Kh. Abdul Malik Ahmad: Ulama Muhammadiyyah Yang Tegas Menyampaikan Pancasila Bertentangan Dengan Tauhid
Thursday, May 31, 2018
Add Comment
بسم الله الرØمن الرØيم
Orangnya tegas, jujur, dan pemberani. Tidak kenal kompromi untuk masalah kepercayaan menjadi kalimat pas yang menempel dalam pribadinya. Berbeda dengan orang-orang yang mengemis jabatan biar dekat dengan pemerintah, ia justru sebaliknya. Kursi empuk dalam struktur tertinggi Muhammadiyyah pernah ditolaknya semata-mata tidak mau menjadi penjilat untuk Soeharto.
“... lantaran saya pribadi hubungannya kurang serasi dengan pemerintah (Soeharto), maka sebaiknya saya jangan ditempatkan jadi orang nomor satu,” ujarnya mengagetkan koleganya.
Ia ialah KH. Abdul Malik Ahmad atau erat disapa Buya Malik. Tokoh Ideologis Muhammadiyyah yang sempat heboh di ketika menolak asas tunggal Pancasila di badan organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan itu periode 1980-an. Bagi Buya Malik, posisi Tauhid dihentikan bergeser setapal pun meski itu demi alasan pragmatis. Iya kata yang justru menjadi kunci ormas-ormas muslim ketika ini biar sanggup “memuluskan” jalan dakwahnya.
Kisah ini bermula ketika Soeharto memaksakan tiap Ormas untuk mendapatkan Asas Tunggal Pancasila lewat RUU Organisasi Kemasyarakatan. Muhammadiyyah pun terbelah. Tak gampang memang, alasannya ialah melalui lobi yang panjang. Bahkan, Muhammadiyah hingga menunda muktamar ke-41, yang mestinya diselenggarakan Februari 1984, dan akibatnya gres dilaksanakan 7-11 Desember 1985.
Tanda-tanda mendapatkan asas tunggal Pancasila, secara terbuka, mulai tampak pada hari kedua muktamar, pada tanggal 8 Desember. Di pendopo Mangkunegaran, Solo, Haji A.R. Fakhruddin, Ketua PP Muhammadiyah, menyebutkan bahwa asas Pancasila itu diterima, "dengan ikhtiar".
Dengan ikhtiar, kata Fakhruddin, "Supaya yang dimaksudkan pemerintah itu berhasil, tapi tidak melanggar agama. Kami, para pimpinan, tetap bertekad menegakkan kalimah Tuhan di Indonesia ini. Tidak merusakkan peraturan-peraturan di Indonesia, tapi tidak menjual iman, tidak menjual agama."
Presiden Soeharto akibatnya membuka muktamar ke-41 ini. Menyebut diri sebagai orang yang pernah mengecap pendidikan Muhammadiyah, dalam pidatonya Presiden kembali menegaskan bahwa: Pancasila bukanlah tandingan agama. Pancasila bukan pengganti agama. Penegasan ini pernah diusulkan oleh PP Muhammadiyah, supaya dicantumkan dalam batang badan UU Organisasi Kemasyarakatan itu.
Namun ternyata pandangan petinggi Muhammadiyyah dan lebih-lebih Soeharto, bertolak belakang dengan pemahaman Buya Malik. Beliau yang kala itu menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah, mempersolakan Pancasila yang dijadikan lebih tinggi dari tauhid. "Itu yang saya tolak," katanya. Maka itu konsekuensi mendapatkan asas tunggal bagi Buya Malik ialah kemusyrikan. Sebuah kata yang sanggup menjerumuskan kepada kekafiran.
Kalau kita telaah, alasan Buya Malik memang sangat masuk akal. Logika sederhananya, jikalau Orde Baru menyampaikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi sebuah ideologi, hal itu sama saja mengakui bahwa Pancasila lebih tinggi dari kitab suci. Dan tokoh Orde Baru lebih tinggi daripada Nabi. Padahal Rasululullah SAW diutus untuk mengapus Syariat-syariat Nabi sebelumnya. Maka bagaimana mungkin Soeharto menghapus Syariat Nabi Muhammad SAW. padahal dia sendiri bukan Nabi.
Ironisnya lagi, Asas Tunggal, menyerupai kata KH. Firdaus AN, ialah hasil bikinan tiga tokoh militer yang diragukan komitmennya kepada agama. Mereka ialah Soeharto, Amir Machmud, dan Soedomo.
Rupanya, kekuatan Tauhid Buya Malik memang bukan isapan jempol semata. Ketua Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia, Ahmad Soemargono sempat mempunyai pengalaman tersendiri ketika mencar ilmu kepada Buya Malik.
“Dari sekian guru yang paling berkesan itu ialah Buya Malik Ahmad. Kalau mendengarkan ceramahnya saya tersentuh.” Ungkapnya ketika diwawancara Republika.
Gogon- sapaan erat Ahmad Soemargono- juga terkesan dengan karya tafsir Buya Malik yang berjulukan Tafsir Sinar. Menurutnya, kajian-kajian yang terkandung dalam goresan pena dia mempunyai nilai Tauhid yang mendalam.
Segala ujian dan cobaan dalam menegakkan kepercayaan berdasarkan Buya Malik ialah keniscayaan bagi orang beriman. Ini ialah konsekuensi logis tentanga arti menyuarakan kebenaran dan menyingkirkan kebathilan. Dalam tulisannya yang berjudul “Orientalisme” di tahun 1978, Buya menulis,
“Orang-orang beriman dalam menegakkan aqidah dan pedoman Ilahi menuju keredhaan Allah; selalu menerima rintangan, halangan dan kesulitan; baik yang faktual maupun tersembunyi; yang halus maupun yang kasar; menghadapi rayuan atau tekanan/paksaan yang tiba dari orang-orang yang pintar membohong, menipu dan membingungkan; dengan memakai bermacam kekuatan, akomodasi dan mass media, yang berakibat eksklusif ataupun tidak eksklusif terhadap ummat Islam; sehingga banyak di antara ummat Islam yang terlalai, terlupa dan terpengaruh. Akibatnya kaum Muslimin tidak menyadari ancaman yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak menyukai Islam; bahkan sebagian kita mencicipi seakan-akan faham dan perilaku yang demikian sebagai pedoman Islam yang murni.”
Kini Buya sudah tiada. Ulama Kharismatik itu menyimpan torehan anggun perihal arti usaha menegakkan pemurnian tauhid kepada Allahuta’ala. Dengan menolak pencampuran ideologi Pancasila yang jelas-jelas bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah. Kapankah kembali muncul generasi Muhammadiyyah menyerupai Buya? Allahua’lam. (pz) (/eramuslim.com)
“... lantaran saya pribadi hubungannya kurang serasi dengan pemerintah (Soeharto), maka sebaiknya saya jangan ditempatkan jadi orang nomor satu,” ujarnya mengagetkan koleganya.
Ia ialah KH. Abdul Malik Ahmad atau erat disapa Buya Malik. Tokoh Ideologis Muhammadiyyah yang sempat heboh di ketika menolak asas tunggal Pancasila di badan organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan itu periode 1980-an. Bagi Buya Malik, posisi Tauhid dihentikan bergeser setapal pun meski itu demi alasan pragmatis. Iya kata yang justru menjadi kunci ormas-ormas muslim ketika ini biar sanggup “memuluskan” jalan dakwahnya.
Kisah ini bermula ketika Soeharto memaksakan tiap Ormas untuk mendapatkan Asas Tunggal Pancasila lewat RUU Organisasi Kemasyarakatan. Muhammadiyyah pun terbelah. Tak gampang memang, alasannya ialah melalui lobi yang panjang. Bahkan, Muhammadiyah hingga menunda muktamar ke-41, yang mestinya diselenggarakan Februari 1984, dan akibatnya gres dilaksanakan 7-11 Desember 1985.
Tanda-tanda mendapatkan asas tunggal Pancasila, secara terbuka, mulai tampak pada hari kedua muktamar, pada tanggal 8 Desember. Di pendopo Mangkunegaran, Solo, Haji A.R. Fakhruddin, Ketua PP Muhammadiyah, menyebutkan bahwa asas Pancasila itu diterima, "dengan ikhtiar".
Dengan ikhtiar, kata Fakhruddin, "Supaya yang dimaksudkan pemerintah itu berhasil, tapi tidak melanggar agama. Kami, para pimpinan, tetap bertekad menegakkan kalimah Tuhan di Indonesia ini. Tidak merusakkan peraturan-peraturan di Indonesia, tapi tidak menjual iman, tidak menjual agama."
Presiden Soeharto akibatnya membuka muktamar ke-41 ini. Menyebut diri sebagai orang yang pernah mengecap pendidikan Muhammadiyah, dalam pidatonya Presiden kembali menegaskan bahwa: Pancasila bukanlah tandingan agama. Pancasila bukan pengganti agama. Penegasan ini pernah diusulkan oleh PP Muhammadiyah, supaya dicantumkan dalam batang badan UU Organisasi Kemasyarakatan itu.
Namun ternyata pandangan petinggi Muhammadiyyah dan lebih-lebih Soeharto, bertolak belakang dengan pemahaman Buya Malik. Beliau yang kala itu menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah, mempersolakan Pancasila yang dijadikan lebih tinggi dari tauhid. "Itu yang saya tolak," katanya. Maka itu konsekuensi mendapatkan asas tunggal bagi Buya Malik ialah kemusyrikan. Sebuah kata yang sanggup menjerumuskan kepada kekafiran.
Kalau kita telaah, alasan Buya Malik memang sangat masuk akal. Logika sederhananya, jikalau Orde Baru menyampaikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi sebuah ideologi, hal itu sama saja mengakui bahwa Pancasila lebih tinggi dari kitab suci. Dan tokoh Orde Baru lebih tinggi daripada Nabi. Padahal Rasululullah SAW diutus untuk mengapus Syariat-syariat Nabi sebelumnya. Maka bagaimana mungkin Soeharto menghapus Syariat Nabi Muhammad SAW. padahal dia sendiri bukan Nabi.
Ironisnya lagi, Asas Tunggal, menyerupai kata KH. Firdaus AN, ialah hasil bikinan tiga tokoh militer yang diragukan komitmennya kepada agama. Mereka ialah Soeharto, Amir Machmud, dan Soedomo.
Rupanya, kekuatan Tauhid Buya Malik memang bukan isapan jempol semata. Ketua Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia, Ahmad Soemargono sempat mempunyai pengalaman tersendiri ketika mencar ilmu kepada Buya Malik.
“Dari sekian guru yang paling berkesan itu ialah Buya Malik Ahmad. Kalau mendengarkan ceramahnya saya tersentuh.” Ungkapnya ketika diwawancara Republika.
Gogon- sapaan erat Ahmad Soemargono- juga terkesan dengan karya tafsir Buya Malik yang berjulukan Tafsir Sinar. Menurutnya, kajian-kajian yang terkandung dalam goresan pena dia mempunyai nilai Tauhid yang mendalam.
Segala ujian dan cobaan dalam menegakkan kepercayaan berdasarkan Buya Malik ialah keniscayaan bagi orang beriman. Ini ialah konsekuensi logis tentanga arti menyuarakan kebenaran dan menyingkirkan kebathilan. Dalam tulisannya yang berjudul “Orientalisme” di tahun 1978, Buya menulis,
“Orang-orang beriman dalam menegakkan aqidah dan pedoman Ilahi menuju keredhaan Allah; selalu menerima rintangan, halangan dan kesulitan; baik yang faktual maupun tersembunyi; yang halus maupun yang kasar; menghadapi rayuan atau tekanan/paksaan yang tiba dari orang-orang yang pintar membohong, menipu dan membingungkan; dengan memakai bermacam kekuatan, akomodasi dan mass media, yang berakibat eksklusif ataupun tidak eksklusif terhadap ummat Islam; sehingga banyak di antara ummat Islam yang terlalai, terlupa dan terpengaruh. Akibatnya kaum Muslimin tidak menyadari ancaman yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak menyukai Islam; bahkan sebagian kita mencicipi seakan-akan faham dan perilaku yang demikian sebagai pedoman Islam yang murni.”
Kini Buya sudah tiada. Ulama Kharismatik itu menyimpan torehan anggun perihal arti usaha menegakkan pemurnian tauhid kepada Allahuta’ala. Dengan menolak pencampuran ideologi Pancasila yang jelas-jelas bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah. Kapankah kembali muncul generasi Muhammadiyyah menyerupai Buya? Allahua’lam. (pz) (/eramuslim.com)
Sukron sudah mau membaca....jazakaAllah aufaru jaza'
0 Response to "Kh. Abdul Malik Ahmad: Ulama Muhammadiyyah Yang Tegas Menyampaikan Pancasila Bertentangan Dengan Tauhid"
Post a Comment
Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)
NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".
Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda