan proyek yang sangat mendesak bagi umat Islam. Apalagi, 30 tahun sehabis benih orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, cengkeraman orientalis dalam studi Islam sudah semakin merambah ke aneka macam bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya ‘proyek-proyek pesanan’ negara-negara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata kuliah hermeneutika, misalnya, tidak bisa dianggap hal yang enteng.
Penggunaan epistemologi relatif dalam studi agama di Ushuluddin telah membongkar framework studi agama-agama dalam tradisi Islam yang berbasis pada keimaman Islam.
Ketika mengisi satu seminar di Yogyakarta pada 18 Agustus 2006 lalu, seorang penerima menyatakan, bahwa dalam studi ilmu-ilmu agama, metodologi Barat lebih baik dibandingkan dengan metodologi Islam. Pernyataan semacam ini sudah sering disampaikan dalam aneka macam buku dan kesempatan. Padahal, biasanya yang mereka maksud dengan ‘metodologi’ yang baik yakni dalam soal teknik penulisan. Misalnya, lantaran banyak catatan kakinya, maka suatu goresan pena disebut ilmiah dan bagus.
Kita tidak menolak metode semacam ini. Bahkan, perlu mengatakan apresiasi terhadap ketekunan dankesungguhan para orientalis dalam melaksanakan penelitian dan penulisan ihwal Islam. Terutama dengan kesungguhan mereka dalam menghimpun literatur-literatur Islam.
Tetapi, kita juga perlu senantisa kritis, bahwa dalam metodologi atau lebih tepatnya framework kajian agama, ada perbedaan yang fundamental antara Islam dengan para orientalis pada umumnya. Bagi seorang Muslim, mencar ilmu agama bertujuan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang sanggup meningkatkan akidah dan ibadah kepada Allah. Sebab, tidaklah insan diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah.
(QS 51:56).
Seorang Muslim yakin, bahwa mencari ilmu itu sendiri yakni kewajiban dan merupakan ibadah. Karena itu, kita diajarkan untuk senantiasa berdoa, mudah-mudahan kita dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang manfaat yakni ilmu yang menghasilkan dan memperkuat keimanan, dan bukan ilmu yang menambah keraguan dan kebingungan, serta semakin menjauhkan diri dari ibadah kepada Allah.
Metode studi agama cara Islam ini tentu berbeda dengan metode para studi agama ‘gaya Barat’ yang lebih diarahkan untuk menjadi ‘ilmuwan dan pengamat keagamaan’. Karena itu, dalam model studi menyerupai ini, para dosen tidak mempersoalkan apakah mahasiswa itu sesat atau benar. Suatu skripsi atau tesis tetap diluluskan bila dianggap sudah memenuhi syarat metode penulisan ilmiah, tanpa peduli apakah karya ilmiah itu benar atau salah dari segi isinya dalam pandangan Islam. Bahkan, banyak yang sudah bersifat skeptis dan agnostik terhadap kebenaran, dengan menyatakan, bahwa insan tidak akan tahu kebenaran sejati, yang tahu kebenaran hanya Allah. Tentu saja ini sangat keliru, lantaran Yang Mahakuasa telah menurunkan wahyu-Nya kepada insan melalui Nabi dan Rasul dengan tujuan untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Kita berharap para dosen di akademi tinggi Islam dan para pejabat Departemen Agama sadar akan amanah berat yang mereka pikul ketika ini, sehingga mereka tidak bersantai-santai atau bermain-main dalam hal ilmu agama.
Mereka perlu sadar, bahwa upaya untuk meruntuhkan Islam yang sangat strategis yakni dengan cara merusak konsep-konsep keilmuan Islam. Itulah yang semenjak berabad-abad kemudian dilakukan oleh para orientalis.
Dalam pasal 2, Perpres No 11 tahun 1960, ihwal pembentukan IAIN disebutkan, bahwa tujuan pembentukan IAIN adalah: “IAIN tersebut bermaksud untuk memberi pengadjaran tinggi dan mendjadi sentra untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan ihwal Agama Islam.”
Jadi, sesuai dengan niat mulia semenjak awalnya, perguruan-perguruan tinggi Islam harus menjadi sentra pengembangan dan pendalaman ilmu ihwal agama Islam. Tentu, sebagai umat Islam Indonesia, kita berharap, dari kampus-kampus ini lahir para cendekiawan dan ulama yang arif tinggi dan taat kepada Allah. Untuk itu, biar menjadi kampus Islam yang benar-benar sehat, segala macam jenis bakteri dan virus-virus yang merusak ilmu-ilmu Islam harus mulai dikaji, diteliti, untuk selanjutnya ‘dijinakkan’ dan diamankan’.
Cita-cita mulia itu tidak akan terwujud, bila civitas academica di kampus Islam tidak bisa membedakan manayang ‘obat’ dan mana yang ‘racun’; mana ilmu yang bermanfaat dan mana ilmu yang madharat. Jika tidak paham atau tidak peduli dengan dilema ini, bisa jadi, kampus yang semula didirikan dengan niat begitu mulia, risikonya secara tidak sadar sudah dibajak oleh para orientalis.
Wallahu a’lam.
(Depok, 25 Agustus 2006/www.hidayatullah.com]
*Diambil dari Kumpulan Tulisan Adian Husaini
*Beliau yakni Pemburu Pengetahuan, Aktifis mahasiswa & Jaringan Islam Kampus Jember.sekaligus Alumni PP.Baitul Arqom Balung Jember (CP: +6281358001080)
terima kasih sudah mau membaca.
0 Response to "“Ketika Kampus Islam Dibajak Orientalis”"
Post a Comment
Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)
NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".
Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda