Pembaharu Pendidikan
Saturday, June 2, 2018
Add Comment
بسم الله الرØمن الرØيم
Oleh: Damanhuri
Santri Pondok Modern Gontor Periode 1991-1995
Gontor, 80 Tahun Kemudian
Ketika kuku-kuku kolonialisme-imperialisme masih begitu kuatnya memperlihatkan daya cengkeramnya atas bumi Nusantara dan antipati atas segala hal yang "berbau" Belanda pun belum lagi surut dari ranah kognitif umat Islam; nun jauh di sebuah pelosok desa yang berbatasan dengan reruntuhan pesantren Tegalsari-Ponorogo yang melahirkan pujangga terakhir Jawa, Ronggowarsito, berdirilah sebuah forum pendidikan Islam yang di kemudian hari dikenal sebagai Pondok Modern Gontor. Sebuah pesantren yang, untuk pertama kalinya, tidak saja memasukkan mata pelajaran "sekuler" dalam kurikulum pendidikannya, tapi juga mengadopsi metodologi pengajaran modern yang hampir sepenuhnya mereplika model pendidikan Belanda.
Eksperimen pembaruan pendidikan Islam yang delapan puluh tahun kemudian (1926) digagas oleh tiga bersaudara Ahmad Sahal, Zainuddin Fannani dan Imam Zarkasyi tersebut terang sebuah anomali dan langkah subversif pada zamannya. Sebab, dikala secara umum dikuasai umat Islam masih bersikukuh dengan etos tradisionalisme dan segala derivatnya--seperti berpegang dengan dalil "Man tasyabbaha bi qaumin fa huwa minhu" ("Barangsiapa menggandakan gaya hidup suatu kelompok maka ia merupakan cuilan darinya"), misalnya--founding fathers Gontor justru mengujicobakan model pendidikan Islam dengan menggandakan gaya pendidikan Belanda di mana musik, olahraga, dan kepanduan--sekadar menunjuk tiga hal yang kala itu masih dianggap "bid'ah" dalam dunia pendidikan Islam--merupakan kegiatan yang integral dalam rangkaian pendidikan Gontor.
Di titik ini, menyerupai pernah ditegaskan almarhum Nurcholish Madjid (Gatra, 12 Oktober 1996), barangkali tak terlalu hiperbola jika, bagi sebagian orang, "perkataan 'Gontor' hampir identik dengan ide wacana pendidikan Islam yang diselenggarakan dengan cara modern". Sebab, demikian kata Nurcholish, tentu saja suatu hal yang sangat memukau bahwa dalam tahun yang sama dengan kelahiran NU dan dua belas tahun sesudah Muhammadiyah, para pendiri Gontor sudah "mampu menggagas sebuah sistem pendidikan pesantren yang berwawasan sangat maju dan bahkan sangat revolusioner untuk zamannya."
Kendati harus segera ditambahkan, bahwa jikalau dilacak akar historis yang membidani kelahirannya, sebagaimana kelahiran Muhammadiyah, Gontor pun intinya merupakan wujud lain unintended consequence (akibat tak diniatkan) dari proyek-gagal Politik Etis Belanda yang semula dimaksudkan untuk "mencetak" kaum pandai yang kooperatif bagi kepentingan penjajah tapi malah melahirkan lapisan pandai yang memelopori pelbagai gerakan perlawanan. Singkatnya, para pendiri Gontor merupakan lulusan sekolah Belanda (HIS) yang, tak menyerupai diagendakan, pada gilirannya justru mengkhianati ambisi tersembunyi dalam cetak-biru gerakan Politik Etis Belanda itu.
Tapi, di luar soal unintended consequence yang bahkan dengan sedikit hiperbola juga diakui oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Saya terbakar Amarah Sendirian (2006), dengan menyampaikan bahwa kaum penjajah Belanda-lah yang berjasa melahirkan bangsa Indonesia, bagaimanapun hampir tak tersedia alasan untuk tak menyampaikan Gontor sebagai forum pendidikan Islam yang mendahului zamannya. "Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas," sebagai empat pilar yang dijadikan spirit dalam kehidupan Gontor, di samping diusungnya bermacam-macam ikon modernitas menyerupai disebutkan sebelumnya, misalnya, tentu saja bukan sebuah terobosan sederhana yang tak mempunyai impak dengan jangkauannya yang begitu signifikan.
Ihwal "berpikiran bebas" yang juga kian diperkuat dengan bermacam-macam jargon lain menyerupai "Gontor bangun di atas dan untuk semua golongan", misalnya, bisa dilihat dari (ideologi) politik pendidikan Gontor yang bersikap non-sektarian dan sepenuhnya menampik tendensi parokialisme (keagamaan). Kesetiaan buta kepada hanya salah satu mazhab fikih, alasannya ialah itu, bukan sekadar sesuatu yang tak dianjurkan; tapi malah dianggap sebagai ketidakdewasaan beragama. Ini setidaknya diwujudkan dengan dipilihnya kitab fikih Bidayat al-Mujtahid karya filsuf-cum-juris Ibnu Rusydi yang menampung produk aturan Islam (fikih) empat mazhab sebagai materi buku ajarnya.
Tak sekadar dalam ruang lingkup (fikih) Islam, sikap-sikap inklusif-pluralis antaragama pun bahkan sudah mulai ditanamkan dengan dimasukkannya subjek perbandingan agama (muqaaranat al-adyaan) sebagai materi asuh yang mulai dipelajari santri semenjak tingkat SMU. Maka saya sering berandai-andai bahwa kalau saja V.S. Naipaul sempat mengunjungi Gontor dikala mengumpulkan materi risetnya wacana Islam di Indonesia untuk buku Beyond Belief: Excursions Among the Converted Peoples yang kontroversial itu, ia barangkali tidak akan dengan gegabah menyimpulkan pendidikan Islam di pesantren sebagai pendidikan yang "isolating, and beating down and stunning of the mind" (1998: 29).
Sampai noktah ini, saya berani berspekulasi bahwa disebabkan prinsip kebebasan dan keterbukaannya itu pula alumni Gontor tidak seragam dalam pemikiran (dan sikap) keagamaannya. Dengan sedikit melaksanakan simplifikasi, malah bisalah dikatakan bahwa disebabkan prinsip itu pula para lulusan Gontor memperlihatkan tipologi (pemikiran) keagamaan yang membentang dari "yang paling kanan" sampai "yang paling kiri", dari "yang paling fundamentalis" sampai "yang paling liberal".
Nama-nama menyerupai Abu Bakar Ba'asyir, Amin Abdullah, Hidayat Nurwahid, Nurcholish Madjid, Panji Gumilang, Idham Kholid, Din Syamsuddin, Kautsar Azhari Noer, Kholil Ridwan,Hasyim Muzadi, Hamam Ja'far, atau bahkan A. Mustahal, penulis buku Dari Gontor ke Pulau Buru--sekedar menyebutkan beberapa nama secara acak--adalah beberapa "produk" Gontor dengan kecenderungan (pemikiran) keagamaannya yang berbeda-beda dan bahkan tak jarang "saling sanggah" satu dengan yang lainnya.
Begitulah, dalam usianya yang ke-80 Gontor telah melahirkan banyak alumninya yang dengan caranya sendiri-sendiri telah memperlihatkan bantuan begitu besar bagi bangsa Indonesia. Dengan aset finansial yang begitu besar dan ditopang administrasi sangat modern untuk ukuran dunia pesantren, sekarang Gontor bermetamorfosa dalam ratusan forum pendidikan Islam homogen yang menjamur di seantero Nusantara. Meskipun tak boleh dialpakan juga bahwa "tak ada gading yang tak retak". Gontor pun.
Disiplin yang cenderung militeristis, hirarki kepemimpinan kiai yang masih menjalankan contoh kepemimpinan karismatik (charismatic leadership) alih-alih rasional (rational leadership), absennya "hubungan spiritual" yang intens dan hangat antara kiai dengan santri, dan kecenderungan pendidikannya yang terkesan "elitis", misalnya, merupakan beberapa "sisi yang retak" itu dan mau tak mau musti dipertimbangkan ulang oleh para pengasuh dan pendidik Gontor masa kini.
Ihwal kecenderungan yang disebutkan terakhir, elitisme Gontor, tanda-tanda tersebut tidak saja dengan gamblang ditunjukkan dalam eksklusivisme (santri) Gontor dari masyarakat sekitar--akibat larangan keras berinteraksi dengan penduduk kampung sekitar--sehingga menyebabkan Gontor tak ubahnya enclave yang secara struktural betul-betul terasing dari lingkungannya (Rahardjo, 1982: 20); tapi juga kentara dalam orientasi pendidikannya yang kian hari kian memosisikan diri sebagai menara gading yang seolah hanya diperuntukkan bagi belum dewasa yang berasal dari kalangan ekonomi kelas menengah atas alih-alih menjadi "sekolah rakyat" yang bisa diakses oleh seluruh lapis sosial masyarakat. Padahal, dengan aset finansialnya yang begitu melimpah, tak sulit bagi Gontor menggagas jadwal beasiswa bagi belum dewasa dari keluarga tak bisa yang tersumbat hak-hak pendidikannya.
***
Paragraf-paragraf di atas tentu saja sekadar kesan subjektif seorang santri yang pernah empat tahun mereguk pahit-manisnya pendidikan di forum pendidikan yang dengan eklektik memulung dan mencoba menggabungkan etos Universitas Al-Azhar (sebagai salah satu kubu intelektual Islam garda depan), Syanggit (yang menginspirasi pentingnya beasiswa bagi para santri), Santiniketan-nya Rabindranath Tagore (dengan pendekatan kebudayaannya), dan Aligarh (yang mengilhami pentingnya pemikiran modern dalam Islam), sebagai role model-nya itu.
Lembaga pendidikan Islam yang empat dekade kemudian sudah disebut-sebut Indonesianis Australia, Lance Castles, sebagai "suatu perwujudan dari apa yang diperlukan dari reformisme Islam untuk masyarakat Indonesia" itu, semenjak 10 April sampai 28 Mei nanti merayakan ulang tahunnya yang ke-80. Sebuah perjalanan cukup panjang dengan bermacam-macam lompatan yang sebagian besarnya cukup mencerahkan bagi kemajuan dunia pendidikan Islam di Indonesia yang secara umum kondisinya masih belum begitu menggembirakan.
Eksperimen pembaruan pendidikan Islam yang delapan puluh tahun kemudian (1926) digagas oleh tiga bersaudara Ahmad Sahal, Zainuddin Fannani dan Imam Zarkasyi tersebut terang sebuah anomali dan langkah subversif pada zamannya. Sebab, dikala secara umum dikuasai umat Islam masih bersikukuh dengan etos tradisionalisme dan segala derivatnya--seperti berpegang dengan dalil "Man tasyabbaha bi qaumin fa huwa minhu" ("Barangsiapa menggandakan gaya hidup suatu kelompok maka ia merupakan cuilan darinya"), misalnya--founding fathers Gontor justru mengujicobakan model pendidikan Islam dengan menggandakan gaya pendidikan Belanda di mana musik, olahraga, dan kepanduan--sekadar menunjuk tiga hal yang kala itu masih dianggap "bid'ah" dalam dunia pendidikan Islam--merupakan kegiatan yang integral dalam rangkaian pendidikan Gontor.
Di titik ini, menyerupai pernah ditegaskan almarhum Nurcholish Madjid (Gatra, 12 Oktober 1996), barangkali tak terlalu hiperbola jika, bagi sebagian orang, "perkataan 'Gontor' hampir identik dengan ide wacana pendidikan Islam yang diselenggarakan dengan cara modern". Sebab, demikian kata Nurcholish, tentu saja suatu hal yang sangat memukau bahwa dalam tahun yang sama dengan kelahiran NU dan dua belas tahun sesudah Muhammadiyah, para pendiri Gontor sudah "mampu menggagas sebuah sistem pendidikan pesantren yang berwawasan sangat maju dan bahkan sangat revolusioner untuk zamannya."
Kendati harus segera ditambahkan, bahwa jikalau dilacak akar historis yang membidani kelahirannya, sebagaimana kelahiran Muhammadiyah, Gontor pun intinya merupakan wujud lain unintended consequence (akibat tak diniatkan) dari proyek-gagal Politik Etis Belanda yang semula dimaksudkan untuk "mencetak" kaum pandai yang kooperatif bagi kepentingan penjajah tapi malah melahirkan lapisan pandai yang memelopori pelbagai gerakan perlawanan. Singkatnya, para pendiri Gontor merupakan lulusan sekolah Belanda (HIS) yang, tak menyerupai diagendakan, pada gilirannya justru mengkhianati ambisi tersembunyi dalam cetak-biru gerakan Politik Etis Belanda itu.
Tapi, di luar soal unintended consequence yang bahkan dengan sedikit hiperbola juga diakui oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Saya terbakar Amarah Sendirian (2006), dengan menyampaikan bahwa kaum penjajah Belanda-lah yang berjasa melahirkan bangsa Indonesia, bagaimanapun hampir tak tersedia alasan untuk tak menyampaikan Gontor sebagai forum pendidikan Islam yang mendahului zamannya. "Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas," sebagai empat pilar yang dijadikan spirit dalam kehidupan Gontor, di samping diusungnya bermacam-macam ikon modernitas menyerupai disebutkan sebelumnya, misalnya, tentu saja bukan sebuah terobosan sederhana yang tak mempunyai impak dengan jangkauannya yang begitu signifikan.
Ihwal "berpikiran bebas" yang juga kian diperkuat dengan bermacam-macam jargon lain menyerupai "Gontor bangun di atas dan untuk semua golongan", misalnya, bisa dilihat dari (ideologi) politik pendidikan Gontor yang bersikap non-sektarian dan sepenuhnya menampik tendensi parokialisme (keagamaan). Kesetiaan buta kepada hanya salah satu mazhab fikih, alasannya ialah itu, bukan sekadar sesuatu yang tak dianjurkan; tapi malah dianggap sebagai ketidakdewasaan beragama. Ini setidaknya diwujudkan dengan dipilihnya kitab fikih Bidayat al-Mujtahid karya filsuf-cum-juris Ibnu Rusydi yang menampung produk aturan Islam (fikih) empat mazhab sebagai materi buku ajarnya.
Tak sekadar dalam ruang lingkup (fikih) Islam, sikap-sikap inklusif-pluralis antaragama pun bahkan sudah mulai ditanamkan dengan dimasukkannya subjek perbandingan agama (muqaaranat al-adyaan) sebagai materi asuh yang mulai dipelajari santri semenjak tingkat SMU. Maka saya sering berandai-andai bahwa kalau saja V.S. Naipaul sempat mengunjungi Gontor dikala mengumpulkan materi risetnya wacana Islam di Indonesia untuk buku Beyond Belief: Excursions Among the Converted Peoples yang kontroversial itu, ia barangkali tidak akan dengan gegabah menyimpulkan pendidikan Islam di pesantren sebagai pendidikan yang "isolating, and beating down and stunning of the mind" (1998: 29).
Sampai noktah ini, saya berani berspekulasi bahwa disebabkan prinsip kebebasan dan keterbukaannya itu pula alumni Gontor tidak seragam dalam pemikiran (dan sikap) keagamaannya. Dengan sedikit melaksanakan simplifikasi, malah bisalah dikatakan bahwa disebabkan prinsip itu pula para lulusan Gontor memperlihatkan tipologi (pemikiran) keagamaan yang membentang dari "yang paling kanan" sampai "yang paling kiri", dari "yang paling fundamentalis" sampai "yang paling liberal".
Nama-nama menyerupai Abu Bakar Ba'asyir, Amin Abdullah, Hidayat Nurwahid, Nurcholish Madjid, Panji Gumilang, Idham Kholid, Din Syamsuddin, Kautsar Azhari Noer, Kholil Ridwan,Hasyim Muzadi, Hamam Ja'far, atau bahkan A. Mustahal, penulis buku Dari Gontor ke Pulau Buru--sekedar menyebutkan beberapa nama secara acak--adalah beberapa "produk" Gontor dengan kecenderungan (pemikiran) keagamaannya yang berbeda-beda dan bahkan tak jarang "saling sanggah" satu dengan yang lainnya.
Begitulah, dalam usianya yang ke-80 Gontor telah melahirkan banyak alumninya yang dengan caranya sendiri-sendiri telah memperlihatkan bantuan begitu besar bagi bangsa Indonesia. Dengan aset finansial yang begitu besar dan ditopang administrasi sangat modern untuk ukuran dunia pesantren, sekarang Gontor bermetamorfosa dalam ratusan forum pendidikan Islam homogen yang menjamur di seantero Nusantara. Meskipun tak boleh dialpakan juga bahwa "tak ada gading yang tak retak". Gontor pun.
Disiplin yang cenderung militeristis, hirarki kepemimpinan kiai yang masih menjalankan contoh kepemimpinan karismatik (charismatic leadership) alih-alih rasional (rational leadership), absennya "hubungan spiritual" yang intens dan hangat antara kiai dengan santri, dan kecenderungan pendidikannya yang terkesan "elitis", misalnya, merupakan beberapa "sisi yang retak" itu dan mau tak mau musti dipertimbangkan ulang oleh para pengasuh dan pendidik Gontor masa kini.
Ihwal kecenderungan yang disebutkan terakhir, elitisme Gontor, tanda-tanda tersebut tidak saja dengan gamblang ditunjukkan dalam eksklusivisme (santri) Gontor dari masyarakat sekitar--akibat larangan keras berinteraksi dengan penduduk kampung sekitar--sehingga menyebabkan Gontor tak ubahnya enclave yang secara struktural betul-betul terasing dari lingkungannya (Rahardjo, 1982: 20); tapi juga kentara dalam orientasi pendidikannya yang kian hari kian memosisikan diri sebagai menara gading yang seolah hanya diperuntukkan bagi belum dewasa yang berasal dari kalangan ekonomi kelas menengah atas alih-alih menjadi "sekolah rakyat" yang bisa diakses oleh seluruh lapis sosial masyarakat. Padahal, dengan aset finansialnya yang begitu melimpah, tak sulit bagi Gontor menggagas jadwal beasiswa bagi belum dewasa dari keluarga tak bisa yang tersumbat hak-hak pendidikannya.
***
Paragraf-paragraf di atas tentu saja sekadar kesan subjektif seorang santri yang pernah empat tahun mereguk pahit-manisnya pendidikan di forum pendidikan yang dengan eklektik memulung dan mencoba menggabungkan etos Universitas Al-Azhar (sebagai salah satu kubu intelektual Islam garda depan), Syanggit (yang menginspirasi pentingnya beasiswa bagi para santri), Santiniketan-nya Rabindranath Tagore (dengan pendekatan kebudayaannya), dan Aligarh (yang mengilhami pentingnya pemikiran modern dalam Islam), sebagai role model-nya itu.
Lembaga pendidikan Islam yang empat dekade kemudian sudah disebut-sebut Indonesianis Australia, Lance Castles, sebagai "suatu perwujudan dari apa yang diperlukan dari reformisme Islam untuk masyarakat Indonesia" itu, semenjak 10 April sampai 28 Mei nanti merayakan ulang tahunnya yang ke-80. Sebuah perjalanan cukup panjang dengan bermacam-macam lompatan yang sebagian besarnya cukup mencerahkan bagi kemajuan dunia pendidikan Islam di Indonesia yang secara umum kondisinya masih belum begitu menggembirakan.
artikel ini ditulis tahun 2007 dan saya repost di sini guna menjadi materi renungan bagi para alumni gontor dimana aja..
Terima Kasih Sudah Mau Membaca.
0 Response to "Pembaharu Pendidikan"
Post a Comment
Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)
NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".
Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda