Aksi Teror Dan Efek Dominonya - Tempat Blogging

Aksi Teror Dan Efek Dominonya

Aksi Teror dan Efek DominonyaIlustrasi: Nadia Permatasari/detikcom

Tempat Blogging Jakarta -Mei tahun ini dibuka dengan serentetan agresi teror, yang dimulai dari agresi teror di Mako Brimob dengan lima orang polisi gugur sebagai syuhada pada 10 Mei 2018. Keesokan harinya, seorang anggota Brimob ditusuk seorang mahasiswa yang berhubungan dengan organisasi teroris. Pada 12 Mei, dua mahasiswa asal Temanggung dan Ciamis ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap polisi. Dini harinya, polisi menembak mati empat tersangka teroris di Cianjur sehabis dibuntuti dari Sukabumi. Pada hari yang sama, bom meledak di tiga gereja di Surabaya, dilakukan oleh satu keluarga yang berpelukan selepas Salat Subuh. Esoknya, giliran Polrestabes Surabaya yang menjadi sasaran. Pelakunya juga satu keluarga. Dari sana, polisi melaksanakan operasi antiteror di Sidoarjo yang menewaskan empat orang terduga teroris.

Teror ini direspons beragam. Sebagian merasa bahwa teror ini yaitu upaya (baik sistematis maupun tidak) pengalihan isu. Ada dua informasi yang diasumsikan sedang dialihkan oleh rentetan insiden berdarah ini; pertama, anjloknya nilai tukar rupiah, dan kedua, rilisnya film 212. Bagi informasi yang pertama, pemerintah dianggap sedang 'cuci tangan' supaya tidak dicecar soal nilai tukar rupiah yang memburuk. Bagi informasi yang kedua, orang yang anti-212 dianggap sedang berupaya menggagalkan film tersebut. Tapi, sebagaimana sanggup Anda cek dalam argumen-argumen Prof. Mahfud MD, agak picik untuk menganggap agresi teror ini sebagai sebagai (semata) pengalihan isu.

Sebagian lagi mengaitkannya dengan kegagalan banding HTI terkait 'statusnya' sebagai ormas terlarang. Sehingga ketika Felix Siauw mengutarakan opininya yang mengutuk agresi teror bom tersebut, sebagian dari kita mengernyitkan dahi: really? Tapi, penelusuran dari polisi tidak menempatkan HTI atau eks-HTI sebagai dalang. Tersangka teroris terafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dengan Aman Abdurrahman (salah seorang napiter di Mako Brimob) menjadi salah satu tokohnya. Dari sana, agresi terorisme ini diyakini sebagai betulan 'asli', dan bukan pengalihan isu, dikompori 'keberhasilan' para napiter 'melakukan jihad' di markasnya 'musuh'.

Ini kemudian membawa kita pada serangkaian pengaruh domino. Misalnya, gambaran polisi yang naik. Dalam bahasa Alissa Wahid, polisi telah naik kelas. Mereka yang gugur yaitu personifikasi syuhada yang sejati. Dukungan moral terhadap kepolisian yang walaupun kehilangan anggotanya tapi tetap memperlihatkan perlakuan manusiawi bagi para napiter yang mengalah meningkatkan simpati masyarakat. Radikalisme-terorisme menjadi musuh bersama. Penyisiran dilakukan lebih luas dari TKP bom bunuh diri hingga media sosial. Karena kita tahu bahwa terorisme tidak hanya ada pada pelaku bom bunuh diri tetapi juga 'dijangkiti' bibitnya oleh ulama radikal semisal Ustaz Maaher at-Thuwailibi yang menyebut polisi sebagai "monyet berseragam cokelat".

Terorisme, sebagaimana bencana, sekali lagi menjadi impuls yang memperlihatkan 'watak dasar' bangsa Indonesia: empatif dan guyub. Berduyun-duyun ucapan bela sungkawa, ekspresi sumbangan moril dan materil, diekspresikan di mana-mana, dengan media apapun: bunga, 'viralisasi' counter narrative terhadap terorisme, dan lain-lain. Walau kemudian, kita mengerti bahwa penguatan arus ultra-konservativisme Islam telah menciptakan sebagian dari kita lebih menentukan Palestina First. Ini juga jadi masalah: katanya, di mana solidaritas kita terhadap saudara setanah-air?

Sebagian lagi kehilangan kemampuan berempati dan balik mencibir. Mulai dari cibiran bahwa korban yaitu layak dikorbankan karena, misalnya, kafir, hingga cibiran bahwa kita terlampau 'lebay' merespons padahal di Suriah dan Palestina, misalnya, korbannya jauh lebih banyak. Cibiran juga muncul sebagai ekspresi kekesalan lantaran 'Islam' (selalu) disalahkan, walaupun fakta lapangan yang ditemukan, pelaku memang kebetulan secara administratif beragama Islam. Dan, sebagian yang melandasi tindakannya yaitu pemahamannya yang keliru atas jihad dalam Islam. Bagi oposan, bencana terorisme ini yaitu juga impuls untuk balik mengkritisi pemerintah sebagai lemah dan tidak bisa menjamin keamanan.

Namun begitu, sebagaimana setiap kali agresi teror berusaha merusak kedamaian dan berbagi paranoia di sekitar kita, kita balik berikrar: #kamitidaktakut. Dalam konteks ini, agresi teror memperkuat genggaman tangan kita untuk sama-sama pasang tubuh saling dukung melawan terorisme. Kita menunjukan sekali lagi keguyuban kita dalam menjaga kodrat keberagaman yang dibingkai toleransi, perilaku saling hormat-menghormati. Dari sana, orang kemudian mempertanyakan: apa yang masih bisa dibenahi, diperbaiki, dalam upaya pemutusan virus radikalisme?

Selain penguatan institusi kepolisian dan pendidikan Islam moderat berkemajuan, orang kemudian 'diingatkan' pada RUU Antiterorisme yang mandek di parlemen. RUU ini mestinya sanggup menjadi payung aturan dalam optimalisasi tindakan pencegahan, penindakan, dan penanganan korban terorisme. Tapi, RUU ini mandek oleh lantaran belum tercapainya janji perihal hal-hal berikut: definisi terorisme, pelibatan TNI, penyadapan, penebaran kebencian yang dikhawatirkan akan mencederai kebebasan berekspresi, menyoal kewenangan penyidik maupun penuntut untuk menahan terduga teroris, pencabutan kewarganegaraan, serta perpanjangan masa penahanan.

DPR mengklaim RUU ini sudah 99 persen selesai, Asrul Sani mengharap RUU ini selesai sebelum Lebaran. Tapi fakta bahwa RUU ini masih mandek, atau kalau kata Menhan, masih dimandek-mandekan, Presiden Jokowi alhasil mengeluarkan ultimatum: jikalau Juni belum selesai, maka Presiden akan mengeluarkan Perppu. Sebanyak 14 ormas Islam mendukung inspirasi penerbitan Perppu ini. Tapi ultimatum ini, bagi ketua Pansus RUU Muhammad Syafi'i dianggap salah alamat. Pasalnya, bagi dia, pemerintahlah yang tidak kooperatif dalam proses penyelesaian dan penerbitan RUU tersebut.

Ini bukan bola salju satu-satunya. Syafi'i dituding sebagai pro-Islam radikal sehingga secara sengaja memperlambat akreditasi RUU. Yang dijadikan rujukan, salah satunya, yaitu bukti digital atas responsnya terhadap konflik di Poso. Asumsi ini kemudian dipakai untuk menyerang partai Syafi'i, Gerindra. Di dikala orang saling berebut panggung dan saling tuding saling menyalahkan, seorang santri harus kena hardik oleh polisi yang atas dasar kesiagaan sedikit parno takut kardus yang dibawa berisi bom. Kemudian kita memperdebatkan, dan kemudian menuduh teroris, kepada orang-orang yang secara penampilan dan pakaian, kita stigmatisasi sebagai teroris. Apakah penguatan stigma dan phobia ini, ditambah segelintir orang yang lebih menentukan saling tuding saling menyalahkan, memperlihatkan tercapainya salah satu tujuan teror?

Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, lulusan University College London, associate researcher Akar Rumput Strategic Consulting


Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber mas-basir.blogspot.com
Show comments
Hide comments

0 Response to "Aksi Teror Dan Efek Dominonya"

Post a Comment

Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)

NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".

Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close