Penistaan Al Quran Ala Doktor Uin Jogja
Thursday, June 14, 2018
Add Comment
بسم الله الرØمن الرØيم
Oleh : Dr Adian Husaini
Pada 5 November 2009, saya mendapat undangan untuk berbicara dalam sebuah seminar di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seminar bertema ”Islam dan Tantangan Pemikiran Global” itu diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Pesantren Modern Gontor cabang Lombok. Seminar dibuka oleh Gubernur NTB, Tuan Guru Zainul Majdi. Turut memperlihatkan sambutan yaitu pimpinan Pondok Pesantren Gontor KH Abdullah Syukri Zarkasyi dan Tuan Guru Sofwan Hakim, ketua Forum Kerjasama Pesantren se-NTB. Seminar dihadiri sekitar 300 pimpinan dan guru-guru pesantren se- NTB. Tim pembicara dari INSISTS dipimpin oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi (adik dari KH Abdullah Syukri Zarkasyi).
Tampaknya, bagi para ulama dan tokoh Islam di NTB, informasi liberalisasi Islam sudah cukup bersahabat dengan mereka. Mereka mengakui, sejumlah problem yang dibahas dalam seminar sudah terjadi juga di tempat mereka, meskipun dalam skala yang belum masif menyerupai di sejumlah kota di Pulau Jawa. Salah satu problem yang sudah mulai dilontarkan kaum liberal di NTB yaitu soal ”Desakralisasi Al-Quran.” Ada seorang tokoh yang mengaku sempat berdiskusi dengan seorang mahasiswa IAIN Mataram, yang bertanya kepadanya: ”Apakah Al-Quran itu benar-benar suci atau dianggap suci?”
Mendengar pertanyaan itu saya menjawab dengan agak bercanda, ”Tanyakan pada si mahasiswa, apakah ia benar-benar insan atau dianggap manusia?”
Dalam seminar di NTB, informasi ”desakralisasi Al-Quran” memang disinggung juga oleh KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Gubernur NTB yang juga kandidat doktor ilmu Tafsir di Universitas al-Azhar Kairo, bahkan menguraikan cukup panjang sejarah serangan kaum orientalis terhadap Islam, termasuk terhadap Al-Quran. Ia memperlihatkan sejumlah pola kesungguhan dan kesabaran para orientalis dalam menyerang Islam. ”Sehingga dalam pertarungan ini, siapa yang lebih sabar yang akan menang,” ungkapnya seraya mengajak para penerima seminar untuk meningkatkan kesabaran dalam berjuang.
Proyek ”desakralisasi Al-Quran” memang termasuk salah satu tema pokok dalam liberalisasi Islam. Mengikuti tradisi kajian Al-Quran model orientalis, sejumlah pemikir liberal tampak berusaha keras meyakinkan kaum Muslim, bahwa Al-Quran bukanlah sebuah kitab suci, tetapi kitab yang dianggap suci. Ada yang berusaha keras menulis artikel untuk membuat kaum Muslimin ragu-ragu terhadap kebenaran dan keotentikan Al-Quran. Dia mencoba meyakinkan, bahwa Al-Quran yaitu kitab biasa-biasa saja, yang juga mengandung kesalahan secara tata bahasa. Tentu saja, pekerjaan semacam ini akan sia-sia saja. Meskipun si penulis mendapat imbalan tertentu di dunia.
Pikiran semacam ini sepertinya cukup luas merasuki pemikiran kalangan akademisi di lingkungan Perguruan Tinggi Islam ketika ini. Tentu kita masih ingat, bagaimana seorang dosen IAIN Surabaya yang pada 5 Mei 2006, membuktikan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. Dia katakan, "Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput. Sebagai budaya, Al-Quran tidak sakral. Yang sakral yaitu kalamullah secara substantif.”
Sebuah jurnal yang diterbitkan di IAIN Semarang edisi 23 Th. XI/2003, menulis di sampul belakangnya: ”ADAKAH SEBUAH OBJEK KESUCIAN DAN KEBENARAN YANG BERLAKU UNIVERSAL? TIDAK ADA! SEKALI LAGI, TIDAK ADA! TUHAN SEKALIPUN!” Di pengantar redaksinya juga ditegaskan: ”Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”
Mengapa kaum liberal ulet dalam mengkampanyekan tema ”desakralisasi Al-Quran”, bahwa Al-Quran bukanlah kitab suci? Ternyata, bila kita cermati, tujuan mereka yaitu ingin memperlihatkan legitimasi terhadap masuknya aneka macam metode penafsiran Al-Quran, di luar ilmu Tafsir Al-Quran. Dengan meletakkan posisi Al-Quran sebagai teks biasa, teks sastra, teks budaya, atau teks sejarah, yang sama dengan teks-teks lain, maka dimungkinkan masuknya model pemahaman Al-Quran yang baru, menyerupai hermeneutika.
Di NTB itulah, saya lebih berkesempatan membaca sebuah buku berjudul Arah Baru Studi Ulum Al-Quran: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya karya seorang dosen STAIN di Jawa Timur, yang juga doktor lulusan UIN Yogyakarta. Sebut saja inisialnya ”AW”. Tesis master dosen ini juga sudah diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, yang juga menolak kesucian Al-Quran. Buku Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an, semakin menegaskan, adanya kecenderungan dan gerakan penghancuran ulumul-Quran para ulama Islam, digantikan dengan teori-teori ilmu sosial para ilmuwan Barat. AW sangat getol dalam mempromosikan penggunaan hermeneutika untuk – katanya – memahami pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani. Seperti biasa, para pengguna hermeneutika biasanya melaksanakan proses desekralisasi teks Al-Quran. Itu pula yang dilakukan dosen STAIN ini. Simaklah pandangan penulis perihal Al-Quran berikut ini:
”Dalam karya ini, saya membedakan antara wahyu, al-Qur’an, dan Mushaf Usmani. Ketiganya yaitu tiga nama yang kendati mengacu pada satu substansi, tetapi kadar muatan ketiganya berbeda. Wahyu sebagai pesan otentiks Tuhan masih memuat keseluruhan pesan Tuhan; al-Qur’an sebagai wujud nyata pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab oral memuat kira-kira sekitar 50 persen pesan Tuhan; dan Mushaf Usmani sebagai wujud nyata pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab tulis hanya memuat kira-kira tiga puluh persen pesan Tuhan. Jika selama menjadi wahyu masih memuat keseluruhan pesan Tuhan, tidak demikian halnya ketika telah menjadi Al-Quran dan Mushaf Usmani. Hal itu terjadi, bukan lantaran Tuhan tidak bisa menjamin keabadian pesan-Nya, melainkan lantaran keterbatasan Bahasa Arab yang dijadikan wadah pesan Tuhan yang tak terbatas itu.” (hal.vii).
Saya sangat prihatin dan sekaligus kasihan membaca aneka macam uraian dalam buku ini. Sebab, buku ini ditulis oleh seorang dosen agama dan doktor lulusan UIN Yogya. Selain disebarkan melalui tulisan, dosen ini tentu juga mengajarkan pemikirannya kepada para mahasiswanya. Banyak sekali kekacauan dan kerancuan pemikirannya, yang tentu saja memerlukan terapi yang sangat serius. Marilah kita lihat contoh-contoh kekacauan berpikir dosen yang dinyatakan lulus doktornya di UIN Yogya dengan predikat cum laude ini. Dia menulis sebagai berikut:
”Ketika pesan Tuhan diwadahkan ke dalam bahasa Arab itu, maka Muhammad sebagai distributor tunggal Tuhan yang juga sebagai masyarakat Arab menentukan lafaz dan makna tertentu yang bisa memuat dua pesan, yakni pesan Tuhan dan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Implikasinya, teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya bisa menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun. Oleh lantaran itu, diharapkan sebuah teori interpretasi lain yang dinilai bisa menemani tafsir, sehingga yang terungkap bukan hanya pesan pemilik bahasa,tetapi juga pesan Tuhan. Hermeneutika sepertinya bisa menjadi kawan tafsir guna mengungkap pesan Tuhan di balik Bahasa Arab sebagai fenomena budaya.” (hal.viii).
Sekilas saja, kita bisa menilai, bahwa kata-kata si dosen STAIN itu sebetulnya asbun (asal bunyi). Tuduhan bahwa Ilmu Tafsir selama ini tidak bisa menangkap pesan Tuhan dalam Al-Quran yaitu suatu bentuk pernyataan asal-asalan. Tentu kita tidak bisa menyimpulkan si dosen ini ”sakit jiwa”, alasannya yaitu bisa meraih gelar doktor dari UIN Yogya dengan predikat cum laude dan bisa menulis banyak buku. Tetapi, yang jelas, selama 1400 tahun lebih, umat Islam di seluruh dunia telah memahami Al-Quran dengan memakai Ilmu Tafsir dan tidak memakai hermeneutika. Lalu, tiba-tiba di ”zaman edan” ini muncul ”pemikir luar biasa hebat” dari UIN Yogya yang dengan gagah berani menyimpulkan:
”teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya bisa menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun.”
Karena berlagak menjadi mujtahid besar itulah maka pengguna hermeneutika -- menyerupai penulis buku ini -- kemudian bersikap sok mahir dan merendahkan martabat, keilmuan, dan keikhlasan Khalifah Usman bin Affan serta para ulama Islam terkemuka. Tapi, ironisnya, pada ketika yang sama, kaum liberal juga sangat hormat dan bertaklid buta begitu saja kepada Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Khaled Abou el-Fadl, Farid Essac, Paul Ricour, Fazlur Rahman, Hegel, dan sebagainya.
Simaklah sejumlah ungkapan AW perihal Mushaf Usmani berikut ini:
”Sejarah memperlihatkan kepada kita bahwa proses pembukuan Al-Quran diwarnai campur tangan Utsman dalam posisinya sebagai khalifah, yang oleh Abu Zayd disebut sebagai ”dekrit” khalifah.” (hal. 169)... ”Maka tidak bisa disalahkan kiranya bila diasumsikan bahwa di balik keputusan khalifah Utsman tersebut mengandung adanya unsur ideologis, terutama ideologi pemilik bahasa yang dipilih menjadi bahasa Mushaf Usmani.” (hal. 170)...”Lebih-lebih, Khalifah Utsman telah menghilangkan dan menyensor bahkan memusnahkan korpus kitab-kitab individu, menyerupai milik Ibnu Mas’ud dan Siti Hafsah. Ini terang berimplikasi pada pemusatan pembacaan hanya pada Mushaf Usmani. Jika boleh memberi istilah, Mushaf Usmani ini telah menjadi ”penjara” bagi pesan belakang layar Tuhan. Penjara yang dimaksud di sini yaitu ideologi Quraisy yang melingkupinya, dan bahkan antara Quraisy dan al-Qur’an (Mushaf Usmani) merupakan dua anak kembar yang saling bersanding dan dua cabang yang berakar sama, yang dengannya mereka mencoba menancapkan hegemoninya.” (hal. 172).
Begitulah pandangan doktor UIN Yogya yang sangat merendahkan martabat Sayyidina Utsman bin Affan dan menistakan Al-Quran. Sebenarnya, bila AW mau mengungkapkan aneka macam klarifikasi dalam kitab Ulumul Quran, maka dengan gampang ditemukan klarifikasi seputar tindakan Khalifah Utsman r.a. yang sangat mulia dan luar biasa besar jasanya dalam kodifikasi Mushaf Al-Quran. Tapi, ia lebih percaya kepada pendapat-pendapat orientalis yang memperlihatkan aneka macam tuduhan dan sangkaan terhadap Khalifah Utsman r.a., menantu Rasulullah saw, dan termasuk salah satu sobat yang dijamin masuk sorga oleh Rasulullah saw.
Tindakan Sayyidina Utsman itu pun sudah mendapat pesertujuan dari semua sahabat, termasuk Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Tidak ada seorang sobat Nabi pun yang menentang tindakan Utsman r.a., lantaran memang kodifikasi Al-Quran itu bukan dilakukan untuk kepentingan politik atau kesukuan. Karena itulah, sepanjang sejarah Islam, meskipun terjadi aneka macam konflik politik, tidak pernah terpikir suatu rezim untuk membuat Al-Quran baru. Betapa pun kerasnya konflik antara Ali dan Mu’awiyah, keduanya tetap mengakibatkan Mushaf Utsmani sebagai pedoman. Setelah Abbasiyah berkuasa, mereka juga tidak mengganti Mushaf Utsmani dengan Mushaf baru. Maka, tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman r.a. dan Mushaf Utsmani sebetulnya sangat tidak ilmiah dan hanya berlandaskan kebodohan dan kebencian.
Kajian terakhir yang menyudutkan Mushaf Usmani, contohnya tiba dari seorang orientalis Katolik Jerman (berasal dari Lebanon) yang memakai nama samaran Christoph Luxenberg. Sebagaimana para pendahulunya, Luxenberg juga menggugat Al-Quran sebagai “wahyu” yang diturunkan Tuhan SWT kepada Nabi Muhammad saw. Ia mencoba menggugurkan keyakinan kaum Muslim bahwa Al-Quran yaitu “tanzil”, “suci”, bebas dari kesalahan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran (QS 15:9). Menurut Luxenberg -- dengan melaksanakan kajian semantic terhadap sejumlah kata dalam Al-Quran Arab yang diambil dari perbendaharaan bahasa Syriac -- Al Qur'an yang ada ketika ini (Mushaf Utsmani) yaitu salah salin (mistranscribed) dan berbeda dengan teks aslinya. Teks orisinil Al Qur'an, simpulnya, lebih menyerupai bahasa Aramaic, ketimbang Arab. Dan naskah orisinil itu telah dimusnahkan Khalifah Usman bin Affan. Dengan kata lain, Al-Quran yang dipegang oleh kaum Muslim ketika ini, bukanlah wahyu Tuhan SWT, melainkan pura-pura Utsman bin Affan r.a.
Lunxenberg – menyerupai banyak orientalis lainnya – mempertanyakan motivasi Utsman bin Affan melaksanakan kodifikasi Al-Quran. Ia menduga, teks Al-Quran yang dimusnahkan Utsman bin Affan berbeda dengan teks Mushaf Utsmani yang kini ini. Tuduhan semacam ini sama sekali tidak beralasan, alasannya yaitu proses kodifikasi Al-Quran di zaman Utsman bin Affan sangat terbuka kerjanya, dan Al-Quran selalu diingat oleh ratusan, ribuan – bahkan kini jutaan kaum Muslimin. Setiap kekeliruan akan selalu dikoreksi oleh kaum Muslim.
Tetapi, para orientalis memang tidak pernah berhenti untuk menyerang Al-Quran dengan aneka macam cara. Ironisnya, cara-cara orientalis semacam ini kini dilakukan oleh beberapa akademisi dari kalangan Perguruan Tinggi Islam sendiri. Bahkan, tuduhan-tuduhan tidak beradab terhadap Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu menyerupai yang dilakukan doktor UIN Yogya itu juga kemudian dialamatkan kepada Imam al-Syafii rahimahullah. Dengan menggandakan begitu saja pendapat Nasr Hamid Abu Zayd, tanpa perilaku kritis sedikit pun, AW menulis: ”Al-Quran versi bahasa Quraisy inilah yang diperjuangkan oleh Imam Syafi’i sebagai wahyu Tuhan yang layak dihormati hingga pada teks tulisannya, sebagai konsekuensi logis di mana dan dalam suku apa ia dilahirkan.” (hal. 170).
Tentu sangatlah tidak beradab memperlihatkan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar kepada seorang ulama besar menyerupai Imam Syafii, yang begitu besar jasanya kepada umat Islam. Apalagi memperlihatkan tuduhan dan prasangka negatif kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw. Umat Islam sangat menyayangi Nabi Muhammad saw, dan tentu, umat Islam juga sangat menyayangi para sahabatnya dan juga pelanjut risalahnya, yaitu para ulama yang alim dan shalih. Adab menyerupai inilah yang seharusnya dijaga dalam dunia ilmiah di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Tindakan menghujat dan melecehkan Al-Quran, sahabat, dan ulama, tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim, meskipun dengan mengatasnamakan kebebasan ilmiah dan perilaku kiritis.
Apalagi, faktanya, doktor UIN Yogya ini juga sama sekali tidak bersikap kritis ketika mengutip pendapat-pendapat para orientalis dan pemikir liberal. Ia menolak pemahaman bahwa lafaz dan makna Al-Quran (Mushaf Utsmani) berasal dari Allah, sehingga bersifat sakral (suci), dan membacanya dalam bentuk tartil pun dinilai sebagai membaca wahyu Tuhan dan si pembaca mendapat pahala. Menurut sang doktor UIN Yogya tersebut, yang sakral dari Mushaf Utsmani hanyalah maknanya, sementara lafaznya tidak sakral.
”Namun demikian, lafadznya, sebagai wadah pesan Tuhan tetap harus dihormati. Karena itu, yang dianjurkan membaca di sini yaitu dalam arti mengungkap pesan itu, bukan tartilnya. Karena pesan itu terdapat dalam bahasa yang profan, maka diharapkan alat apa saja yang secara metodologis absah dipakai dalam sebuah kajian ilmiah, termasuk hermeneutika.” (hal. 184).
Membaca pemikiran doktor cum laude dari UIN Yogya ini, tentu masuk akal bila selama ini kita mempertanyakan, mengapa penggunaan hermeneutika dalam studi Al-Quran terus digalakkan di Perguruan Tinggi Islam. Tampak jelas, bagaimana pemikiran sang doktor ini dalam menistakan Al-Quran, para sobat Nabi Muhammad saw, dan para ulama Islam yang sangat kredibel. Kita bisa melihat bagaimana tendensiusnya kajian yang mempromosikan hermeneutika sebagai metode alternatif dalam penafsiran Al-Quran. Kajian semacam ini jauh dari perilaku ilmiah yang bermutu. Maka, yaitu aneh, ketika seorang guru besar di UIN Yogya, Prof. Dr. Hamim Ilyas, membuat kriteria bahwa salah satu ciri kaum fundamentalis yaitu menolak penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran.
Mengapa muncul kegilaan pada hermeneutika dan penistaan Ilmu Tafsir pada sebagian akademisi di Perguruan Tinggi Islam? Kita menemukan jawabannya pada artikel Dr. Syamsuddin Arif di Harian Republika (30 September 2004), yang berjudul “Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd”:
“Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang ia lontarkan kebanyakan -- untuk tidak menyampaikan seluruhnya -- yaitu gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat… Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia menyerupai istri Aladdin, menukar lampu usang dengan lampu gres yang dijajakan oleh si tukang sihir.”
Dan memang faktanya, para pengguna hermeneutika dan pengecam Tafsir Al-Quran, hingga kini tidak pernah bisa membuat satu Tafsir Al-Quran pun. Sebab, tampaknya, ”maqam” mereka gres hingga pada tahap merusak dan hanya isapan jempol belaka, bila diangggap para hermeneut ini bisa membuat metode Tafsir Al-Quran gres yang mampu menandingi kehebatan Ilmu Tafsir, Ilmu Ushul Fiqih, dan sebagainya. Bahkan, tampak jelas, buku karya doktor UIN Yogya ini pun tidak memperlihatkan contoh, bagaimana metode dan model Studi Al-Quran yang gres dan hebat.
Kita yakin, Al-Quran ini Kalamullah. Al-Quran yaitu milik Allah. Dan pasti, Tuhan yang menjaganya dari aneka macam upaya untuk merusaknya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang tahu diri! Tidak patut burung emprit berlagak menyerupai burung elang. Wallahu a’lam. [Malang, 7 November 2009/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] yaitu hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
Pada 5 November 2009, saya mendapat undangan untuk berbicara dalam sebuah seminar di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seminar bertema ”Islam dan Tantangan Pemikiran Global” itu diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Pesantren Modern Gontor cabang Lombok. Seminar dibuka oleh Gubernur NTB, Tuan Guru Zainul Majdi. Turut memperlihatkan sambutan yaitu pimpinan Pondok Pesantren Gontor KH Abdullah Syukri Zarkasyi dan Tuan Guru Sofwan Hakim, ketua Forum Kerjasama Pesantren se-NTB. Seminar dihadiri sekitar 300 pimpinan dan guru-guru pesantren se- NTB. Tim pembicara dari INSISTS dipimpin oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi (adik dari KH Abdullah Syukri Zarkasyi).
Tampaknya, bagi para ulama dan tokoh Islam di NTB, informasi liberalisasi Islam sudah cukup bersahabat dengan mereka. Mereka mengakui, sejumlah problem yang dibahas dalam seminar sudah terjadi juga di tempat mereka, meskipun dalam skala yang belum masif menyerupai di sejumlah kota di Pulau Jawa. Salah satu problem yang sudah mulai dilontarkan kaum liberal di NTB yaitu soal ”Desakralisasi Al-Quran.” Ada seorang tokoh yang mengaku sempat berdiskusi dengan seorang mahasiswa IAIN Mataram, yang bertanya kepadanya: ”Apakah Al-Quran itu benar-benar suci atau dianggap suci?”
Mendengar pertanyaan itu saya menjawab dengan agak bercanda, ”Tanyakan pada si mahasiswa, apakah ia benar-benar insan atau dianggap manusia?”
Dalam seminar di NTB, informasi ”desakralisasi Al-Quran” memang disinggung juga oleh KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Gubernur NTB yang juga kandidat doktor ilmu Tafsir di Universitas al-Azhar Kairo, bahkan menguraikan cukup panjang sejarah serangan kaum orientalis terhadap Islam, termasuk terhadap Al-Quran. Ia memperlihatkan sejumlah pola kesungguhan dan kesabaran para orientalis dalam menyerang Islam. ”Sehingga dalam pertarungan ini, siapa yang lebih sabar yang akan menang,” ungkapnya seraya mengajak para penerima seminar untuk meningkatkan kesabaran dalam berjuang.
Proyek ”desakralisasi Al-Quran” memang termasuk salah satu tema pokok dalam liberalisasi Islam. Mengikuti tradisi kajian Al-Quran model orientalis, sejumlah pemikir liberal tampak berusaha keras meyakinkan kaum Muslim, bahwa Al-Quran bukanlah sebuah kitab suci, tetapi kitab yang dianggap suci. Ada yang berusaha keras menulis artikel untuk membuat kaum Muslimin ragu-ragu terhadap kebenaran dan keotentikan Al-Quran. Dia mencoba meyakinkan, bahwa Al-Quran yaitu kitab biasa-biasa saja, yang juga mengandung kesalahan secara tata bahasa. Tentu saja, pekerjaan semacam ini akan sia-sia saja. Meskipun si penulis mendapat imbalan tertentu di dunia.
Pikiran semacam ini sepertinya cukup luas merasuki pemikiran kalangan akademisi di lingkungan Perguruan Tinggi Islam ketika ini. Tentu kita masih ingat, bagaimana seorang dosen IAIN Surabaya yang pada 5 Mei 2006, membuktikan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. Dia katakan, "Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput. Sebagai budaya, Al-Quran tidak sakral. Yang sakral yaitu kalamullah secara substantif.”
Sebuah jurnal yang diterbitkan di IAIN Semarang edisi 23 Th. XI/2003, menulis di sampul belakangnya: ”ADAKAH SEBUAH OBJEK KESUCIAN DAN KEBENARAN YANG BERLAKU UNIVERSAL? TIDAK ADA! SEKALI LAGI, TIDAK ADA! TUHAN SEKALIPUN!” Di pengantar redaksinya juga ditegaskan: ”Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”
Mengapa kaum liberal ulet dalam mengkampanyekan tema ”desakralisasi Al-Quran”, bahwa Al-Quran bukanlah kitab suci? Ternyata, bila kita cermati, tujuan mereka yaitu ingin memperlihatkan legitimasi terhadap masuknya aneka macam metode penafsiran Al-Quran, di luar ilmu Tafsir Al-Quran. Dengan meletakkan posisi Al-Quran sebagai teks biasa, teks sastra, teks budaya, atau teks sejarah, yang sama dengan teks-teks lain, maka dimungkinkan masuknya model pemahaman Al-Quran yang baru, menyerupai hermeneutika.
Di NTB itulah, saya lebih berkesempatan membaca sebuah buku berjudul Arah Baru Studi Ulum Al-Quran: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya karya seorang dosen STAIN di Jawa Timur, yang juga doktor lulusan UIN Yogyakarta. Sebut saja inisialnya ”AW”. Tesis master dosen ini juga sudah diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, yang juga menolak kesucian Al-Quran. Buku Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an, semakin menegaskan, adanya kecenderungan dan gerakan penghancuran ulumul-Quran para ulama Islam, digantikan dengan teori-teori ilmu sosial para ilmuwan Barat. AW sangat getol dalam mempromosikan penggunaan hermeneutika untuk – katanya – memahami pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani. Seperti biasa, para pengguna hermeneutika biasanya melaksanakan proses desekralisasi teks Al-Quran. Itu pula yang dilakukan dosen STAIN ini. Simaklah pandangan penulis perihal Al-Quran berikut ini:
”Dalam karya ini, saya membedakan antara wahyu, al-Qur’an, dan Mushaf Usmani. Ketiganya yaitu tiga nama yang kendati mengacu pada satu substansi, tetapi kadar muatan ketiganya berbeda. Wahyu sebagai pesan otentiks Tuhan masih memuat keseluruhan pesan Tuhan; al-Qur’an sebagai wujud nyata pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab oral memuat kira-kira sekitar 50 persen pesan Tuhan; dan Mushaf Usmani sebagai wujud nyata pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab tulis hanya memuat kira-kira tiga puluh persen pesan Tuhan. Jika selama menjadi wahyu masih memuat keseluruhan pesan Tuhan, tidak demikian halnya ketika telah menjadi Al-Quran dan Mushaf Usmani. Hal itu terjadi, bukan lantaran Tuhan tidak bisa menjamin keabadian pesan-Nya, melainkan lantaran keterbatasan Bahasa Arab yang dijadikan wadah pesan Tuhan yang tak terbatas itu.” (hal.vii).
Saya sangat prihatin dan sekaligus kasihan membaca aneka macam uraian dalam buku ini. Sebab, buku ini ditulis oleh seorang dosen agama dan doktor lulusan UIN Yogya. Selain disebarkan melalui tulisan, dosen ini tentu juga mengajarkan pemikirannya kepada para mahasiswanya. Banyak sekali kekacauan dan kerancuan pemikirannya, yang tentu saja memerlukan terapi yang sangat serius. Marilah kita lihat contoh-contoh kekacauan berpikir dosen yang dinyatakan lulus doktornya di UIN Yogya dengan predikat cum laude ini. Dia menulis sebagai berikut:
”Ketika pesan Tuhan diwadahkan ke dalam bahasa Arab itu, maka Muhammad sebagai distributor tunggal Tuhan yang juga sebagai masyarakat Arab menentukan lafaz dan makna tertentu yang bisa memuat dua pesan, yakni pesan Tuhan dan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Implikasinya, teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya bisa menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun. Oleh lantaran itu, diharapkan sebuah teori interpretasi lain yang dinilai bisa menemani tafsir, sehingga yang terungkap bukan hanya pesan pemilik bahasa,tetapi juga pesan Tuhan. Hermeneutika sepertinya bisa menjadi kawan tafsir guna mengungkap pesan Tuhan di balik Bahasa Arab sebagai fenomena budaya.” (hal.viii).
Sekilas saja, kita bisa menilai, bahwa kata-kata si dosen STAIN itu sebetulnya asbun (asal bunyi). Tuduhan bahwa Ilmu Tafsir selama ini tidak bisa menangkap pesan Tuhan dalam Al-Quran yaitu suatu bentuk pernyataan asal-asalan. Tentu kita tidak bisa menyimpulkan si dosen ini ”sakit jiwa”, alasannya yaitu bisa meraih gelar doktor dari UIN Yogya dengan predikat cum laude dan bisa menulis banyak buku. Tetapi, yang jelas, selama 1400 tahun lebih, umat Islam di seluruh dunia telah memahami Al-Quran dengan memakai Ilmu Tafsir dan tidak memakai hermeneutika. Lalu, tiba-tiba di ”zaman edan” ini muncul ”pemikir luar biasa hebat” dari UIN Yogya yang dengan gagah berani menyimpulkan:
”teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya bisa menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun.”
Karena berlagak menjadi mujtahid besar itulah maka pengguna hermeneutika -- menyerupai penulis buku ini -- kemudian bersikap sok mahir dan merendahkan martabat, keilmuan, dan keikhlasan Khalifah Usman bin Affan serta para ulama Islam terkemuka. Tapi, ironisnya, pada ketika yang sama, kaum liberal juga sangat hormat dan bertaklid buta begitu saja kepada Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Khaled Abou el-Fadl, Farid Essac, Paul Ricour, Fazlur Rahman, Hegel, dan sebagainya.
Simaklah sejumlah ungkapan AW perihal Mushaf Usmani berikut ini:
”Sejarah memperlihatkan kepada kita bahwa proses pembukuan Al-Quran diwarnai campur tangan Utsman dalam posisinya sebagai khalifah, yang oleh Abu Zayd disebut sebagai ”dekrit” khalifah.” (hal. 169)... ”Maka tidak bisa disalahkan kiranya bila diasumsikan bahwa di balik keputusan khalifah Utsman tersebut mengandung adanya unsur ideologis, terutama ideologi pemilik bahasa yang dipilih menjadi bahasa Mushaf Usmani.” (hal. 170)...”Lebih-lebih, Khalifah Utsman telah menghilangkan dan menyensor bahkan memusnahkan korpus kitab-kitab individu, menyerupai milik Ibnu Mas’ud dan Siti Hafsah. Ini terang berimplikasi pada pemusatan pembacaan hanya pada Mushaf Usmani. Jika boleh memberi istilah, Mushaf Usmani ini telah menjadi ”penjara” bagi pesan belakang layar Tuhan. Penjara yang dimaksud di sini yaitu ideologi Quraisy yang melingkupinya, dan bahkan antara Quraisy dan al-Qur’an (Mushaf Usmani) merupakan dua anak kembar yang saling bersanding dan dua cabang yang berakar sama, yang dengannya mereka mencoba menancapkan hegemoninya.” (hal. 172).
Begitulah pandangan doktor UIN Yogya yang sangat merendahkan martabat Sayyidina Utsman bin Affan dan menistakan Al-Quran. Sebenarnya, bila AW mau mengungkapkan aneka macam klarifikasi dalam kitab Ulumul Quran, maka dengan gampang ditemukan klarifikasi seputar tindakan Khalifah Utsman r.a. yang sangat mulia dan luar biasa besar jasanya dalam kodifikasi Mushaf Al-Quran. Tapi, ia lebih percaya kepada pendapat-pendapat orientalis yang memperlihatkan aneka macam tuduhan dan sangkaan terhadap Khalifah Utsman r.a., menantu Rasulullah saw, dan termasuk salah satu sobat yang dijamin masuk sorga oleh Rasulullah saw.
Tindakan Sayyidina Utsman itu pun sudah mendapat pesertujuan dari semua sahabat, termasuk Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Tidak ada seorang sobat Nabi pun yang menentang tindakan Utsman r.a., lantaran memang kodifikasi Al-Quran itu bukan dilakukan untuk kepentingan politik atau kesukuan. Karena itulah, sepanjang sejarah Islam, meskipun terjadi aneka macam konflik politik, tidak pernah terpikir suatu rezim untuk membuat Al-Quran baru. Betapa pun kerasnya konflik antara Ali dan Mu’awiyah, keduanya tetap mengakibatkan Mushaf Utsmani sebagai pedoman. Setelah Abbasiyah berkuasa, mereka juga tidak mengganti Mushaf Utsmani dengan Mushaf baru. Maka, tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman r.a. dan Mushaf Utsmani sebetulnya sangat tidak ilmiah dan hanya berlandaskan kebodohan dan kebencian.
Kajian terakhir yang menyudutkan Mushaf Usmani, contohnya tiba dari seorang orientalis Katolik Jerman (berasal dari Lebanon) yang memakai nama samaran Christoph Luxenberg. Sebagaimana para pendahulunya, Luxenberg juga menggugat Al-Quran sebagai “wahyu” yang diturunkan Tuhan SWT kepada Nabi Muhammad saw. Ia mencoba menggugurkan keyakinan kaum Muslim bahwa Al-Quran yaitu “tanzil”, “suci”, bebas dari kesalahan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran (QS 15:9). Menurut Luxenberg -- dengan melaksanakan kajian semantic terhadap sejumlah kata dalam Al-Quran Arab yang diambil dari perbendaharaan bahasa Syriac -- Al Qur'an yang ada ketika ini (Mushaf Utsmani) yaitu salah salin (mistranscribed) dan berbeda dengan teks aslinya. Teks orisinil Al Qur'an, simpulnya, lebih menyerupai bahasa Aramaic, ketimbang Arab. Dan naskah orisinil itu telah dimusnahkan Khalifah Usman bin Affan. Dengan kata lain, Al-Quran yang dipegang oleh kaum Muslim ketika ini, bukanlah wahyu Tuhan SWT, melainkan pura-pura Utsman bin Affan r.a.
Lunxenberg – menyerupai banyak orientalis lainnya – mempertanyakan motivasi Utsman bin Affan melaksanakan kodifikasi Al-Quran. Ia menduga, teks Al-Quran yang dimusnahkan Utsman bin Affan berbeda dengan teks Mushaf Utsmani yang kini ini. Tuduhan semacam ini sama sekali tidak beralasan, alasannya yaitu proses kodifikasi Al-Quran di zaman Utsman bin Affan sangat terbuka kerjanya, dan Al-Quran selalu diingat oleh ratusan, ribuan – bahkan kini jutaan kaum Muslimin. Setiap kekeliruan akan selalu dikoreksi oleh kaum Muslim.
Tetapi, para orientalis memang tidak pernah berhenti untuk menyerang Al-Quran dengan aneka macam cara. Ironisnya, cara-cara orientalis semacam ini kini dilakukan oleh beberapa akademisi dari kalangan Perguruan Tinggi Islam sendiri. Bahkan, tuduhan-tuduhan tidak beradab terhadap Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu menyerupai yang dilakukan doktor UIN Yogya itu juga kemudian dialamatkan kepada Imam al-Syafii rahimahullah. Dengan menggandakan begitu saja pendapat Nasr Hamid Abu Zayd, tanpa perilaku kritis sedikit pun, AW menulis: ”Al-Quran versi bahasa Quraisy inilah yang diperjuangkan oleh Imam Syafi’i sebagai wahyu Tuhan yang layak dihormati hingga pada teks tulisannya, sebagai konsekuensi logis di mana dan dalam suku apa ia dilahirkan.” (hal. 170).
Tentu sangatlah tidak beradab memperlihatkan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar kepada seorang ulama besar menyerupai Imam Syafii, yang begitu besar jasanya kepada umat Islam. Apalagi memperlihatkan tuduhan dan prasangka negatif kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw. Umat Islam sangat menyayangi Nabi Muhammad saw, dan tentu, umat Islam juga sangat menyayangi para sahabatnya dan juga pelanjut risalahnya, yaitu para ulama yang alim dan shalih. Adab menyerupai inilah yang seharusnya dijaga dalam dunia ilmiah di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Tindakan menghujat dan melecehkan Al-Quran, sahabat, dan ulama, tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim, meskipun dengan mengatasnamakan kebebasan ilmiah dan perilaku kiritis.
Apalagi, faktanya, doktor UIN Yogya ini juga sama sekali tidak bersikap kritis ketika mengutip pendapat-pendapat para orientalis dan pemikir liberal. Ia menolak pemahaman bahwa lafaz dan makna Al-Quran (Mushaf Utsmani) berasal dari Allah, sehingga bersifat sakral (suci), dan membacanya dalam bentuk tartil pun dinilai sebagai membaca wahyu Tuhan dan si pembaca mendapat pahala. Menurut sang doktor UIN Yogya tersebut, yang sakral dari Mushaf Utsmani hanyalah maknanya, sementara lafaznya tidak sakral.
”Namun demikian, lafadznya, sebagai wadah pesan Tuhan tetap harus dihormati. Karena itu, yang dianjurkan membaca di sini yaitu dalam arti mengungkap pesan itu, bukan tartilnya. Karena pesan itu terdapat dalam bahasa yang profan, maka diharapkan alat apa saja yang secara metodologis absah dipakai dalam sebuah kajian ilmiah, termasuk hermeneutika.” (hal. 184).
Membaca pemikiran doktor cum laude dari UIN Yogya ini, tentu masuk akal bila selama ini kita mempertanyakan, mengapa penggunaan hermeneutika dalam studi Al-Quran terus digalakkan di Perguruan Tinggi Islam. Tampak jelas, bagaimana pemikiran sang doktor ini dalam menistakan Al-Quran, para sobat Nabi Muhammad saw, dan para ulama Islam yang sangat kredibel. Kita bisa melihat bagaimana tendensiusnya kajian yang mempromosikan hermeneutika sebagai metode alternatif dalam penafsiran Al-Quran. Kajian semacam ini jauh dari perilaku ilmiah yang bermutu. Maka, yaitu aneh, ketika seorang guru besar di UIN Yogya, Prof. Dr. Hamim Ilyas, membuat kriteria bahwa salah satu ciri kaum fundamentalis yaitu menolak penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran.
Mengapa muncul kegilaan pada hermeneutika dan penistaan Ilmu Tafsir pada sebagian akademisi di Perguruan Tinggi Islam? Kita menemukan jawabannya pada artikel Dr. Syamsuddin Arif di Harian Republika (30 September 2004), yang berjudul “Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd”:
“Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang ia lontarkan kebanyakan -- untuk tidak menyampaikan seluruhnya -- yaitu gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat… Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia menyerupai istri Aladdin, menukar lampu usang dengan lampu gres yang dijajakan oleh si tukang sihir.”
Dan memang faktanya, para pengguna hermeneutika dan pengecam Tafsir Al-Quran, hingga kini tidak pernah bisa membuat satu Tafsir Al-Quran pun. Sebab, tampaknya, ”maqam” mereka gres hingga pada tahap merusak dan hanya isapan jempol belaka, bila diangggap para hermeneut ini bisa membuat metode Tafsir Al-Quran gres yang mampu menandingi kehebatan Ilmu Tafsir, Ilmu Ushul Fiqih, dan sebagainya. Bahkan, tampak jelas, buku karya doktor UIN Yogya ini pun tidak memperlihatkan contoh, bagaimana metode dan model Studi Al-Quran yang gres dan hebat.
Kita yakin, Al-Quran ini Kalamullah. Al-Quran yaitu milik Allah. Dan pasti, Tuhan yang menjaganya dari aneka macam upaya untuk merusaknya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang tahu diri! Tidak patut burung emprit berlagak menyerupai burung elang. Wallahu a’lam. [Malang, 7 November 2009/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] yaitu hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
terima kasih sudah mau membaca.
0 Response to "Penistaan Al Quran Ala Doktor Uin Jogja"
Post a Comment
Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)
NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".
Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda