Prof. Azyumardi: Pendidikan Islam Di Iain Ialah “Islam Liberal” - Tempat Blogging

Prof. Azyumardi: Pendidikan Islam Di Iain Ialah “Islam Liberal”

بسم الله الرحمن الرحيم


Written by Adian Husain

 kendati IAIN terbatas menawarkan pendidikan Islam kepada mahasiswanya PROF. Azyumardi: Pendidikan Islam di IAIN yakni “Islam Liberal”
"Sebagai forum akademik, kendati IAIN terbatas menawarkan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islamyang diajarkan yakni Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern. Untuk menunjang itu, mahasiswa IAIN pun diajak mengkaji agama-agama lain selain Islam secara fair, terbuka, dan tanpa prasangka. Ilmu perbandingan agama menjadi mata kuliah pokok mahasiswa IAIN.”



“Jika di pesantren mereka memahami dikotomi ilmu: Ilmu Islam (naqliyah dan ilmu keagamaan) dan ilmu umum (sekuler dan duniawiah), maka di IAIN merekadisadarkan bahwa hal itu tidak ada. Di IAIN mereka sanggup memahami bahwa berguru sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi, sama pentingnya dengan berguru ilmu Tafsir al-Quran. Bahkan ilmu itu sanggup mempunyai kegunaan untuk memperkaya pemahaman mereka perihal tafsir. Tetapi, IAIN tidak mengajarkan apa yang sering disebut dengan “islamisasi ilmu pengetahuan” lantaran semua ilmu yang ada di dunia ini itu sama status dan arti pentingnya bagi kehidupan manusia.”

Itulah pernyataan Prof. Dr. Azyumardi Azra ketika menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Pernyataan itu dimuat dalam buku IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (2002, hal. 117), yang diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama.

Pengakuan Profesor Azyumardi Azra perihal corak liberal dan liberalisasi pendidikan Islam di IAIN itu tentu saja menarik untuk kita simak, lantaran disampaikan bukan dengan nada penyesalan, tetapi justru dengan nada kebanggaan. IAIN merasa bangga, lantaran telah berhasil mengubah banyakn mahasiswanya yang kebanyakan berbasis pesantren/madrasah menjadi mahasiswa atau sarjana-sarjana liberal.

Ditulis dalam buku ini:

”Model studi Islam tersebut membuka wawasan mahasiswa IAIN yang pada umumnya berbasis pesantren dan madrasah. Memang, pada tahun-tahun pertama studi di IAIN, sebagian mahasiswa yang telah terdidik dengan budaya pengkajian Islam pesantren mengalami goncangan. Tetapi sesudah itu umumnya sanggup memahami arti penting model studi Islam di IAIN. Selain itu dalam pengamatan Azyumardi, liberalisasi studi Islam di IAIN juga telah mengubah caara pandang mahasiswa umumnya terhadap ilmu.” (hal. 117).


Saya tidak ingin berkomentar terlalu jauh terhadap pernyataan Prof. Azyumardi atau fakta-fakta liberalisasi IAIN yang dipaparkan oleh para pemain film utamanya di perguruan tinggi Islam. Pada catatan-catatan sebelumnya, kita sudah sering membahas problem ini. Karena problem ini teramat sangat penting bagi masa depan pendidikan Islam dan bahkan masa depan umat Islam di Indonesia, ada baiknya kita simak kembali sejumlah pemaparan perihal proses liberalisasi IAIN, sebagaimana diuraikan dalam buku tersebut.

Proses liberalisasi itu dimulai dari pulangnya para kafilah yang menimba ilmu di Institute of Islamic Studies of McGill University. Mereka mendapat didikan dari profesor-profesor Islamic Studies kenamaan semisal Charles J. Adam, pakar dalam sejarah Islam; Wilfred Cantwell Smith, pakar sejarah peradaban Islam dan perbandingan agama; N. Barkes, jago Turki dan sekularisasi di dunia Muslim, Herman Landolt, pakar filsafat, sufism, dan Syiah; Wael Hallaq, pakar aturan Islam, dan sebagainya. ”Para alumni McGill ini, dengan latar belakang dan keahlian yang berbeda, pada gilirannya menawarkan bantuan yang cukup signifikan dalam pengembangan wacana akademik kajian keislaman dan dunia birokrasi di tanah air.” (hal. vii-viii).

Dijelaskan juga dalam buku ini, bahwa IAIN sekarang sudah berubah, dari forum dakwah menjadi forum akademis.

“IAIN mulanya dimaknai sebagai forum dakwah Islam yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat. Sehingga orientasi kepentingannya lebih difokuskan pada pertimbangan-pertimbangan dakwah. Tentu saja orientasi ini tidaklah keliru. Hanya saja, menimbulkan IAIN sebagai forum dakwah intinya telah mengurangi tugas yang semestinya lebih ditonjolkan, yaitu sebagai forum pendidikan tinggi Islam.

Karena IAIN sebagai forum akademis, maka tuntutan dan tanggung jawab yang dipikul oleh IAIN yakni tanggung jawab akademis ilmiah.” (hal. x).


Perubahan status IAIN dari forum dakwah menjadi forum akademis, memang dilandasi dengan perubahan metodologi studi Islam, dari metode para ulama menjadi metode para orientalis, ibarat diungkapkan oleh buku ini:

“Salah satu yang menonjol yakni tradisi keilmuan yang dibawa pulang oleh kafilah IAIN (dan STAIN) dari studi mereka di McGill University secara khusus dan universitas-universitas lain di Barat secara umum. Berbeda dengan tradisi keilmuan yang dikembangkan oleh jaringan ulama yang mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan mengembangkan pemikiran ulama gurunya, tradisi keilmuan Barat, kalau boleh dikatakan begitu, lebih membawa pulang metodologi maupun pendekatan dari sebuah pemikiran tertentu. Sehingga mereka justru sanggup lebih kritis sekalipun terhadap pikiran profesor-profesor mereka sendiri. Disamping aspek metodologis itu, pendekatan sosial empiris dalam studi agama juga dikembangkan.” (hal. xi).

*****

Dalam beberapa hari ini, saya mendapat beberapa buku menarik perihal “Islam Liberal”. Buku pertama berjudul Islam Liberal 101 (2010), karya Akmal Sjafril, sarjana Teknik Sipil ITB yang juga alumnus Program Kaderisasi Ulama DDII-Baznas di Magister Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Buku ini berhasil mengkritisi banyak sekali pemikiran liberal dengan membalikkan dan mengkritisi logika-logika kaum liberal yang seringkali rancu dan paradoks.

Satu buku lagi yang saya dapatkan berjudul "Argumen Islam untuk Pluralisme" (2010), karya Budhy Munawar Rachman, Program Officer and Development, The Asia Foundation. Sebenarnya saya sudah agak malas membaca sejumlah karya yang mendukung Pluralisme Agama, lantaran banyak yang tidak terang dan tegas dalam merumuskan definisi “Pluralisme” itu sendiri, sehingga sanggup diambil satu teladan penilaian. Yang sering terjadi ada manipulasi data, khususnya ketika mengutip pendapat ulama atau tokoh Islam tertentu untuk mendukung paham Pluralisme. Sejumlah logika teologis dan aturan Islam yang dipakai juga asal-asalan, dan jauh dari semangat akademis.

Sebagai contoh, di halaman 182 tertulis: “Karena itu pandangan yang memasukkan non-Muslim sebagai musyrik – ibarat sering dilakukan oleh kalangan Islam Radikal – harus ditolak.”

Bukankah pernyataan itu sangat keliru? Begitu banyak ayat dalam al-Quran yang mengecam keras kaum musyrik, lantaran menyekutukan Tuhan dengan makhluk-Nya. Orang non-Muslim yang melaksanakan tindakan semacam itu jelas-jelas tergolong musyrik. Orang non-Muslim yang menyembah batu, setan, atau makhluk apa pun; atau yang mengangkat derajat makhluk ke derajat al-Khaliq, jelas-jelas telah melaksanakan tindakan syirik. Orang yang mengaku Muslim saja sanggup terjatuh dalam dosa syirik, apalagi orang non-Muslim. Ini bukan soal pernyataan Radikal atau moderat, lantaran begitu jelasnya aliran Islam perihal hal ini.

Di halaman yang sama, penulis --dengan logika asal-asalan-- melaksanakan penghalalan terhadap aturan ijab kabul antara Muslimah dengan pria non-Muslim. Dikatakannya:

“Soal perkawinan pria non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada ketika itu, yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar ketika ini, sehingga perkawinan antaragama merupakan sesuatu yang terlarang.” Bagaimana cara mengukur bahwa jumlah umat Islam sudah “banyak” atau “sedikit”?


Dibandingkan dengan kaum non-Muslim seluruh dunia, umat Islam masih sedikit. Kita maklum, yang mereka inginkan yakni kebebasan perkawinan lintas agama. Soal dalil atau logika, sanggup dicari-cari!

Yang saya sayangkan berulang kali yakni kutipan yang salah – sengaja atau tidak -- terhadap goresan pena ulama Islam, hanya untuk mendukung paham Pluralisme. Di buku ini dikutip pendapat Buya Hamka:

“Buya Hamka, seorang ulama besar dan berpengaruh, yang pandangan-pandangannya sangat progresif-liberal, dalam buku tafsirnya, al-Azhar, menyampaikan bahwa ayat tersebut (QS 2:62. Pen.), yakni satu tuntunan bagi menegakkan jiwa, untuk orang yang percaya kepada Allah, baik ia berjulukan Mukmin atau Muslim, Yahudi, Kristen, dan Shabiin yang beriman kepada Allah, hari final dan diikuti amal yang shaleh, mereka akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan. Tiga nilai universal tersebut yakni syarat yang mutlak. Namun, berdasarkan Buya, meskipun seorang insan telah mengaku beriman kepada Allah, mengaku beriman kepada Nabi Muhammad saw, kalau kepercayaan itu tidak dibuktikannya dengan amal saleh, tidaklah akan diberi ganjaran oleh Tuhan.” (hal. 122-123).

Soal pendapat Hamka perihal QS 2:62 sudah pernah kita bahas di CAP ke-172. Pendapat Hamka perihal keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sesungguhnya juga tidak berbeda dengan para mufassir terkemuka yang lain.

Termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: "Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 lantaran memang maknanya sejalan.

Menurut Hamka hakikat Islam ialah percaya kepada Tuhan dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmanNya, segala Rasul-Nya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah kepercayaan itu diikuti oleh amal yang shalih."

Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan sanggup mendapat pahala dan keselamatan, dengan syarat ia beriman kepada segala firman Allah, termasuk al-Quran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad saw. Jika seseorang beriman kepada al-Quran dan Nabi Muhammad saw, maka itu sama artinya ia telah memeluk agama Islam. Dengan kata lain, dalam pandangan Hamka, siapa pun yang tidak beriman kepada Allah, al-Quran, dan Nabi Muhammad saw, meskipun ia mengaku secara formal beragama Islam, tetap tidak akan mendapat keselamatan. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.

Soal keimanan kepada Nabi Muhammad saw dan al-Quran itulah yang semenjak awal ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi Musa, Nabi Isa, dan juga Nabi Muhammad saw, sebagai epilog para Nabi.

Kaum Pluralis – ibarat penulis buku ini – kemudian berusaha mengecilkan arti penting keimanan kepada kenabian Muhammad saw, sebagai dasar keselamatan. Di sini ditulis:

“Keselamatan dicapai dengan kepercayaan yang benar yang menguasai jiwa dan amal yang memperbaiki manusia. Tidak ada problem sama sekali kalau mereka orang-orang Yahudi, Kristen, dan Shabi’in, yang tidak beriman kepada Nabi saw. Keselamatan tidaklah mensyaratkan kepercayaan kepada Nabi Muhammad.” (hal. 130).

Dengan membaca buku ini, kita tidak perlu terlalu cerdas untuk memahami kesalahan paham Pluralisme Agama. Justru buku ini memaparkan dengan sangat gamblang betapa bathilnya paham ini. Jika orang tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw, ia niscaya tidak beriman kepada al-Quran. Lalu, bagaimana ia sanggup mengenal Allah? Bagaimaan ia sanggup menyembah Tuhan dengan benar? Bagaimana ia sanggup berinfak shalih? Amal shalih berdasarkan siapa?

Lalu, untuk apa ia bersyahadat: saya bersaksi bahwa “Tiada Tuhan selain Tuhan dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.”? [Depok, 14 Januari 2011/hidayatullah.com] *


terima kasih sudah mau membaca.
Show comments
Hide comments

0 Response to "Prof. Azyumardi: Pendidikan Islam Di Iain Ialah “Islam Liberal”"

Post a Comment

Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)

NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".

Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close