Profesor Ken Soetanto Arek Suroboyo Peraih Empat Doktor Di Jepang
Saturday, June 2, 2018
Add Comment
بسم الله الرØمن الرØيم
Raih 31 Paten, Digaji Rp144 Miliar Setahun Prestasi membanggakan ditorehkan Profesor Ken Soetanto. Pria kelahiran Surabaya ini berhasil menggondol gelar profesor dan empat doktor dari sejumlah universitas di Jepang. Lebih hebatnya, puncak penghargaan akademis itu dicapainya pada usia 37 tahun.
SEPINTAS, penampilan fisiknya nyaris tak berbeda kalau dibandingkan dengan kebanyakan orang Jepang. Kulitnya kuning. Rambut lurusnya, disisir rapi. Kemejanya yang diseterika licin dipadu jas memperlihatkan beliau menyukai formalitas. Tapi, begitu berbicara, akan terkesan bahwa Prof Soetanto -demikian beliau dipanggil- bukan orang Jepang. Bicaranya ceplas-ceplos dengan logat suroboyoan-nya yang khas.
Penemu konsep pendidikan tinggi “Soetanto Effect” di Negeri Sakura itu beberapa hari ini berkunjung ke Indonesia. Soetanto mendampingi sejumlah koleganya, Dr Kotaro Hirasawa (dekan Graduate School Information Production & System Waseda University) dan Yukio Kato (general manager of Waseda University), menandatangani memorandum of understanding (MoU) antara Waseda University dan President University, Jababeka Education Park, Cikarang, Jawa Barat, Sabtu lalu.
Waseda University yakni perguruan tinggi swasta terbesar di Jepang. Reputasinya setara dengan universitas negeri semisal Tokyo University, Kyoto University, atau Nagoya University. Mahasiswa yang berguru di Waseda University 51.499 orang. Di antara jumlah itu, 1.234 orang berasal dari luar Jepang.
Waseda University telah menganugerahkan 81 gelar kehormatan bagi pemimpin negara, mulai mantan PM India Jawaharlal Nehru (1957) hingga mantan PM Singapura Lee Kuan Yew (2003). Dari Indonesia, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita juga pernah berguru di sini.
President University yakni institusi perguruan tinggi berbasis kurikulum bertaraf internasional yang berlokasi di tengah-tengah sekitar 1.040 perusahaan di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang. Selain putra berbaik dari Indonesia, para mahasiswa President University berasal dari China dan Vietnam.
Kehadiran Soetanto tak begitu menyita perhatian publik. Maklum, wakil dekan Waseda University tersebut hanya “sebentar” memperlihatkan ceramah populernya di hadapan ratusan mahasiswa dan civitas academica President University. Dia tak sempat mengembangkan keilmuan dengan sesama akademisi menyerupai UI, UGM, ITB, dan Unair. Sebuah kesempatan yang agak disesalkan bagi orang dengan kemampuan akademik sekaliber Soetanto.
Prestasi akademik Soetanto bisa dibilang di atas rata-rata. Misalnya, pada 1988-1993, beliau tercatat sebagai administrator Clinical Education and Science Research Institute (CERSI) merangkap associate professor di Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University, Philadelphia, AS.
Dia juga pernah tercatat sebagai profesor di Biomedical Engineering, ProgramUniversity of Yokohama (TUY). Selain itu, laki-laki kelahiran 1951 tersebut ketika ini masih terdaftar sebagai prosefor di almameternya, School of International Liberal Studies (SILS) Waseda University, serta profesor tamu di Venice International University, Italia.
Otak arek Suroboyo itu memang brilian. Dia berhasil menggabungkan empat disiplin ilmu berbeda. Hal tersebut terungkap dari empat gelar doktor yang diperolehnya.Yakni, bidang applied electronic engineering di Tokyo Institute of Technology, medical science dari Tohoku University, dan pharmacy science di Science University of Tokyo. Yang terakhir yakni doktor bidang ilmu pendidikan di almamater sekaligus tempatnya mengajar, Waseda University.
“Saya sungguh menikmati pekerjaan sebagai akademisi,” kata Soetanto di sela kesibukannya menyaksikan MoU Waseda University dan President University.
Di luar status kehormatan akademik tersebut, beliau masuk birokrasi di Negeri Sakura. Pria yang pernah berkawan dengan mantan Presiden RI B.J. Habibie itu tercatat sebagai komite pengawas (supervisor committee) di METI (Ministry of Economy, Trade, and Industry atau semacam Menko Perekonomian di RI).
Selain itu, beliau ikut membidani konsep masa depan Jepang dengan terlibat di Japanese Government 21st Century Vision. “Pada jabatan tersebut, sayaberpartisipasi eksklusif menyusun GBHN (kebijakan makro)-nya Jepang,” ungkap Soetanto yang masih fasih berbahasa Indonesiadan Jawa itu. Buah pemikiran Soetanto terkenal lewat konsep pendidikan “Soetanto Effect” dan 31 paten internasional yang tercatat resmi di pemerintah Jepang.
Inovasi yang dipatenkan itu lebih banyak didominasi berlatar bidang keilmuannya, mulai elektronik engineering, teknologi informasi, inovasi pengobatan kanker, dan teknik imaging serta bidang farmasi.
Mau tahu berapa dana yang diraih Soetanto untuk membiayai riset-risetnya ?
Jumlahnya sangat mencengangkan untuk ukuran akademikus bergelar profesor atau mereka yang pernah menduduki jabatan tertinggi di perguruan tinggi (rektor). Kementerian Pendidikan Jepang mendanai Soetanto hingga USD 15 juta (Rp 144 miliar) per tahun.
Di antara segudang prestasi itu, bisa jadi yang paling membanggakan, khususnya bagi warga Surabaya, yakni latar belakang sekolah dasar dan menengahnya yang ternyata dihabiskan di kota buaya. Soetanto muda mengenyam pendidikan SD swasta di Kapasari, Sekolah Menengah Pertama Baliwerti, dan Sekolah Menengan Atas Budiluhur yang dulu menjadi jujugan sekolah warga keturunan Tionghoa.
Toh, Soetanto mengaku belum puas. Obsesi terpendamnya yakni bagaimana karya akademisnya bisa dinikmati orang lain. “Saya berbahagia bila bisa menyenangkan orang lain,” katanya mengungkap visi hidupnya.
Soetanto sempat memperlihatkan buah pemikirannya di hadapan ratusan mahasiswa President University. Isi ceramah akademisnya menarik perhatian mahasiswa. Bahkan, beberapa jajaran direksi PT Jababeka, termasuk Dirut PT Jababeka Setyono Djuandi Darmono. Maklum, Soetanto membeberkan pengalamannya bisa menaklukkan dunia perguruan tinggi Jepang kendati hingga kini masih berkewarganegaraan Indonesia.
Selebihnya, Soetanto banyak mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang perlu dirombak lagi semoga lulusannya lebih berkualitas. “Sistem pendidikan di sini (Indonesia) sudah tertinggal jauh. Bahkan di bawah Malaysia dan Vietnam,” terperinci Soetanto dengan gaya bicara berapi-api.
Ironisnya, penghargaan terhadap staf pengajar atau guru di Indonesia juga sangat kurang. Soetanto lantas mencontohkan kecilnya honor guru yang memaksa mereka harus bekerja sambilan. “Karena faktor tersebut, jangan heran bila banyak ilmuwan Indonesia mencari penghasilan di luar negeri,” pungkas Soetanto.
SEPINTAS, penampilan fisiknya nyaris tak berbeda kalau dibandingkan dengan kebanyakan orang Jepang. Kulitnya kuning. Rambut lurusnya, disisir rapi. Kemejanya yang diseterika licin dipadu jas memperlihatkan beliau menyukai formalitas. Tapi, begitu berbicara, akan terkesan bahwa Prof Soetanto -demikian beliau dipanggil- bukan orang Jepang. Bicaranya ceplas-ceplos dengan logat suroboyoan-nya yang khas.
Penemu konsep pendidikan tinggi “Soetanto Effect” di Negeri Sakura itu beberapa hari ini berkunjung ke Indonesia. Soetanto mendampingi sejumlah koleganya, Dr Kotaro Hirasawa (dekan Graduate School Information Production & System Waseda University) dan Yukio Kato (general manager of Waseda University), menandatangani memorandum of understanding (MoU) antara Waseda University dan President University, Jababeka Education Park, Cikarang, Jawa Barat, Sabtu lalu.
Waseda University yakni perguruan tinggi swasta terbesar di Jepang. Reputasinya setara dengan universitas negeri semisal Tokyo University, Kyoto University, atau Nagoya University. Mahasiswa yang berguru di Waseda University 51.499 orang. Di antara jumlah itu, 1.234 orang berasal dari luar Jepang.
Waseda University telah menganugerahkan 81 gelar kehormatan bagi pemimpin negara, mulai mantan PM India Jawaharlal Nehru (1957) hingga mantan PM Singapura Lee Kuan Yew (2003). Dari Indonesia, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita juga pernah berguru di sini.
President University yakni institusi perguruan tinggi berbasis kurikulum bertaraf internasional yang berlokasi di tengah-tengah sekitar 1.040 perusahaan di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang. Selain putra berbaik dari Indonesia, para mahasiswa President University berasal dari China dan Vietnam.
Kehadiran Soetanto tak begitu menyita perhatian publik. Maklum, wakil dekan Waseda University tersebut hanya “sebentar” memperlihatkan ceramah populernya di hadapan ratusan mahasiswa dan civitas academica President University. Dia tak sempat mengembangkan keilmuan dengan sesama akademisi menyerupai UI, UGM, ITB, dan Unair. Sebuah kesempatan yang agak disesalkan bagi orang dengan kemampuan akademik sekaliber Soetanto.
Prestasi akademik Soetanto bisa dibilang di atas rata-rata. Misalnya, pada 1988-1993, beliau tercatat sebagai administrator Clinical Education and Science Research Institute (CERSI) merangkap associate professor di Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University, Philadelphia, AS.
Dia juga pernah tercatat sebagai profesor di Biomedical Engineering, ProgramUniversity of Yokohama (TUY). Selain itu, laki-laki kelahiran 1951 tersebut ketika ini masih terdaftar sebagai prosefor di almameternya, School of International Liberal Studies (SILS) Waseda University, serta profesor tamu di Venice International University, Italia.
Otak arek Suroboyo itu memang brilian. Dia berhasil menggabungkan empat disiplin ilmu berbeda. Hal tersebut terungkap dari empat gelar doktor yang diperolehnya.Yakni, bidang applied electronic engineering di Tokyo Institute of Technology, medical science dari Tohoku University, dan pharmacy science di Science University of Tokyo. Yang terakhir yakni doktor bidang ilmu pendidikan di almamater sekaligus tempatnya mengajar, Waseda University.
“Saya sungguh menikmati pekerjaan sebagai akademisi,” kata Soetanto di sela kesibukannya menyaksikan MoU Waseda University dan President University.
Di luar status kehormatan akademik tersebut, beliau masuk birokrasi di Negeri Sakura. Pria yang pernah berkawan dengan mantan Presiden RI B.J. Habibie itu tercatat sebagai komite pengawas (supervisor committee) di METI (Ministry of Economy, Trade, and Industry atau semacam Menko Perekonomian di RI).
Selain itu, beliau ikut membidani konsep masa depan Jepang dengan terlibat di Japanese Government 21st Century Vision. “Pada jabatan tersebut, sayaberpartisipasi eksklusif menyusun GBHN (kebijakan makro)-nya Jepang,” ungkap Soetanto yang masih fasih berbahasa Indonesiadan Jawa itu. Buah pemikiran Soetanto terkenal lewat konsep pendidikan “Soetanto Effect” dan 31 paten internasional yang tercatat resmi di pemerintah Jepang.
Inovasi yang dipatenkan itu lebih banyak didominasi berlatar bidang keilmuannya, mulai elektronik engineering, teknologi informasi, inovasi pengobatan kanker, dan teknik imaging serta bidang farmasi.
Mau tahu berapa dana yang diraih Soetanto untuk membiayai riset-risetnya ?
Jumlahnya sangat mencengangkan untuk ukuran akademikus bergelar profesor atau mereka yang pernah menduduki jabatan tertinggi di perguruan tinggi (rektor). Kementerian Pendidikan Jepang mendanai Soetanto hingga USD 15 juta (Rp 144 miliar) per tahun.
Di antara segudang prestasi itu, bisa jadi yang paling membanggakan, khususnya bagi warga Surabaya, yakni latar belakang sekolah dasar dan menengahnya yang ternyata dihabiskan di kota buaya. Soetanto muda mengenyam pendidikan SD swasta di Kapasari, Sekolah Menengah Pertama Baliwerti, dan Sekolah Menengan Atas Budiluhur yang dulu menjadi jujugan sekolah warga keturunan Tionghoa.
Toh, Soetanto mengaku belum puas. Obsesi terpendamnya yakni bagaimana karya akademisnya bisa dinikmati orang lain. “Saya berbahagia bila bisa menyenangkan orang lain,” katanya mengungkap visi hidupnya.
Soetanto sempat memperlihatkan buah pemikirannya di hadapan ratusan mahasiswa President University. Isi ceramah akademisnya menarik perhatian mahasiswa. Bahkan, beberapa jajaran direksi PT Jababeka, termasuk Dirut PT Jababeka Setyono Djuandi Darmono. Maklum, Soetanto membeberkan pengalamannya bisa menaklukkan dunia perguruan tinggi Jepang kendati hingga kini masih berkewarganegaraan Indonesia.
Selebihnya, Soetanto banyak mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang perlu dirombak lagi semoga lulusannya lebih berkualitas. “Sistem pendidikan di sini (Indonesia) sudah tertinggal jauh. Bahkan di bawah Malaysia dan Vietnam,” terperinci Soetanto dengan gaya bicara berapi-api.
Ironisnya, penghargaan terhadap staf pengajar atau guru di Indonesia juga sangat kurang. Soetanto lantas mencontohkan kecilnya honor guru yang memaksa mereka harus bekerja sambilan. “Karena faktor tersebut, jangan heran bila banyak ilmuwan Indonesia mencari penghasilan di luar negeri,” pungkas Soetanto.
(Sumber http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=178012)
Terima Kasih Sudah Mau Membaca.
0 Response to "Profesor Ken Soetanto Arek Suroboyo Peraih Empat Doktor Di Jepang"
Post a Comment
Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)
NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".
Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda