Ustadz Kok Kemayu ?
Tuesday, May 29, 2018
Add Comment
بسم الله الرØمن الرØيم
oleh doni putra pratama pada 16 Juni 2011 jam 13:04
Bagi masyarakat kita, posisi ustadz dinilai sebagai profesi luhur. Sebagian orang menyampaikan profesi suci. Selain dianggap berada dalam ruang otoritas keagamaan, juga menyesaki persepsi budaya. Terhormat, terpandang, dan tentu saja menjadi rujukan moral.
Bagi masyarakat urban yang cenderung menganut nilai-nilai sekular, simbol-simbol kesalehan sangat diperlukan. Disamping untuk menetralisir budaya, dengan perannya, figur yang saleh dan penuh acuan tabiat sanggup dijadikan impian bagi terciptanya masyarakat yang lebih baik.
Kini, profesi ustadz mulai tergerus oleh kepentingan kapitalistik. Disamping menjadi bab dari komoditas, sebagian lagi menjadi korban kerakusan kapitalisme. Gaya hidup mewah. Kawin-cerai juga, meskipun ada ruang agama disana, menjadi isyu yang sanggup merusak “wibawa” ustadz. Belum lagi tuduhan “selingkuh”, atau melebihi itu, manambah runyam karenanya.
It’s oke, ustadz juga manusia. Tapi posisi suci dalam keberagamaan, idealnya harus dijaga. Tak terkecuali. Ustadz juga harus bakir menjaga jarak biar tidak jadi korban kapitalistik. Menjadi bintang sebuah produk industry atau jasa, tentu bukan hal yang salah. Halal orang bilang. Tapi, sadar atau tidak, hal itu berkontribusi bagi penurunan wibawa.
Dalam ruang plublik, seorang figur massa, memang sanggup dimanfaatkan untuk media apapun. Mulai dari penyebaran nilai-nilai baik, dalam konteks ustadz untuk dakwah, sekaligus juga bisa untuk membesarkan bisnis atau kepentingan politik. Dalam dunia media TV, bisa untuk cari rating, iklan, dan tentu saja uang.
Menyedihkan! Sebagian kalangan menyindir. Mereka menyarankan biar media, khususnya TV cermat menentukan seorang pendakwah yang tampil. Bukan semata urusan rating, tapi juga muatan pesan, dan “imajinasi” audiens. Dulu dikenal ustdaz gaul, funky, cepot, cinta, dan ada juga ustadz pelawak. Intinya, audiens, pemirsa dan pendengar, dibentuk senang, meskipun muatan tabiat yang cetek, atau dibilang gak bermutu.
Nah, belakangan, ada sebuah stasiun TV yang menampilkan ustadz, yang menurutku “kemayu”. Padahal kemayu itu gaya perempuan. Masalahnya ia laki-laki. Jelas, ini bukan kebetulan, minimal dari aspek kepentingan media. Ditambah lagi, lawakan, baik verbal, maupun sikapnya, orang abak gaul bilang: lebay!
Para tokohpun prihatin, dan menyarakan biar TV mementingkan konten dakwah, tanpa melupakan kemasan yang menarik. Mereka berpendapat, banyak SDM perguruan tinggi tinggi Islam yang bisa menduduki itu, cerdas, intelek, saleh, sekaligus menghibur.
Namun, apa daya para tokoh itu. Mereka gak punya duit, apalagi media. Himbauan hanya didengar kuping kanan, keluar kuping kiri. Pemilik TV bilang, bila orang kampus yang ngisi, pengiklan gak ada yang mau. Kalau gak ada iklan, terus gimana bisnis?
Memang agak janggal argumentasi TV. Rating dan iklan jadi “tuhannya”. Bukankah program dakwah hanya 30 menit. Waktunya pun di pagi buta. Penontonnya hanya “orang-orang beriman”, bila toh ketiduran, minimal “si mbak” sudah berdiri bikin sarapan untuk tuannya sambil nonton TV. Harusnya, durasi tayang dan waktu yang tidak terhitung prime, bisa kok disubsidi dari sekitar 11 jam bisnis iklan.
Ya, itu alasan, asing dan mengada-ada. Aku hanya bisa protes, atau lembutnya kritik. Itulah yang bisa saya lakukan. Bukankah ustadz ialah insan “setengah” malaikat? Sehingga sikap, perilaku, dan ucapan ustadz akan di-copy paste oleh masyarakat. Sikap kemayu, sanggup dianggap sebagai legitimasi sebagai hal wajar. Meskipun laki-laki, kemayu boleh, wong ustadz juga begitu. Belum lagi ditambah celetukan-celetukan gak penting! Akibatnya, agama jadi lips-service, hanya dibibir, untuk kepentingan sesaat, dan bisa jadi materi guyonan.
Yang lebih menyedihkan lagi, ada ustadzah yang ceramah di TV, tapi sukanya sibuk benerin kostum didepan kamera, sambil mencap-mencep, dengan kosmetik yang berlebihan. Anehnya, pembawa acaranya pun nyeletuk yang tidak sopan, dan dijawab ustdazah yang, amit-amit, norak pol. Akibatnya? Aku mualeeesss banget nonton dakwah-dakwah komersil di TV. Disamping gak mutu, juga merusak gambaran dakwah yang luhur.
Masalahnya, apa guna goresan pena ini? Menghabiskan waktu saja! Ya sudah, sebaiknya saya mikir untuk kiprah yang lebih bermanfaat dari sekedar urusan kapitalisasi agama. Wallahu a’lam.
Sukron sudah mau membaca....jazakaAllah aufaru jaza'
Follow @dwiajakokrepot
0 Response to "Ustadz Kok Kemayu ?"
Post a Comment
Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)
NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".
Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda