Pluralisme: Kerancuan Istilah Dan Pemahaman
Saturday, June 2, 2018
Add Comment
بسم الله الرØمن الرØيم
Perdebatan dan kontroversi perihal dilema Pluralisme kembali menghangat di Indonesia. Meskipun dilema ini sudah banyak ditulis dan didiskusikan, pro-kontra itu terus saja berlangsung. Dalam mencermati hiruk-pikuk wacana “Pluralisme” pada umumnya, dan “Pluralisme Agama” khususnya, yang tengah marak di negeri kita pada dasawarsa pertama kala ke-21 ini; pun juga dalam aneka macam kesempatan mengisi aneka macam workshop, seminar dan konferensi, khusus mengenai info dan wacana tersebut, saya merasa gamang, ada sesuatu yang sangat mengusik budi kesadaran.
Bagaimana tidak? Wacana ini sudah sedemikian melebar dan meluas, serta merambah ke aneka macam ranah, dan disahami oleh aneka macam kalangan – mulai dari politisi, budayawan, agamawan hingga akademik, tapi topik utama yang diwacanakan ini nyaris tidak pernah benar-benar diupayakan pendefinisiannya secara teknis atau sesuai dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Padahal inilah langkah metodologis awal yang mesti dilakukan oleh siapa pun yang interest dan berkepentingan dengan info ini. Lebih dari itu, bahu-membahu dilema ini yakni dilema tuntutan logis belaka yang niscaya, yang kalau diabaikan maka secara tak terhindarkan akan membuat tidak saja kerancuan atau kebingungan (confusion), tapi juga pada jadinya mengaburkan dan bahkan menyesatkan (misleading).
Para ulama kita terdahulu dari aneka macam bidang dan disiplin ilmu ternyata sangat peka dan menyadari betapa krusialnya problem definisi ini sebelum mereka mengupas bahasan-bahasan di bidang masing-masing secara detail. Para fuqaha’, misalnya, begitu sistematis dalam mengupas masalah-masalah fiqh, dimulai dengan definisi-definisi yang gamblang secara lughawy maupun teknisnya: apa itu taharah, wudhu, tayammum, mandi, dsb. Tapi sayang sekali, berilmu balig cukup akal ini model dan tradisi semacam ini tampak banyak ditinggalkan oleh kalangan kita, khususnya dalam hal berwacana Pluralisme Agama.
Entah lantaran alasannya oversight atau apa, yang terang pada hakekatnya tidak banyak di kalangan kita yang mencoba mengerti atau memahami, apalagi mempersoalkan problem definisi ini dengan betul dan bijak. Seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup terang dan, oleh karenanya, boleh taken for granted. Padahal, istilah “pluralisme” itu jelas-jelas istilah (baca: ideologi) pendatang yang merangsek ke alam sadar dan di-bawah-sadar kita bersama-sama dengan istilah-istilah dan ideologi-ideologi asing yang lain, ibarat democracy, humanism, liberalism, dsb. yang tentu saja tidak sanggup kita maknai seenak kita atau berdasarkan “selera” dan perkiraan kita.
Secara umum sanggup dikatakan bahwa kebanyakan orang yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahwa “pluralisme yakni toleransi” atau “pluralisme agama yakni toleransi agama”. Fakta ini sanggup dilihat daripada ingar-bingarnya reaksi dan respon yang cenderung “emosional” terhadap aliran Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tahun 2005 perihal aturan haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS), dan juga terhadap resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan aturan yang sama dengan aliran MUI. Yang menyedihkan, anggapan atau perkiraan simplistik ini tidak hanya terbatas pada kalangan “awam” (yang memang tak terdidik secara akademis dalam bidang ini), tapi hatta kalangan para tokoh atau yang ditokohkan yang memang spesialisasi akademiknya di bidang ini pun tampak begitu over-confident dengan pemahamannya yang simplistik.
Salah satu pola yang paling konkrit yakni sebuah Disertasi Doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang kemudian diterbitkan pada awal tahun 2009 yang kemudian dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Dalam buku ini tak nampak ada upaya yang serius dari pengarangnya untuk mendiskusikan definisi teori atau faham Pluralisme Agama yang menjadi topik utama bahasannya, malah terjebak pada pengertian yang keliru di atas tadi. Pembaca yang cermat tidak perlu bersusah-payah melongok kedalamnya, dari judul saja sudah cukup untuk mengetahui apa gerangan yang dimaksudkan oleh pengarangnya perihal faham Pluralisme Agama ini, yang tiada lain yakni “toleransi agama”.
Tapi meskipun demikian, anehnya buku ini menerima sambutan yang luar biasa oleh media massa kita, dan juga sanjungan dan kebanggaan yang sangat hiperbola dari sederet nama orang-orang yang ditokohkan di masyakarat Indonesia dengan latar-belakang yang bermacam-macam yang jumlahnya lebih dari selusin. Hal ini semakin mengambarkan betapa kacaunya dunia pemikiran dan akademik di kalangan kita.
Anggapan bahwa “pluralisme agama yakni toleransi agama” yakni anggapan subyektif yang jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Diana L. Eck, administrator The Pluralism Project di Universitas Harvard, Amerika Serikat, misalnya, dalam klarifikasi resminya yang berjudul “What is Pluralism?” dan diulangi dalam “From Diversity to Pluralism” (masing-masing sanggup diakses dan dibaca pada http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php, dan http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php), menyuguhkan empat karakteristik utama untuk mendefinisikan faham ini secara detail. Dia menyatakan salah satunya bahwa “pluralism is not just tolerance,” yang bermakna “pluralisme bukanlah sekedar toleransi.” Pernyataan yang lebih kurang sama juga ia sampaikan dalam keynote addressnya yang berjudul “A New Religious America: Managing Religious Diversity in a Democracy: Challenges and Prospects for the 21st Century” pada MAAS International Conference on Religious Pluralism in Democratic Societies, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 20-21, 2002. Lebih lanjut ia berkata dalam keynote addressnya ini:
Jadi sangat terang sekali apa yang dimaksudkan dengan pluralisme oleh kaum pluralis sejati. Mereka tidak mengingkari pentingnya toleransi, “There is no question that tolerance is important,” kata Eck dalam makalahnya yang lain (“From Diversity to Pluralism”), tapi segera sehabis itu ia tambahkan: “but tolerance by itself may be a deceptive virtue” (tetapi toleransi itu sendiri boleh jadi menjadi suatu budi-pekerti/kebaikan yang menipu). Pandangan miring terhadap toleransi ini bahu-membahu sudah mulai dilantunkan kalangan pemikir pluralis semenjak tahun 60-an pada kala ke-20 yang lalu.
Sebut saja, misalnya, Albert Dondeyne yang dalam bukunya, Faith and the World, yang terbit di Dublin oleh Gill and Son pada tahun 1963, menulis pada halaman 231: “Let us note that was what then called tolerance would be considered today as the expression of systematic intolerance. In other words, tolerance was then almost synonymous with moderate intolerance.” (Mari kita catat bahwa apa yang dahulu dinamakan toleransi, kini telah dianggap sebagai sebuah verbal ketidaktoleranan yang sistematis. Dalam istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat).
Bahkan sebelumnya Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris terkemuka, dalam bukunya, An Historian’s Approach to Religion, yang terbit di London oleh Oxford University Press, tahun 1956, sudah mewanti-wanti bahwa “toleransi tidak akan mempunyai arti yang positif,” bahkan “tidak tepat dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berkembang menjadi kecintaan.” (hal. 251)
Yang perlu digaris-bawahi di sini yakni bahwa bagi kalangan pluralis sejati, Pluralisme pada umumnya dan Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah toleransi sebagaimana yang jamak di(salah)fahami oleh kalangan pluralis. Penekanan Pluralisme lebih pada “kesamaan” atau “kesetaraan” (equality) dalam segala hal, termasuk “beragama”. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Pandangan ini pada jadinya akan menggerus konsep keyakinan ”iman-kufur”, ”tauhid-syirik”, dalam konsepsi Islam.
Al-Quran terang menyebut orang mukmin sebagai ”khairul bariyyah” (sebaik-baik makhluk), sedangkan orang kafir disebut ”syarrul bariyyah” (seburuk-buruk makhluk). Bahkan, al-Quran juga tidak menyetarakan antara orang shaleh dengan orang jahat (fasik). Orang yang paling mulia disisi Tuhan yakni orang yang taqwa. Maka, Islam punya konsep kesetaraan sendiri yang terang berbeda dengan konsep kesetaraan kaum Pluralis Agama.
Karena itu, memang umat Islam harus sangat berhati-hati dalam mengadopsi satu istilah atau paham yang kalau tidak berhati-hati akan sanggup merusak keimanannya sendiri. Islam – semenjak awal kelahirannya – sudah mempunyai konsep yang terang bagaimana memandang agama lain dan bagaimana bekerjasama dengan pemeluk agama lain. Seharusnya konsep inilah yang digali dan dikembangkan, bukan justru mengadopsi konsep yang lahir dari masyarakat yang selama ratusan tahun tidak mengakui bahkan menindas keberagaman (pluralitas). (***)
Bagaimana tidak? Wacana ini sudah sedemikian melebar dan meluas, serta merambah ke aneka macam ranah, dan disahami oleh aneka macam kalangan – mulai dari politisi, budayawan, agamawan hingga akademik, tapi topik utama yang diwacanakan ini nyaris tidak pernah benar-benar diupayakan pendefinisiannya secara teknis atau sesuai dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Padahal inilah langkah metodologis awal yang mesti dilakukan oleh siapa pun yang interest dan berkepentingan dengan info ini. Lebih dari itu, bahu-membahu dilema ini yakni dilema tuntutan logis belaka yang niscaya, yang kalau diabaikan maka secara tak terhindarkan akan membuat tidak saja kerancuan atau kebingungan (confusion), tapi juga pada jadinya mengaburkan dan bahkan menyesatkan (misleading).
Para ulama kita terdahulu dari aneka macam bidang dan disiplin ilmu ternyata sangat peka dan menyadari betapa krusialnya problem definisi ini sebelum mereka mengupas bahasan-bahasan di bidang masing-masing secara detail. Para fuqaha’, misalnya, begitu sistematis dalam mengupas masalah-masalah fiqh, dimulai dengan definisi-definisi yang gamblang secara lughawy maupun teknisnya: apa itu taharah, wudhu, tayammum, mandi, dsb. Tapi sayang sekali, berilmu balig cukup akal ini model dan tradisi semacam ini tampak banyak ditinggalkan oleh kalangan kita, khususnya dalam hal berwacana Pluralisme Agama.
Entah lantaran alasannya oversight atau apa, yang terang pada hakekatnya tidak banyak di kalangan kita yang mencoba mengerti atau memahami, apalagi mempersoalkan problem definisi ini dengan betul dan bijak. Seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup terang dan, oleh karenanya, boleh taken for granted. Padahal, istilah “pluralisme” itu jelas-jelas istilah (baca: ideologi) pendatang yang merangsek ke alam sadar dan di-bawah-sadar kita bersama-sama dengan istilah-istilah dan ideologi-ideologi asing yang lain, ibarat democracy, humanism, liberalism, dsb. yang tentu saja tidak sanggup kita maknai seenak kita atau berdasarkan “selera” dan perkiraan kita.
Secara umum sanggup dikatakan bahwa kebanyakan orang yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahwa “pluralisme yakni toleransi” atau “pluralisme agama yakni toleransi agama”. Fakta ini sanggup dilihat daripada ingar-bingarnya reaksi dan respon yang cenderung “emosional” terhadap aliran Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tahun 2005 perihal aturan haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS), dan juga terhadap resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan aturan yang sama dengan aliran MUI. Yang menyedihkan, anggapan atau perkiraan simplistik ini tidak hanya terbatas pada kalangan “awam” (yang memang tak terdidik secara akademis dalam bidang ini), tapi hatta kalangan para tokoh atau yang ditokohkan yang memang spesialisasi akademiknya di bidang ini pun tampak begitu over-confident dengan pemahamannya yang simplistik.
Salah satu pola yang paling konkrit yakni sebuah Disertasi Doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang kemudian diterbitkan pada awal tahun 2009 yang kemudian dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Dalam buku ini tak nampak ada upaya yang serius dari pengarangnya untuk mendiskusikan definisi teori atau faham Pluralisme Agama yang menjadi topik utama bahasannya, malah terjebak pada pengertian yang keliru di atas tadi. Pembaca yang cermat tidak perlu bersusah-payah melongok kedalamnya, dari judul saja sudah cukup untuk mengetahui apa gerangan yang dimaksudkan oleh pengarangnya perihal faham Pluralisme Agama ini, yang tiada lain yakni “toleransi agama”.
Tapi meskipun demikian, anehnya buku ini menerima sambutan yang luar biasa oleh media massa kita, dan juga sanjungan dan kebanggaan yang sangat hiperbola dari sederet nama orang-orang yang ditokohkan di masyakarat Indonesia dengan latar-belakang yang bermacam-macam yang jumlahnya lebih dari selusin. Hal ini semakin mengambarkan betapa kacaunya dunia pemikiran dan akademik di kalangan kita.
Anggapan bahwa “pluralisme agama yakni toleransi agama” yakni anggapan subyektif yang jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Diana L. Eck, administrator The Pluralism Project di Universitas Harvard, Amerika Serikat, misalnya, dalam klarifikasi resminya yang berjudul “What is Pluralism?” dan diulangi dalam “From Diversity to Pluralism” (masing-masing sanggup diakses dan dibaca pada http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php, dan http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php), menyuguhkan empat karakteristik utama untuk mendefinisikan faham ini secara detail. Dia menyatakan salah satunya bahwa “pluralism is not just tolerance,” yang bermakna “pluralisme bukanlah sekedar toleransi.” Pernyataan yang lebih kurang sama juga ia sampaikan dalam keynote addressnya yang berjudul “A New Religious America: Managing Religious Diversity in a Democracy: Challenges and Prospects for the 21st Century” pada MAAS International Conference on Religious Pluralism in Democratic Societies, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 20-21, 2002. Lebih lanjut ia berkata dalam keynote addressnya ini:
I would propose that pluralism goes beyond mere tolerance to the active attempt to understand the other... Although tolerance is no doubt a step forward from intolerance, it does not require new neighbors to know anything about one another. Tolerance comes from a position of strength. I can tolerate many minorities if I am in power, but if I myself am a member of a small minority, what does tolerance mean? ... a truly pluralist society will need to move beyond tolerance toward constructive understanding... Tolerance can create a climate of restraint, but not a climate of understanding. Tolerance is far too fragile a foundation for a religiously complex society, and in the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly. (penegasan dari penulis)
(Saya usulkan bahwa pluralisme itu lebih dari sekadar toleransi menjadi upaya aktif memahami (orang/kelompok)yang lain… Meski tak diragukan lagi toleransi itu selangkah lebih maju daripada intoleransi, ia tidak menuntut orang-orang yang bertetangga gres untuk tahu sedikit pun antara satu dengan lainnya. Toleransi muncul dari pihak yang berpengaruh posisinya. Saya sanggup toleran dengan banyak kelompok minoritas kalau saya berpengaruh (berkuasa), tapi kalau saya sendiri dari kelompok minoritas, apa artinya toleransi? … suatu masyarakat yang betul-betul pluralis perlu melampaui toleransi menuju pemahaman yang konstruktif… Toleransi sanggup membuat iklim pengekangan-diri, tapi bukan iklim (saling) memahami. Toleransi yakni pondasi yang sangat ringkih dan rentan bagi sebuah masyarakat yang bermacam-macam agama, dan di dunia dimana kita hidup kini ini, ketidak-tahuan kita antara satu dengan lainnya ongkosnya (yang harus dibayar) akan semakin mahal).
Jadi sangat terang sekali apa yang dimaksudkan dengan pluralisme oleh kaum pluralis sejati. Mereka tidak mengingkari pentingnya toleransi, “There is no question that tolerance is important,” kata Eck dalam makalahnya yang lain (“From Diversity to Pluralism”), tapi segera sehabis itu ia tambahkan: “but tolerance by itself may be a deceptive virtue” (tetapi toleransi itu sendiri boleh jadi menjadi suatu budi-pekerti/kebaikan yang menipu). Pandangan miring terhadap toleransi ini bahu-membahu sudah mulai dilantunkan kalangan pemikir pluralis semenjak tahun 60-an pada kala ke-20 yang lalu.
Sebut saja, misalnya, Albert Dondeyne yang dalam bukunya, Faith and the World, yang terbit di Dublin oleh Gill and Son pada tahun 1963, menulis pada halaman 231: “Let us note that was what then called tolerance would be considered today as the expression of systematic intolerance. In other words, tolerance was then almost synonymous with moderate intolerance.” (Mari kita catat bahwa apa yang dahulu dinamakan toleransi, kini telah dianggap sebagai sebuah verbal ketidaktoleranan yang sistematis. Dalam istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat).
Bahkan sebelumnya Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris terkemuka, dalam bukunya, An Historian’s Approach to Religion, yang terbit di London oleh Oxford University Press, tahun 1956, sudah mewanti-wanti bahwa “toleransi tidak akan mempunyai arti yang positif,” bahkan “tidak tepat dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berkembang menjadi kecintaan.” (hal. 251)
Yang perlu digaris-bawahi di sini yakni bahwa bagi kalangan pluralis sejati, Pluralisme pada umumnya dan Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah toleransi sebagaimana yang jamak di(salah)fahami oleh kalangan pluralis. Penekanan Pluralisme lebih pada “kesamaan” atau “kesetaraan” (equality) dalam segala hal, termasuk “beragama”. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Pandangan ini pada jadinya akan menggerus konsep keyakinan ”iman-kufur”, ”tauhid-syirik”, dalam konsepsi Islam.
Al-Quran terang menyebut orang mukmin sebagai ”khairul bariyyah” (sebaik-baik makhluk), sedangkan orang kafir disebut ”syarrul bariyyah” (seburuk-buruk makhluk). Bahkan, al-Quran juga tidak menyetarakan antara orang shaleh dengan orang jahat (fasik). Orang yang paling mulia disisi Tuhan yakni orang yang taqwa. Maka, Islam punya konsep kesetaraan sendiri yang terang berbeda dengan konsep kesetaraan kaum Pluralis Agama.
Karena itu, memang umat Islam harus sangat berhati-hati dalam mengadopsi satu istilah atau paham yang kalau tidak berhati-hati akan sanggup merusak keimanannya sendiri. Islam – semenjak awal kelahirannya – sudah mempunyai konsep yang terang bagaimana memandang agama lain dan bagaimana bekerjasama dengan pemeluk agama lain. Seharusnya konsep inilah yang digali dan dikembangkan, bukan justru mengadopsi konsep yang lahir dari masyarakat yang selama ratusan tahun tidak mengakui bahkan menindas keberagaman (pluralitas). (***)
Terima Kasih Sudah Mau Membaca.
0 Response to "Pluralisme: Kerancuan Istilah Dan Pemahaman"
Post a Comment
Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)
NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".
Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda