Teror Anak Dan Alarm Negara - Tempat Blogging

Teror Anak Dan Alarm Negara

Teror Anak dan Alarm NegaraAksi lilin dan doa bersama untuk korban bom Surabaya (Foto: Rengga Sancaya/detikom)

Tempat Blogging Jakarta -Dalam dua kasus ledakan bom di Surabaya, pelaku merupakan satu keluarga termasuk anak-anak. Dalam kasus yang terjadi di tiga gereja tersebut, para pelaku yakni satu keluarga, dikepalai Dita Oepriarto (47). Istri Dita, Puji Kuswanti (43) juga turut menjadi pelaku, termasuk belum dewasa mereka, Yusuf Fadhil (18), Firman Halim (16), Fadhila Sari (12), dan Famela Rizqita (9). Dikabarkan, bom ditempelkan pada badan belum dewasa Dita dan Puji yang masih kecil untuk kemudian diledakkan. Sementara itu, belum dewasa laki-laki membawa bom dengan cara dipangku dan mengendarai sepeda motor.

Hal serupa juga terjadi pada peledakan bom di Mapolrestabes Surabaya. Empat terduga pelaku tewas di tempat, namun seorang anak berinisial Ais (8) yang dibonceng pelaku di sepeda motor selamat, meski terluka. Pola gres terorisme ini menuai kecaman masyarakat. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa'adi menyatakan agresi teror tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan aliran agama dan Pancasila. Apalagi, pelaku bom bunuh diri yakni satu keluarga dan melibatkan anak-anak. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto juga ikut mengecam dilibatkannya belum dewasa dalam agresi terorisme.

Pengkhianatan Kemanusiaan

Anak yakni busur anak panah masa depa bangsa. Mereka dilahirkan untuk memberi warna arah dan perjalanan bangsa. Jika anak yang dilahirkan sudah lebih dahulu diwarnai dengan didikan dan asuhan yang salah dan sesat, maka negara sudah niscaya akan memperoleh curahan generasi yang sesat yang tidak saja suka merusak diri dan keluarganya, tapi juga lingkungan termasuk bangsa dan negara. Melibatkan anak dalam praktik kekerasan menyerupai adegan pengeboman di Surabaya yakni teror berwajah pengkhianatan kemanusiaan yang tak terampunkan dalam peradaban mana pun. Anak diseret dan dieksploitasi ke dalam gelombang kekerasan oleh orangtua melalui indoktrinasi radikalisme yang dipelihara dan dipupuk sekadar untuk membangun negeri harapan berdasarkan paham yang diyakini.

Anak mestinya tidak dalam domain destruktif menyerupai itu. Masalah pilihan ideologi, hidup yang suci dan sesuai ajaran-ajaran agama memang yakni masakan bergizi yang memang harus diasupkan ke anak semenjak dini. Mereka perlu tahu nilai-nilai keagamaan sebagai bekal hidup biar susila dan jiwa mereka lurus, tidak terkotori oleh benih-benih kezaliman dan kebatilan. Tapi, alangkah bobroknya jiwa orangtua kalau anak kandungnya sendiri dijadikan objek pencekokan nilai-nilai sesat bertopeng agama sekadar untuk memenuhi ambisi ideologis yang naif.

Dengan daya komunikasi yang masih lemah, dengan keterbatasan pemahaman dan daya kritis, serta potensi perlawanan yang tidak dimilikinya sebagaimana orang terpelajar balig cukup akal pada umumnya, mereka sulit beranjak menemukan alternatif pilihan lain selain harus mengalah oleh penetrasi bujuk sesat orangtua. Kedigdayaan orangtua dalam menanamkan prinsip keagamaan yang salah secara intensif dari hari ke hari bagaimanapun akan mengakibatkan sangkur yang merobek dan meluluhkan pertahanan diri anak, sebelum jadinya bertekuk lutut memperlihatkan dirinya pada hegemoni sikap orangtua.

Harus diakui, sulit dicegah bila pelaku indoktrinasi yakni orangtua sang anak sendiri. Karena orangtua tentu mempunyai power dan otoritas yang gahar untuk membujuk bahkan mempengaruhi secara koersif anak-anaknya. Apalagi kalau keluarga besar maupun lingkungan sosial menjadi lahan subur yang ikut menyolidkan berkembangnya ajaran-ajaran yang demikian. Ditambah lagi dengan rujukan kehidupan modern yang serba individualistik hari-hari ini, di mana daya tenggang rasa untuk saling memperhatikan tetangga sekitar atau warga lain semakin minim, potensi untuk mengokohkan nilai pengajaran yang sesat dalam lingkungan keluarga akan semakin berpengaruh dan terpagari. Di sinilah lahan aman untuk mereproduksi belum dewasa yang gampang diperdayai, termasuk melakoni agresi di luar logika sehat, bom bunuh diri.

Kalangan Pelajar

Kita harus mengakui bahwa penetrasi aliran intoleran sudah masuk di kalangan pelajar. Hal itu diperkuat ketika menjadi mahasiswa melalui kajian-kajian di kampus menyerupai diungkapkan CEO Alvara Research Center. Menurutnya, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Mata Air Fondation dan Alvara Research Center, 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar Sekolah Menengan Atas contohnya baiklah dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah. Survei Alvara secara khusus dilakukan untuk mengukur sikap dan pandangan keagamaan kalangan pelajar Sekolah Menengan Atas dan mahasiswa di Indonesia. Survei dilakukan terhadap 1.800 mahasiswa di 25 perguruan tinggi tinggi unggulan di Indonesia, serta 2.400 pelajar SMAN unggulan di Pulau Jawa dan kota-kota besar di Indonesia.

Pelajar dan mahasiswa yang disurvei menggeluti bidang studi bidang pertahanan keamanan, keuangan, energi pangan, telekomunikasi, kesehatan, pendidikan, dan manufaktur. Riset memakai pendekatan kuantitatif dan pengumpulan data dilakukan dengan wawancara tatap muka pada kurun waktu 1 September-5 Oktober 2017. Semua responden beragama Islam dengan populasi seimbang antara laki-laki dan wanita. Dari survei ini diketahui bahwa ada 23,5 persen mahasiswa dan 16,3 pelajar menyatakan negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan agama Islam secara kaffah.

Dalam survei itu juga disebut secara umum dikuasai pelajar dan mahasiswa baiklah dengan NKRI sebagai bentuk negara dibanding khilafah. Namun, ada 17,8 persen mahasiswa dan 18,3 persen pelajar yang menentukan khilafah dibanding NKRI. Demikian juga wacana ideologi Pancasila. Ada 18,6 persen pelajar menentukan ideologi Islam sebagai ideologi bernegara dibanding Pancasila. Sedangkan di kalangan mahasiswa sebanyak 16,8 persen menentukan ideologi Islam dibanding Pancasila sebagai ideologi bernegara.

Beberapa waktu kemudian Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan menyatakan, sebanyak 39 persen mahasiswa dari aneka macam Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia telah terpapar paham-paham radikal. Bahkan, tiga PT telah terindikasi menjadi daerah pembasisan calon-calon pelaku teror gres dari kalangan mahasiswa. Hal itu disampaikannya di ketika memperlihatkan kuliah umum dan kongres ke-6 Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) PT Nahdlatul Ulama (NU) se-Indonesia di kampus Universitas Wahid Hasyim Semarang (Unwahas), Sabtu (28/4/2018).

Menurutnya, ketika ini terdapat 15 provinsi yang sedang dalam pantauan, dan dari 15 provinsi ini terdapat tiga perguruan tinggi tinggi yang sudah dijadikan daerah atau basis penyebaran paham-paham radikal. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan BIN pada 2017, kata Budi, sebanyak 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar tingkat Sekolah Menengan Atas baiklah jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah. Riset BIN berbanding lurus dengan survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang memperlihatkan radikalisme telah merambah dunia mahasiswa.

Alarm buat Negara

Data tersebut merupakan alarm, bahwa negara kita sedang berada dalam bulat bahaya intoleransi dan radikalisme yang menggerus generasi muda. Jika ini tetap dibiarkan begitu saja, maka jangan heran dalam beberapa tahun mendatang negara kita akan dihuni oleh generasi-generasi violence yang tidak menghargai toleransi, pro-kekerasan, menghalalkan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Contoh yang mudah, Bahrun Naim, pelaku teror bom Sarinah di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Januari 2016 kemudian merupakan perjaka yang mulai melibatkan diri dalam gerakan radikal semenjak kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Sekolah dan kampus yakni forum pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai keadaban dan kemanusiaan. Ia yakni forum yang memperlihatkan pencerahan kepada setiap insan wacana bagaimana membangun kekerabatan yang sehat dan luhur di tengah kondisi keberagaman yang ada. Jika institusi pendidikan kemudian dijadikan sebaliknya sebagai biro yang mentransfer nilai-nilai keburukan, kebencian maka institusi pendidikan telah berkembang menjadi menjadi biro penyesat generasi, dan pembunuh nilai kemanusiaan dan kehidupan.

Karena itu sekolah dan perguruan tinggi tinggi harus serius memproteksi benih-benih intoleransi dan kekerasan berwajah agama. Para guru dan dosen dilarang membuka ruang bagi beredarnya paham-paham kekerasan. Ketika menemukan ada tanda-tanda anak didik terpapar paham radikal lewat perubahan perilaku, segeralah ditindak, dipersuasi dengan cara yang humanis biar mereka tidak terus tercebur dalam kesesatan.

Keluarga harus menjadi benteng yang kokoh untuk memproteksi belum dewasa dari paham-paham yang bertentangan dengan nilai Pancasila. Keluarga harus membiasakan diri menjadi daerah yang hangat untuk mengajarkan nilai-nilai kebaikan, kelembutan, kasih, dan menghargai perbedaan lewat teladan faktual orangtua di rumah. Konsumsi bacaan, sumber mencar ilmu anak, serta sobat pergaulannya harus menerima awasan ketat orangtua. Keluarga dilarang kalah cepat sedetik pun dengan pergerakan kelompok-kelompok sesat-radikalis.

Fransisca Ayu Kumalasari peneliti sosial

Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber mas-basir.blogspot.com
Show comments
Hide comments

0 Response to "Teror Anak Dan Alarm Negara"

Post a Comment

Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)

NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".

Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close