Tak Cukup Hanya Cinta
Tuesday, September 18, 2018
Add Comment
"Sendirian aja dhek Lia? Masnya mana?",
sebuah pertanyaan tiba-tiba mengejutkan saya yang sedang mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir Qur’an di Mesjid komplek perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha tetangga satu blok yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia rajin tiba ke majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang pertama yang saya kenal disini, Mbak Artha juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-membuat kami jarang bertemu, hanya seminggu sekali ketika ngaji ibarat ini atau ketika ada acara-acara di mesjid. Mungkin lantaran sama-sama perantau asal Jawa, kami jadi lebih cepat akrab.
"Kebetulan Mas Adi sedang dinas keluar kota mbak, Makara Saya pergi sendiri", jawabku sambil menggunakan sandal yang gres saja kutemukan diantara tumpukan sandal-sendal yang lain. "Seneng ya dhek sanggup tiba ke pengajian bareng suami, kadang mbak kepingin banget ditemenin Mas Bimo menghadiri majelis-majelis taklim", raut muka Mbak Artha tampak sedikit berubah ibarat orang yang kecewa. Dia mulai bersemangat bercerita, mungkin lebih tepatnya mengeluarkan uneg-uneg. Sebenarnya saya sedikit risih juga lantaran semua yang Mbak Artha ceritakan menyangkut kehidupan rumahtangganya bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa saya dengerin aja, masak orang mau curhat kok dilarang, biar saja saya sanggup memetik pelajaran dari apa yang dituturkan Mbak Artha padaku. Aku dan Mas Adi kan menikah belum genap setahun, gres 10 bulan, jadi harus banyak berguru dari pengalaman pasangan lain yang sudah mengecap asam manis janji nikah termasuk Mbak Artha yang katanya sudah menikah dengan Mas Bimo hampir 6 tahun lamanya.
"Dhek Lia, ndak buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol dulu", tiba-tiba mbak Artha mengagetkanku. " Nggak papa mbak, kebetulan saya juga lagi free nih, lagian kan kita dah usang nggak ngobrol-ngobrol", jawabku sambil menuju salah satu dingklik di halaman TPA yang masih satu komplek dengan Mesjid.
Dengan bunyi yang pelan namun tegas mbak Artha mulai bercerita. Tentang kehidupan rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama Mas Bimo yang smakin usang makin dingin dan kehilangan arah.
"Aku dan mas Bimo kenal semenjak kuliah bahkan menjalani proses pacaran selama hampir 3 tahun sebelum tetapkan untuk menikah. Kami sama-sama berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dalam hal agama", mbak Artha mulai bertutur. "Bahkan, boleh dibilang sangat longgar. Kami pun juga tidak termasuk mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya, kami yakni mahasiswa gaul, tapi cukup berprestasi. Walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin tidak meninggalkan sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib niscaya kami jalankan, ya mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Bimo orang yang sabar, pengertian, sanggup ngemong dan yang penting dia begitu mencintaiku, Proses pacaran yang kami jalani mulai tidak sehat, banyak bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan zina. Nggak ada pilihan lain, saya dan mas Bimo harus segera menikah lantaran dorongan syahwat itu begitu besar. Berdasar inilah alhasil saya mendapatkan usul mas Bimo untuk menikah".
"Mbak nggak minta petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?", tanyaku penasaran. "Itulah dhek, mungkin saya ini hamba yang sombong,untuk urusan besar ibarat nikah ini saya sama sekali tidak melibatkan Alloh. Makara kalo emang alhasil menjadi ibarat ini itu semua memang akhir perbuatanku sendiri"
"Pentingnya ilmu perihal janji nikah dan tujuan menikah menggapai sakinah dan mawaddah gres saya sadari sehabis rajin mengikuti kajian-kajian guna meng upgrade diri. Sejujurnya saya akui, sama sekali tidak ada kreteria agama ketika menentukan mas Bimo dulu. Yang penting mas Bimo orang yang baik, udah mapan, sabar dan sangat mencintaiku. Soal agama, yang penting menjalankan sholat dan puasa itu sudah cukup. Toh nanti sanggup dipelajari gotong royong itu pikirku dulu. Lagian saya kan juga bukan akhwat dhek, saya Cuma perempuan biasa, mana mungkin pasang sasaran untuk mendapatkan ikhwan atau pria yang pemahaman agamanya baik", papar mbak Artha sambil tersenyum getir.
Aku perbaiki posisi dudukku, saya pikir ini pengalaman yang menarik. Rasa ingin tau dan sedikit nggak percaya lantaran Mbak Artha yang saya kenal kini yakni tipikal perempuan sholehah, berhijab rapi, tutur kata lembut, tilawahnya elok dan smangatnya luar biasa. Benar-benar jauh dari profil yang di ceritakan tadi. Ternyata benar kata pepatah, bahwa pengalaman yakni guru yang paling berharga. Mungkin bertolak dari minimnya pengetahuan agama, alhasil mbak Artha berusaha keras untuk meng-up grade diri. Dan subahanalloh hasilnya sungguh menakjubkan. Mbak Artha mekar laksana bunga yang sedang tumbuh di demam isu semi, tapi siapa sangka ternyata indahnya bunga itu tak lain lantaran kotoran-kotoran binatang yang menjadi pupuk disepanjang kehidupannya.
Rupanya harapan mbak Artha untuk sanggup menimba ilmu agama gotong royong sang suami tinggal impian. Mas Bimo yang dibutuhkan sanggup menjadi katalisator dan penyemangat ternyata hanya jalan ditempat. Hapalan Juz Amma nya belum bertambah, tilawah Al Qur'an-nya masih belum ada perbaikan masih belum lancar. Sementara kesibukannya sebagai Brand Manager di salah satu perusahaan Telco milik asing, makin menyita waktu dan perhatiannya. Masih syukur sanggup mengahabiskan weekend bersama Mbak Artha dan Raihan anak semata wayang mereka, kadang weekend pun mas Bimo harus ke kantor atau meeting dan lain-lain. Tidak ada waktu untuk menghadiri majelis taklim, tadarus bersama bahkan sholat berjama’ah pun nyaris tidak pernah mereka lakukan.
Aku jadi teringat khutbah pernikahanku dengan Mas Adi, waktu itu sang ustad berkata "Rumah tangga yang didalamnnya ditegakkan sholat berjam’ah antara anggota keluarga serta sering dikumandangkan ayat-ayat Allloh akan didapati kedamaian dan ketenangan didalamnya"
"Dhek....", bunyi mbak Artha membuyarkan lamunanku. "Iya mbak, saya masih denger kok. Saya hanya berpikir ini semua sanggup menjadi ladang amal buat mbak Artha", jawabku sigap supaya nggak terlihat kalau emang lagi ngelamun.
"Pada awalnya saya juga berpikir ibarat itu dhek. Aku berharap Mas Bimo juga mempunyai keinginan yang sama dengan ku untuk memperdalam pengetahuan kami terhadap Islam. Aku cukup bangga ketika mas Bimo menyambut ajakanku untuk sama-sama belajar. Namun dalam perjalanannya, smangat yang kami miliki berbeda. Mas Bimo seolah jalan ditempat. Sempat miris hati ini ketika suatu ketika saya meminta ia menjadi imam dalam sholat magrib. Bacaan suratnya masih yang itu-itu juga dan masih terbata-bata.Aku gres tau bahwa dia belum pernah khatam Qur’an. Harusnya kan suami itu imam dalam keluarga ya dhek?", mata mbak Artha mulai berkaca-kaca.
"Apa harapanku terlalu tinggi terhadap suamiku? Bukankah harusnya suami itu yakni Qowwam, pemimpin bagi istrinya. Lalu bagaimana kalau sang pemimpin saja belum mempunyai bekal yang cukup untuk menjadi seorang pemimpin?", bunyi mbak Artha mulai bergetar.
"Terkadang saya ingin sekali tadarus bersama suami, tapi itu semua nggak mungkin terjadi selama suamiku tidak mau berguru lagi membaca Al-qur'an. Aku juga merindukan sholat berjama’ah dimana suami menjadi imannya sementara kami istri dan anak menjadi makmumnya. Apa keinginanku ini hiperbola dhek?", tampak bulir bening mulai mengalir dipipi mbak Artha.
"Berbagai cara sudah ku coba, supaya Mas Bimo bersemangat memperbaiki diri terutama dalam hal ibadah. Tentunya dengan sangat hati-hati supaya tidak menyinggung perasaannya dan supaya tidak berkesan menggurui. Aku mulai rajin mengikuti kajian-kajian keislaman, mencoba sekuat tenaga untuk sholat 5 waktu sempurna pada waktunya dan tilawah qur’an sehabis sholat subuh. Bahkan berusaha bangkit malam menunaikan tahajud serta menjalankan sholat dhuha dipagi hari. Semuanya itu kulakukan, dengan harapan mas Bimo pun akan menirunya. Aku berharap sekali dia terpacu dan semangat, melihat istrinya bersemangat", papar mbak Artha dengan bunyi yang agak tinggi.
"Tapi hingga detik ini semuanya belum membuahkan hasil. Aku ibarat orang yang berjalan sendirian. Tertatih, jatuh bangkit berusaha menggapai cinta Alloh. Aku butuh orang yang sanggup membimbingku menuju surga. Dan harusnya orang itu yakni Mas Bimo, suami ku"
Kurangkul pundaknya, sambil berbisik "sabar ya mbak, mudah-mudahan semuai harapanmu akan segera terwujud". Mbak Artha tampak agak tenang dan mulai melanjutkan ceritanya.
"Dari segi materi materi apa yang Mas Bimo berikan sudah lebih dari cukup, overall Mas Bimo suami yang baik dan bertanggung jawab. Bahtera rumah tangga kami belum pernah diterpa angin kencang besar, semuanya berjalan lancar. Sampai disuatu ketika mbak mulai menyadari tampaknya perahu kami telah kehilangan arah dan tujuan. Kami hanya mengikuti arus kehidupan yang smakin usang smakin membawa kami kearah yang tidak jelas. Kami sibuk dengan aktifitas kami masing-masing. Kehangatan, kemesraan, ungkapan sayang yang dulu paling saya kagumi dari Mas Bimo bertahap terkikis di telan waktu dan kesibukannya. Dan yang lebih parahnya lagi, unsur religi sama sekali tak pernah di sentuh Mas Bimo sebagai kepala keluarga. Fungsi qowam sebagai pemimpin dalam menggapai cinta hakiki dari Sang Pemilik Cinta, terabaikan. Mungkin lantaran memang bekalnya yang kurang. Sunguh, harapan menggapai sakinah dan mawaddah serta rahmah semakin hari kian jauh dari pandangan. Rumah tangga kami bagai tanpa ruh dan kering", bunyi mbak Artha mulai bergetar kembali.
Aku jadi speachless nggak tau musti berkata apa lagi. Ternyata ketenangan rumah tangga mbak Artha, menyimpan suatu bara yang setiap ketika sanggup memperabukan hangus semuanya. Hanya lantaran satu hal, yaitu alpanya sentuhan spritual dalam berumahtangga. Atau mungkin juga adanya ketidaksamaan visi atau tujuan ketika awal menikah dulu. Bukankan tujuan kita menikah yakni ibadah untuk menyempurnakan setengah agama. Idealnya, sehabis menikah keimanan, ibadah kita makin meningkat. Karena ada suami yang akan menjadi murobbi atau mentor bagi istri, atau kalaupun sebaliknya kalau istri yang lebih berilmu tidaklah duduk kasus kalau istri yang menjadi mentor bagi suami. Yang penting tujuan menyempurnakan dien guna menggapai sakinah dan mawaddah melalui cinta dan rahmah makin hari makin terwujud. Mungkin itulah sebabnya mengapa kreteria agama lebih diutamakan daripada fisik, harta dan keturunan.
Ternyata cinta saja tak cukup untuk bekal menikah, begitupun dengan harta. Pernikahan merupakan korelasi secara emosional yang harus ditumbuhkan dengan sangat hati-hati, penuh kepedulian dan saling mengisi.Bahkan puncak kenikmatan sebuah janji nikah bukanlah dicapai melalui penyatuan fisik saja melainkan melalui penyatuan emosional dan spiritual. Pernikahan yakni sarana pembelajaran yang terus menerus. Baik untuk mempelajari abjad pasangan ataupun untuk meng upgrade diri masing-masing.
"Dhek Lia....", Mbak Artha membuyarkan lamunanku. "Makasih ya dhek dah mau jadi kuping buat mbak", mbak Artha menggenggam tanganku sambil tersenyum. "Mbak yakin dhek Lia sanggup dipercaya, do'akan supaya mbak diberikan jalan yang terbaik sama Alloh".
Aku pun tersenyum, "Insyaalloh mbak, makasih juga dah mau sharing duduk kasus ini dengan saya. Banyak pesan yang tersirat yang sanggup saya sanggup dari dongeng mbak. Saya masih harus banyak berguru soal kehidupan berumah tangga mbak. Jazakillah".
Tak terasa hampir 2 jam kami ngobrol di teras TPA. Kumandang adzan dhuhur, mengakhiri dialog kami. Sambil menuju kawasan wudhu mesjid untuk sholat dhuhur berja'maah kusempatkam mengirim sms ke mas Adi. "Mas saya kangen, kangen sholat bareng, kangen tadarus bareng cepet pulang ya Mas. Uhibbukafillahi Ta'ala" ***
sebuah pertanyaan tiba-tiba mengejutkan saya yang sedang mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir Qur’an di Mesjid komplek perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha tetangga satu blok yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia rajin tiba ke majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang pertama yang saya kenal disini, Mbak Artha juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-membuat kami jarang bertemu, hanya seminggu sekali ketika ngaji ibarat ini atau ketika ada acara-acara di mesjid. Mungkin lantaran sama-sama perantau asal Jawa, kami jadi lebih cepat akrab.
"Kebetulan Mas Adi sedang dinas keluar kota mbak, Makara Saya pergi sendiri", jawabku sambil menggunakan sandal yang gres saja kutemukan diantara tumpukan sandal-sendal yang lain. "Seneng ya dhek sanggup tiba ke pengajian bareng suami, kadang mbak kepingin banget ditemenin Mas Bimo menghadiri majelis-majelis taklim", raut muka Mbak Artha tampak sedikit berubah ibarat orang yang kecewa. Dia mulai bersemangat bercerita, mungkin lebih tepatnya mengeluarkan uneg-uneg. Sebenarnya saya sedikit risih juga lantaran semua yang Mbak Artha ceritakan menyangkut kehidupan rumahtangganya bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa saya dengerin aja, masak orang mau curhat kok dilarang, biar saja saya sanggup memetik pelajaran dari apa yang dituturkan Mbak Artha padaku. Aku dan Mas Adi kan menikah belum genap setahun, gres 10 bulan, jadi harus banyak berguru dari pengalaman pasangan lain yang sudah mengecap asam manis janji nikah termasuk Mbak Artha yang katanya sudah menikah dengan Mas Bimo hampir 6 tahun lamanya.
"Dhek Lia, ndak buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol dulu", tiba-tiba mbak Artha mengagetkanku. " Nggak papa mbak, kebetulan saya juga lagi free nih, lagian kan kita dah usang nggak ngobrol-ngobrol", jawabku sambil menuju salah satu dingklik di halaman TPA yang masih satu komplek dengan Mesjid.
Dengan bunyi yang pelan namun tegas mbak Artha mulai bercerita. Tentang kehidupan rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama Mas Bimo yang smakin usang makin dingin dan kehilangan arah.
"Aku dan mas Bimo kenal semenjak kuliah bahkan menjalani proses pacaran selama hampir 3 tahun sebelum tetapkan untuk menikah. Kami sama-sama berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dalam hal agama", mbak Artha mulai bertutur. "Bahkan, boleh dibilang sangat longgar. Kami pun juga tidak termasuk mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya, kami yakni mahasiswa gaul, tapi cukup berprestasi. Walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin tidak meninggalkan sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib niscaya kami jalankan, ya mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Bimo orang yang sabar, pengertian, sanggup ngemong dan yang penting dia begitu mencintaiku, Proses pacaran yang kami jalani mulai tidak sehat, banyak bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan zina. Nggak ada pilihan lain, saya dan mas Bimo harus segera menikah lantaran dorongan syahwat itu begitu besar. Berdasar inilah alhasil saya mendapatkan usul mas Bimo untuk menikah".
"Mbak nggak minta petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?", tanyaku penasaran. "Itulah dhek, mungkin saya ini hamba yang sombong,untuk urusan besar ibarat nikah ini saya sama sekali tidak melibatkan Alloh. Makara kalo emang alhasil menjadi ibarat ini itu semua memang akhir perbuatanku sendiri"
"Pentingnya ilmu perihal janji nikah dan tujuan menikah menggapai sakinah dan mawaddah gres saya sadari sehabis rajin mengikuti kajian-kajian guna meng upgrade diri. Sejujurnya saya akui, sama sekali tidak ada kreteria agama ketika menentukan mas Bimo dulu. Yang penting mas Bimo orang yang baik, udah mapan, sabar dan sangat mencintaiku. Soal agama, yang penting menjalankan sholat dan puasa itu sudah cukup. Toh nanti sanggup dipelajari gotong royong itu pikirku dulu. Lagian saya kan juga bukan akhwat dhek, saya Cuma perempuan biasa, mana mungkin pasang sasaran untuk mendapatkan ikhwan atau pria yang pemahaman agamanya baik", papar mbak Artha sambil tersenyum getir.
Aku perbaiki posisi dudukku, saya pikir ini pengalaman yang menarik. Rasa ingin tau dan sedikit nggak percaya lantaran Mbak Artha yang saya kenal kini yakni tipikal perempuan sholehah, berhijab rapi, tutur kata lembut, tilawahnya elok dan smangatnya luar biasa. Benar-benar jauh dari profil yang di ceritakan tadi. Ternyata benar kata pepatah, bahwa pengalaman yakni guru yang paling berharga. Mungkin bertolak dari minimnya pengetahuan agama, alhasil mbak Artha berusaha keras untuk meng-up grade diri. Dan subahanalloh hasilnya sungguh menakjubkan. Mbak Artha mekar laksana bunga yang sedang tumbuh di demam isu semi, tapi siapa sangka ternyata indahnya bunga itu tak lain lantaran kotoran-kotoran binatang yang menjadi pupuk disepanjang kehidupannya.
Rupanya harapan mbak Artha untuk sanggup menimba ilmu agama gotong royong sang suami tinggal impian. Mas Bimo yang dibutuhkan sanggup menjadi katalisator dan penyemangat ternyata hanya jalan ditempat. Hapalan Juz Amma nya belum bertambah, tilawah Al Qur'an-nya masih belum ada perbaikan masih belum lancar. Sementara kesibukannya sebagai Brand Manager di salah satu perusahaan Telco milik asing, makin menyita waktu dan perhatiannya. Masih syukur sanggup mengahabiskan weekend bersama Mbak Artha dan Raihan anak semata wayang mereka, kadang weekend pun mas Bimo harus ke kantor atau meeting dan lain-lain. Tidak ada waktu untuk menghadiri majelis taklim, tadarus bersama bahkan sholat berjama’ah pun nyaris tidak pernah mereka lakukan.
Aku jadi teringat khutbah pernikahanku dengan Mas Adi, waktu itu sang ustad berkata "Rumah tangga yang didalamnnya ditegakkan sholat berjam’ah antara anggota keluarga serta sering dikumandangkan ayat-ayat Allloh akan didapati kedamaian dan ketenangan didalamnya"
"Dhek....", bunyi mbak Artha membuyarkan lamunanku. "Iya mbak, saya masih denger kok. Saya hanya berpikir ini semua sanggup menjadi ladang amal buat mbak Artha", jawabku sigap supaya nggak terlihat kalau emang lagi ngelamun.
"Pada awalnya saya juga berpikir ibarat itu dhek. Aku berharap Mas Bimo juga mempunyai keinginan yang sama dengan ku untuk memperdalam pengetahuan kami terhadap Islam. Aku cukup bangga ketika mas Bimo menyambut ajakanku untuk sama-sama belajar. Namun dalam perjalanannya, smangat yang kami miliki berbeda. Mas Bimo seolah jalan ditempat. Sempat miris hati ini ketika suatu ketika saya meminta ia menjadi imam dalam sholat magrib. Bacaan suratnya masih yang itu-itu juga dan masih terbata-bata.Aku gres tau bahwa dia belum pernah khatam Qur’an. Harusnya kan suami itu imam dalam keluarga ya dhek?", mata mbak Artha mulai berkaca-kaca.
"Apa harapanku terlalu tinggi terhadap suamiku? Bukankah harusnya suami itu yakni Qowwam, pemimpin bagi istrinya. Lalu bagaimana kalau sang pemimpin saja belum mempunyai bekal yang cukup untuk menjadi seorang pemimpin?", bunyi mbak Artha mulai bergetar.
"Terkadang saya ingin sekali tadarus bersama suami, tapi itu semua nggak mungkin terjadi selama suamiku tidak mau berguru lagi membaca Al-qur'an. Aku juga merindukan sholat berjama’ah dimana suami menjadi imannya sementara kami istri dan anak menjadi makmumnya. Apa keinginanku ini hiperbola dhek?", tampak bulir bening mulai mengalir dipipi mbak Artha.
"Berbagai cara sudah ku coba, supaya Mas Bimo bersemangat memperbaiki diri terutama dalam hal ibadah. Tentunya dengan sangat hati-hati supaya tidak menyinggung perasaannya dan supaya tidak berkesan menggurui. Aku mulai rajin mengikuti kajian-kajian keislaman, mencoba sekuat tenaga untuk sholat 5 waktu sempurna pada waktunya dan tilawah qur’an sehabis sholat subuh. Bahkan berusaha bangkit malam menunaikan tahajud serta menjalankan sholat dhuha dipagi hari. Semuanya itu kulakukan, dengan harapan mas Bimo pun akan menirunya. Aku berharap sekali dia terpacu dan semangat, melihat istrinya bersemangat", papar mbak Artha dengan bunyi yang agak tinggi.
"Tapi hingga detik ini semuanya belum membuahkan hasil. Aku ibarat orang yang berjalan sendirian. Tertatih, jatuh bangkit berusaha menggapai cinta Alloh. Aku butuh orang yang sanggup membimbingku menuju surga. Dan harusnya orang itu yakni Mas Bimo, suami ku"
Kurangkul pundaknya, sambil berbisik "sabar ya mbak, mudah-mudahan semuai harapanmu akan segera terwujud". Mbak Artha tampak agak tenang dan mulai melanjutkan ceritanya.
"Dari segi materi materi apa yang Mas Bimo berikan sudah lebih dari cukup, overall Mas Bimo suami yang baik dan bertanggung jawab. Bahtera rumah tangga kami belum pernah diterpa angin kencang besar, semuanya berjalan lancar. Sampai disuatu ketika mbak mulai menyadari tampaknya perahu kami telah kehilangan arah dan tujuan. Kami hanya mengikuti arus kehidupan yang smakin usang smakin membawa kami kearah yang tidak jelas. Kami sibuk dengan aktifitas kami masing-masing. Kehangatan, kemesraan, ungkapan sayang yang dulu paling saya kagumi dari Mas Bimo bertahap terkikis di telan waktu dan kesibukannya. Dan yang lebih parahnya lagi, unsur religi sama sekali tak pernah di sentuh Mas Bimo sebagai kepala keluarga. Fungsi qowam sebagai pemimpin dalam menggapai cinta hakiki dari Sang Pemilik Cinta, terabaikan. Mungkin lantaran memang bekalnya yang kurang. Sunguh, harapan menggapai sakinah dan mawaddah serta rahmah semakin hari kian jauh dari pandangan. Rumah tangga kami bagai tanpa ruh dan kering", bunyi mbak Artha mulai bergetar kembali.
Aku jadi speachless nggak tau musti berkata apa lagi. Ternyata ketenangan rumah tangga mbak Artha, menyimpan suatu bara yang setiap ketika sanggup memperabukan hangus semuanya. Hanya lantaran satu hal, yaitu alpanya sentuhan spritual dalam berumahtangga. Atau mungkin juga adanya ketidaksamaan visi atau tujuan ketika awal menikah dulu. Bukankan tujuan kita menikah yakni ibadah untuk menyempurnakan setengah agama. Idealnya, sehabis menikah keimanan, ibadah kita makin meningkat. Karena ada suami yang akan menjadi murobbi atau mentor bagi istri, atau kalaupun sebaliknya kalau istri yang lebih berilmu tidaklah duduk kasus kalau istri yang menjadi mentor bagi suami. Yang penting tujuan menyempurnakan dien guna menggapai sakinah dan mawaddah melalui cinta dan rahmah makin hari makin terwujud. Mungkin itulah sebabnya mengapa kreteria agama lebih diutamakan daripada fisik, harta dan keturunan.
Ternyata cinta saja tak cukup untuk bekal menikah, begitupun dengan harta. Pernikahan merupakan korelasi secara emosional yang harus ditumbuhkan dengan sangat hati-hati, penuh kepedulian dan saling mengisi.Bahkan puncak kenikmatan sebuah janji nikah bukanlah dicapai melalui penyatuan fisik saja melainkan melalui penyatuan emosional dan spiritual. Pernikahan yakni sarana pembelajaran yang terus menerus. Baik untuk mempelajari abjad pasangan ataupun untuk meng upgrade diri masing-masing.
"Dhek Lia....", Mbak Artha membuyarkan lamunanku. "Makasih ya dhek dah mau jadi kuping buat mbak", mbak Artha menggenggam tanganku sambil tersenyum. "Mbak yakin dhek Lia sanggup dipercaya, do'akan supaya mbak diberikan jalan yang terbaik sama Alloh".
Aku pun tersenyum, "Insyaalloh mbak, makasih juga dah mau sharing duduk kasus ini dengan saya. Banyak pesan yang tersirat yang sanggup saya sanggup dari dongeng mbak. Saya masih harus banyak berguru soal kehidupan berumah tangga mbak. Jazakillah".
Tak terasa hampir 2 jam kami ngobrol di teras TPA. Kumandang adzan dhuhur, mengakhiri dialog kami. Sambil menuju kawasan wudhu mesjid untuk sholat dhuhur berja'maah kusempatkam mengirim sms ke mas Adi. "Mas saya kangen, kangen sholat bareng, kangen tadarus bareng cepet pulang ya Mas. Uhibbukafillahi Ta'ala" ***
0 Response to "Tak Cukup Hanya Cinta"
Post a Comment
Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)
NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".
Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda