Cerpen Islami Saya Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana
Wednesday, September 19, 2018
Add Comment
Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa alasannya harus rapat dengan direksi untuk menuntaskan beberapa problem keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menuntaskan problem tersebut. Baiklah, saya maklum. Persoalan dikala itu memang tidak mengecewakan pelik.
Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melaksanakan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan sesudah minta maaf, waktu saya menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh saya sudah menandakan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor alasannya harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit dikala saya berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya perihal ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda menyerupai yang sering kubayangkan dikala sebelum saya menikah.
Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata anggun setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms dikala ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bab dari cinta.
Aku tahu, jikalau saya mengasihi Aa’, saya harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah saya sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya saya kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada simpulan ahad yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah saya manyun sendiri hampir setiap hari ahad dan cuma sanggup memandangnya mendengkur dengan anggun di daerah tidur.
Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, relasi kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di daerah kiprah kami masing-masing menciptakan kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan gampang tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar ahad ini.
Sebenarnya, hari ini saya sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melaksanakan banyak sekali hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada simpulan pekan menyerupai ini. Mungkin, alasannya kami belum memiliki anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada simpulan pekan menyerupai ini.
”Hen, kau yakin mau mendapatkan lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak menyerupai suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe pria serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama ia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja dikala itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk mendapatkan lamaranku lewat Diah.
”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya jikalau saya jadi abang iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang menyerupai ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, saya telah bertekad untuk mendapatkan lamaran Aa’. Aku yakin kami sanggup saling menyesuaikan diri. Toh ia pria yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.
Minggu-minggu pertama sesudah perkawinan kami tidak banyak problem berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan saya senang. Tetapi, semua berakhir dikala masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, saya yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.
Begitulah… saya berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian gres kuterima jawabannya. Maaf, saya sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah tentangan yang merebut perhatian suamiku.
Aku eksklusif masuk ke bekas kamarku yang kini ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku gres saja akan memejamkan mataku dikala kurang jelas kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangun dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada problem dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah sanggup dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, kesannya saya bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kau menjadi terganggu dengan perilaku suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah garang sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami menyerupai dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, ia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, ia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bab dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati saya membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebetulnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni seruan Anita yang tidak juga bosan menarik hati dan mengajaknya kencan. Padahal jikalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool menyerupai itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
”Hen, jikalau kau merasa uring-uringan menyerupai itu, sebetulnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kau kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah gres dua ahad yang kemudian saya membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres alasannya suaminya berselingkuh dengan perempuan lain dan sangat garang kepadanya? Bukankah saya yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bab tubuhnya alasannya dipukuli suaminya?
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang saya ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa saya tidak mengatakannya jauh-jauh hari supaya ia sanggup mengatur jadualnya? Bukankah saya sanggup mengingatkannya dengan anggun bahwa saya ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa saya tidak mencoba menyampaikan kepadanya, bahwa saya ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa saya merasa tersisih alasannya kesibukannya? Bahwa saya sebetulnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin menciptakan kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, saya hanya mendapatkan smsnya. Maaf saya terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi saya tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, saya tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak suplemen mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melaksanakan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan sesudah minta maaf, waktu saya menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh saya sudah menandakan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor alasannya harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit dikala saya berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya perihal ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda menyerupai yang sering kubayangkan dikala sebelum saya menikah.
Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata anggun setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms dikala ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bab dari cinta.
Aku tahu, jikalau saya mengasihi Aa’, saya harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah saya sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya saya kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada simpulan ahad yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah saya manyun sendiri hampir setiap hari ahad dan cuma sanggup memandangnya mendengkur dengan anggun di daerah tidur.
Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, relasi kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di daerah kiprah kami masing-masing menciptakan kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan gampang tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar ahad ini.
Sebenarnya, hari ini saya sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melaksanakan banyak sekali hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada simpulan pekan menyerupai ini. Mungkin, alasannya kami belum memiliki anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada simpulan pekan menyerupai ini.
”Hen, kau yakin mau mendapatkan lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak menyerupai suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe pria serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama ia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja dikala itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk mendapatkan lamaranku lewat Diah.
”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya jikalau saya jadi abang iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang menyerupai ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, saya telah bertekad untuk mendapatkan lamaran Aa’. Aku yakin kami sanggup saling menyesuaikan diri. Toh ia pria yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.
Minggu-minggu pertama sesudah perkawinan kami tidak banyak problem berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan saya senang. Tetapi, semua berakhir dikala masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, saya yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.
Begitulah… saya berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian gres kuterima jawabannya. Maaf, saya sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah tentangan yang merebut perhatian suamiku.
Aku eksklusif masuk ke bekas kamarku yang kini ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku gres saja akan memejamkan mataku dikala kurang jelas kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangun dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada problem dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah sanggup dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, kesannya saya bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kau menjadi terganggu dengan perilaku suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah garang sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami menyerupai dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, ia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, ia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bab dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati saya membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebetulnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni seruan Anita yang tidak juga bosan menarik hati dan mengajaknya kencan. Padahal jikalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool menyerupai itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
”Hen, jikalau kau merasa uring-uringan menyerupai itu, sebetulnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kau kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah gres dua ahad yang kemudian saya membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres alasannya suaminya berselingkuh dengan perempuan lain dan sangat garang kepadanya? Bukankah saya yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bab tubuhnya alasannya dipukuli suaminya?
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang saya ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa saya tidak mengatakannya jauh-jauh hari supaya ia sanggup mengatur jadualnya? Bukankah saya sanggup mengingatkannya dengan anggun bahwa saya ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa saya tidak mencoba menyampaikan kepadanya, bahwa saya ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa saya merasa tersisih alasannya kesibukannya? Bahwa saya sebetulnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin menciptakan kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, saya hanya mendapatkan smsnya. Maaf saya terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi saya tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, saya tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak suplemen mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.
0 Response to "Cerpen Islami Saya Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana"
Post a Comment
Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)
NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".
Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda