Lelaki Yang Takut Jatuh Cinta
Wednesday, September 19, 2018
Add Comment
Belum menikah?" tanya saya pada pria di hadapan saya yang rautnya telah bertambah tua.
Yat, sobat saya ini, mungkin tak sempurna untuk saya sebut sebagai sobat alasannya usia kami yang terpaut begitu jauh. Garis-garis dewasa-untuk saya menghindari kata tua-begitu kasatmata saya tangkap dari wajahnya. Kerutan ada di sekitar mata dan pipinya.
la menggeleng. Ini sudah tanggapan paling baik yang saya dapatkan. Biasanya, kalau menghadapi
pertanyaan semacam itu, hanya senyum kecut yang ia berikan dan buru-buru mengajak beranjak pada pembicaraan lain.
Tentu anakmu sudah besar, ya, Wie!" gumamnya seraya menyelai jemari tangan. Mungkin ia
menyembunyikan resah.
"°Ya, yang pertama masuk SD tahun ini. Kalau yang kecil, kini sudah empat tahun."
"Bahagia?"
Saya pikir, saya tak perlu menjawab pertanyaannya itu alasannya definisi senang tiap-tiap orang
mungkin berbeda. Lagi pula, apakah menjawab ya atau tidak itu sesungguhnya yang menjadi
pertanyaannya?
Saya hanya menangkap galau itu. Resah yang bisa dibaca nyaris di setiap geraknya, pandangannya yang tidak fokus dan sering berpindah-pindah sebagaimana juga pembicaraannya yang selalu
berpindah dari satu topik ke topik yang lain, mengalir begitu deras.
"Tiga tahun lagi usiaku empat puluh. Sudah tua, ya
Saya segera menghitung umur saya sendiri. Oktober tahun lalu, seperempat kala telah terlampaui, dan saya pun telah merasa napas 'tua' merasuki raga saya. Lantas, apakah saya akan membantah kalimatnya bahwa perbedaan dua belas tahun itu tak cukup menyebutnya tua?
"Manusia boleh bau tanah usia, Mas," hibur saya. "Yang penting, kan, semangatnya. Saya ingin tetap
muda kendati saya sendiri kini sudah mulai tua."
"Apa saya cukup pantas diaebut bersemangat muda?" "Kenapa tidak?"
"Hm, entahlah, Wie mungkin takdirku sendiri begini.°"Maksudnya?'°
"Sebenarnya saya ingin menikah, tapi saya selalu takut jatuh cinta."
Lantas, tanpa menunggu reaksi saya atas kalimat yang 'mengejutkan' itu, ia telah berlalu dari
hadapan saya. la berjalan, menunduk. Dukanya mengais-ngais jalan.
memang terkadang menakutkan. Sungguh masuk akal baginya untuk menyampaikan ia takut jatuh cinta. Yat-begitu biasa beliau dipanggil kendati itu bukan penggalan dari salah satu suku kata pembentuk namanya-memiliki pengalaman yang 'menyakitkan' dalam cinta.
Seperti remaja kebanyakan, ketika usia SMA, ia pernah jatuh cinta pada seorang wanita, rekan sekelasnya. Cinta monyet, kata orang. Namun untuk ukuran remaja, korelasi percintaan mereka terbilang awet. Cinta pertama yang begitu romantis, saling berkirim surat-kendati berbicara eksklusif bahwasanya lebih simpel dan tanpa Maya lantaran keduanya yang berada dalam satu kelas selama tiga tahun sebagaimana romansa khas remaja.
Namun, di semester terakhir sekolahnya, si perempuan menderita sakit parah dan berakhir pada
kematian, sempurna pada ketika teman-temannya yang lain menempuh ujian SMA. Irulah yang menciptakan Yat kacau-balau menuntaskan lembar lembar tes dan menciptakan ia tak bisa diterima di perguruan tinggi tinggi mana pun.
Cukup usang Yat dicekam kesedihan oleh kepergian sobat bersahabat tersebut. Diausuh ia yang tak juga
mendapat pekerjaan selulus sekolah menciptakan kondisinya semakin memprihatinkan. Untunglah,
pada alhasil ia menemukan semangat hidup itu dan kembali bisa berdiri untuk memperjuangkan hidupnya. Meski tertatih-tatih, ia bisa keluar dari bulat murung itu dan memulai kembali sejarahnya.
Kali ini, tentu saja tidaak ada yang bisa ia harapkan untuk kuliah. Bukan lantaran biaya, sebab
keluarganya cukup bisa menopang kuliah, asalkan tidak dalam skala kelas atas. Nilalinya-seperti saya sebutkan-jeblok di penghujung sekolahnya. Oleh lantaran itu ia menentukan untuk terjun eksklusif dalam bursa kerja. Berbekal ijazah SMA, ia melamar dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.
Saat telah bekerja, ia menjalin korelasi bersahabat dengan seorang gadis, rekan sekerja. Gadis yang baik, sopan, lagi bagus rupawan. Orang tuanya telah merasa cocok ketika Yat menyatakan ingin menikahi gadis tersebut. Namun apa lancar, belum lagi hingga berlangsung proses lamaran, si gadis
menderita sakit parah dan kembali berujung pada kematian.
Yat terguncang. Ini pukulan kedua yang nyaris membuatnya hilang. Semangatnya timbul tenggelam. Bergelung dalam kesedlihan itu, tubuhnya yang sempat gemuk itu kembali mengurus. Orang tuanya tak kalah sedih, bukan saja kehilangan calon menantu yang sesungguhnya telah mereka cintai pula, juga oleh ketidakstabilan Yat atas deraan penderitaan itu.
Hari-hari Yat yakni : murung yang murung. Semangat kerjanya hilang, demilkian juga semangat
hidup. Ini mengakibatkan ia dikeluarkan dari pekerjaan, sesuatu yang hingga kini tak pernah disesalinya lantaran ia tak pernah merasa kehilangan. Jilka ada hal besar yang hilang, kehilangan hal kecil menjadi tidak terasa. Itu yang ia rasakan ketika dipecat dan membuatnya luntang-lantung, menjadi preman kampung yang kerjanya nongkrong dari waktu ke waktu di perempatan jalan. Kali ini, cukup usang ia menemukan kembali dirinya yang hilang. Cukup sulit untuknya kembali bangun sehabis tersungkur yang kedua kali.
Melewati usia tiga puluh tahun, ia kembali bekerja. Kali ini, ia menemukan daerah pelarian yang sempurna dalam pekerjaan dan bermetamorfosis sebagai orang yang gila kerja. Segala pekerjaan dilakoninya untuk melupakan kepahitan hidup.
Lantas, entah dari mana asalnya, kembali seorang gadis menyentuh kesunyian hatinya.
Kendati mulai ragu dengan perasaannya sendiri, pada alhasil ia merasa jatuh cinta. Gadis itu telah bisa menciptakan serta kembali hadir di parasnya yang telah baya. Rasa cinta yang tutus berikut perhatian yang tiada habis menciptakan Yat kembali yakin untuk menikah. Sungguh, betapa orang tuanya senang mendapati anaknya telah mempunyai keberanian kembali untuk menyayangi seseorang, bahkan begitu perwira berniat untuk menikah.
Tak menunggu lama, lamaran pun digelar. Hari pemikahan ditentukan. Tak perlu menunggu apa pun alasannya semua telah ada. Sebagai seorang pekerja keras yang selalu lupa waktu jikalau sudah karam dalam pekerjaan, Yat mempunyai segala ikon keduniawian. Bukankah itu kompensasi yang sempurna untuk kegilaannya pada kerja? Ia tak perlu ribut soal biaya pernikahan alasannya uangnya lebih dari cukup untuk menggelar perhelatan akbar paling bergengsi sekalipun.
Wayang kulit telah dipesan. Janur pun telah didekor dengan meriah berikut segala pelengkap khas orang menikah. Pesta pernikahannya akan diawali dengan upacara pernikahan di siang harinya, di
kantor KUA terdekat.
Orang-orang sudah berkumpul di kantor tersebut. Yat dan keluarganya, berikut kerabat satu
rombongan yang ingin menyaksikan insiden bersejarah seorang Yat. Bahagia di wajah masing- masing.
Lantas..waktu beranjak begitu melelahkan dalam penantian. Pengantin putri tak kunjung datang. Ke
mana? Semua kepala saling berganti melongok ke ujung jalan. Jam di tangan pun telah berapa
puluh kali ditengok, berharap jarumnya berhenti semoga waktu jangan segera lewat. Jam berganti dan galau semakin berakar dalam sunyi.
Lantas, informasi itu datang. Petir yang kesekian menyambar hidup Yat berkeping-keping.
"Di rumah sakit!"
Kabar yang pertama.
"Mobil yang membawa rombongan pengantin perempuan mengalami kecelakaan di perempatan kota."
Kabar yang kedua.
Yat sudah mulai menjerit, bergema bergaung-gaung di ruang hatinya. Dalam pakaian pengantin, ia memburu ke rumah sakit. Benar adanya, si calon mempelai perempuan terbaring di sana, bersama nyaris seluruh keluarganya. Semua terluka dalam kecelakaan maut itu. Sementara, mempelai perempuan yang duduk di dingklik depan mobil, sempurna di samping sopir, mengalami luka paling parah. Sopirnya bahkan meninggal.
Kini, si bagus dengan make up terlihat pucat dan dandanan pengantin itu dikalungi begitu banyak selang, infus, dan oksigen derma pernapasan. Napasnya satu-satu.
Tak cukup bilangan waktu itu. Maut menjemput segera. Yat tergugu ketika garis lurus mewarnai
monitor pendeteksi jantung sang pengantin. Serasa napasnya turut terhenti dan dunianya habis.
Gelap. la meraung di ruang gelap matanya, pingsan.
"Belum menikah, Mas?" tanya saya beberapa tahun kemudian dan selalu saya hanya menerima jawaban
serupa, senyum kecut. Lantas, biasanya, disertai sengal dan napas yang berat dihela, ia akan
mengajak beranjak pada perbincangan yang lain.
Tapi kali ini saya telah bertekad untuk tidak mau beranjak begitu lekas. Saya masih mencari
jawabannya. Akhirnva.
"Aku takut jatuh cinta, Wie! Setiap perempuan yang kucintai selalu meninggal dengan cara yang tragis, °` alasannya, dengan pandangan yang segera dibuang ke jurusan lain, selanjutnya memaku ke tanah. Luka yang begitu bernanah. "Itu hanya kebetulan saja, hibur saga, memahami dalamnya murung itu.
"Kebetulan? Tidak cukupkah tiga nyawa menjadi bukti?" "Itu bukan bukti. Nyatanya, tidak ada
manusia yang tidak mempunyai jodoh. Itu komitmen Allah."
"Karna engkau tidak mengalami menyerupai yang kualami."*
Saya tepuk bahunya. "Karena saga bukan orang pilihan, Mas. Engkaulah yang dipilih Allah untuk
sanggup menghadapi cobaan semacam ini.°"
"Kaucoba membesarkan hatiku?"
"Saya tak perlu membesarkannya alasannya sesungguhnya hatimu jauh lebih besar dari yang kauduga. Engkau orang istimewa, Mss, lantaran itu Allah mengujimu dengan yang begini berat."
"Tapi saya tak akan menikah, Wie, seberapa pun kuatnva engkau merayuku."
"Ini tidak merayu, Mas, karna menikah yakni separo dari agamamu."
Beberapa tahun sehabis insiden tragis itu.
Saya tidak tahu dari jalan mana hidayah itu datang. Semua memang rahasia. Preman kampung yang sempat luntang lantung itu kini menjadi preman masjid kawakan. Aura religius begitu tertangkap di parasnya yang telah menua.
"Aku melarikan diri ke sini, Wie! Tuhan begitu menenteramkan. Maka, kendati takdirku hidup
sendiri, saya merasa tidak kesepian alasannya ada Dia yang selalu menemani. Saat sepi, adakah yang lebih indah dari rasa ditemani? Saat berduka, adakah yang lebih nyaman dari rasa berkawan? Sesungguhnya, Dia yakni mitra yang tak pernah pergi, sahabat yang tak pernah berkhianat."
Saya tersenyum, kecut, bahwa dirinya belum juga mempunyai keberanian untuk menikah.
"Orang yang kucintai selalu meninggal sebelum menikah."
"Mereka memang bukan jodohmu, Mas, alasannya Allahh tengah menyiapkan yang lebih baik, yang
lebih pantas untuk orang setegar dirimu."
"Apa itu ada, Wie!"
"Tidak ada insan yang diciptakan tidak mempunyai jodoh, Mas."
"Tapi, bagaimana saya akan menikah, sedangkan saya selalu takut untuk jatuh cinta."
"Mengapa harus takut?"
"Itu pertanyaan konyol. Wie! Engkau tidak mengalami menyerupai yang saya alami."
"Kalau begitu adanya, mengapa tidak menikah saja dengan orang yang tidak kaucintai?"
"Kau ngaco!"
"Menikah tidak harus diawali dengan cinta, bukan?"
Rautnya telah begitu bau tanah ketika duduk di pelaminan. Namun, binar itu, siapa tidak percaya bahwa itu binar yang hanya dimiliki oleh anak muda? Seorang gadis muda duduk menyandingnya di sana. Usia dua mempelai itu terpaut begitu jauh.
Yat, tahun ini menginjak usia tiga puluh delapan tahun, sedangkan ia gadis belum usang beranjak
dari angka dua puluh. Keduanya dipertemukan oleh seorang ustaz, melewati masa taaruf singkat, tanpa.sebelumnya saling mengenal. Jodoh memang ajaib. Akhwat yang menyanding Yat ini yakni seorang penggagas dakwah kampus. Belum lagi selesai kuliahnya, tetapi ia mantap mendampingi hidup seorang Yat.
Apa yang akan saya sebutkan dari kebaikan perempuan ini? Kaya, rupawan, salihah, mahirah. Memang sungguh, akhwat semacam inilah yang sempurna untuk orang setegar dan sehanif Yat. Bukankah Yat tak perlu khawatir perempuan yang dicintainya akan 'meninggai dunia' sebelum menikah Ya. alasannya Yat gres belaiar 'mencintai' perempuan itu sehabis ia menikah.
Yat, sobat saya ini, mungkin tak sempurna untuk saya sebut sebagai sobat alasannya usia kami yang terpaut begitu jauh. Garis-garis dewasa-untuk saya menghindari kata tua-begitu kasatmata saya tangkap dari wajahnya. Kerutan ada di sekitar mata dan pipinya.
la menggeleng. Ini sudah tanggapan paling baik yang saya dapatkan. Biasanya, kalau menghadapi
pertanyaan semacam itu, hanya senyum kecut yang ia berikan dan buru-buru mengajak beranjak pada pembicaraan lain.
Tentu anakmu sudah besar, ya, Wie!" gumamnya seraya menyelai jemari tangan. Mungkin ia
menyembunyikan resah.
"°Ya, yang pertama masuk SD tahun ini. Kalau yang kecil, kini sudah empat tahun."
"Bahagia?"
Saya pikir, saya tak perlu menjawab pertanyaannya itu alasannya definisi senang tiap-tiap orang
mungkin berbeda. Lagi pula, apakah menjawab ya atau tidak itu sesungguhnya yang menjadi
pertanyaannya?
Saya hanya menangkap galau itu. Resah yang bisa dibaca nyaris di setiap geraknya, pandangannya yang tidak fokus dan sering berpindah-pindah sebagaimana juga pembicaraannya yang selalu
berpindah dari satu topik ke topik yang lain, mengalir begitu deras.
"Tiga tahun lagi usiaku empat puluh. Sudah tua, ya
Saya segera menghitung umur saya sendiri. Oktober tahun lalu, seperempat kala telah terlampaui, dan saya pun telah merasa napas 'tua' merasuki raga saya. Lantas, apakah saya akan membantah kalimatnya bahwa perbedaan dua belas tahun itu tak cukup menyebutnya tua?
"Manusia boleh bau tanah usia, Mas," hibur saya. "Yang penting, kan, semangatnya. Saya ingin tetap
muda kendati saya sendiri kini sudah mulai tua."
"Apa saya cukup pantas diaebut bersemangat muda?" "Kenapa tidak?"
"Hm, entahlah, Wie mungkin takdirku sendiri begini.°"Maksudnya?'°
"Sebenarnya saya ingin menikah, tapi saya selalu takut jatuh cinta."
Lantas, tanpa menunggu reaksi saya atas kalimat yang 'mengejutkan' itu, ia telah berlalu dari
hadapan saya. la berjalan, menunduk. Dukanya mengais-ngais jalan.
memang terkadang menakutkan. Sungguh masuk akal baginya untuk menyampaikan ia takut jatuh cinta. Yat-begitu biasa beliau dipanggil kendati itu bukan penggalan dari salah satu suku kata pembentuk namanya-memiliki pengalaman yang 'menyakitkan' dalam cinta.
Seperti remaja kebanyakan, ketika usia SMA, ia pernah jatuh cinta pada seorang wanita, rekan sekelasnya. Cinta monyet, kata orang. Namun untuk ukuran remaja, korelasi percintaan mereka terbilang awet. Cinta pertama yang begitu romantis, saling berkirim surat-kendati berbicara eksklusif bahwasanya lebih simpel dan tanpa Maya lantaran keduanya yang berada dalam satu kelas selama tiga tahun sebagaimana romansa khas remaja.
Namun, di semester terakhir sekolahnya, si perempuan menderita sakit parah dan berakhir pada
kematian, sempurna pada ketika teman-temannya yang lain menempuh ujian SMA. Irulah yang menciptakan Yat kacau-balau menuntaskan lembar lembar tes dan menciptakan ia tak bisa diterima di perguruan tinggi tinggi mana pun.
Cukup usang Yat dicekam kesedihan oleh kepergian sobat bersahabat tersebut. Diausuh ia yang tak juga
mendapat pekerjaan selulus sekolah menciptakan kondisinya semakin memprihatinkan. Untunglah,
pada alhasil ia menemukan semangat hidup itu dan kembali bisa berdiri untuk memperjuangkan hidupnya. Meski tertatih-tatih, ia bisa keluar dari bulat murung itu dan memulai kembali sejarahnya.
Kali ini, tentu saja tidaak ada yang bisa ia harapkan untuk kuliah. Bukan lantaran biaya, sebab
keluarganya cukup bisa menopang kuliah, asalkan tidak dalam skala kelas atas. Nilalinya-seperti saya sebutkan-jeblok di penghujung sekolahnya. Oleh lantaran itu ia menentukan untuk terjun eksklusif dalam bursa kerja. Berbekal ijazah SMA, ia melamar dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.
Saat telah bekerja, ia menjalin korelasi bersahabat dengan seorang gadis, rekan sekerja. Gadis yang baik, sopan, lagi bagus rupawan. Orang tuanya telah merasa cocok ketika Yat menyatakan ingin menikahi gadis tersebut. Namun apa lancar, belum lagi hingga berlangsung proses lamaran, si gadis
menderita sakit parah dan kembali berujung pada kematian.
Yat terguncang. Ini pukulan kedua yang nyaris membuatnya hilang. Semangatnya timbul tenggelam. Bergelung dalam kesedlihan itu, tubuhnya yang sempat gemuk itu kembali mengurus. Orang tuanya tak kalah sedih, bukan saja kehilangan calon menantu yang sesungguhnya telah mereka cintai pula, juga oleh ketidakstabilan Yat atas deraan penderitaan itu.
Hari-hari Yat yakni : murung yang murung. Semangat kerjanya hilang, demilkian juga semangat
hidup. Ini mengakibatkan ia dikeluarkan dari pekerjaan, sesuatu yang hingga kini tak pernah disesalinya lantaran ia tak pernah merasa kehilangan. Jilka ada hal besar yang hilang, kehilangan hal kecil menjadi tidak terasa. Itu yang ia rasakan ketika dipecat dan membuatnya luntang-lantung, menjadi preman kampung yang kerjanya nongkrong dari waktu ke waktu di perempatan jalan. Kali ini, cukup usang ia menemukan kembali dirinya yang hilang. Cukup sulit untuknya kembali bangun sehabis tersungkur yang kedua kali.
Melewati usia tiga puluh tahun, ia kembali bekerja. Kali ini, ia menemukan daerah pelarian yang sempurna dalam pekerjaan dan bermetamorfosis sebagai orang yang gila kerja. Segala pekerjaan dilakoninya untuk melupakan kepahitan hidup.
Lantas, entah dari mana asalnya, kembali seorang gadis menyentuh kesunyian hatinya.
Kendati mulai ragu dengan perasaannya sendiri, pada alhasil ia merasa jatuh cinta. Gadis itu telah bisa menciptakan serta kembali hadir di parasnya yang telah baya. Rasa cinta yang tutus berikut perhatian yang tiada habis menciptakan Yat kembali yakin untuk menikah. Sungguh, betapa orang tuanya senang mendapati anaknya telah mempunyai keberanian kembali untuk menyayangi seseorang, bahkan begitu perwira berniat untuk menikah.
Tak menunggu lama, lamaran pun digelar. Hari pemikahan ditentukan. Tak perlu menunggu apa pun alasannya semua telah ada. Sebagai seorang pekerja keras yang selalu lupa waktu jikalau sudah karam dalam pekerjaan, Yat mempunyai segala ikon keduniawian. Bukankah itu kompensasi yang sempurna untuk kegilaannya pada kerja? Ia tak perlu ribut soal biaya pernikahan alasannya uangnya lebih dari cukup untuk menggelar perhelatan akbar paling bergengsi sekalipun.
Wayang kulit telah dipesan. Janur pun telah didekor dengan meriah berikut segala pelengkap khas orang menikah. Pesta pernikahannya akan diawali dengan upacara pernikahan di siang harinya, di
kantor KUA terdekat.
Orang-orang sudah berkumpul di kantor tersebut. Yat dan keluarganya, berikut kerabat satu
rombongan yang ingin menyaksikan insiden bersejarah seorang Yat. Bahagia di wajah masing- masing.
Lantas..waktu beranjak begitu melelahkan dalam penantian. Pengantin putri tak kunjung datang. Ke
mana? Semua kepala saling berganti melongok ke ujung jalan. Jam di tangan pun telah berapa
puluh kali ditengok, berharap jarumnya berhenti semoga waktu jangan segera lewat. Jam berganti dan galau semakin berakar dalam sunyi.
Lantas, informasi itu datang. Petir yang kesekian menyambar hidup Yat berkeping-keping.
"Di rumah sakit!"
Kabar yang pertama.
"Mobil yang membawa rombongan pengantin perempuan mengalami kecelakaan di perempatan kota."
Kabar yang kedua.
Yat sudah mulai menjerit, bergema bergaung-gaung di ruang hatinya. Dalam pakaian pengantin, ia memburu ke rumah sakit. Benar adanya, si calon mempelai perempuan terbaring di sana, bersama nyaris seluruh keluarganya. Semua terluka dalam kecelakaan maut itu. Sementara, mempelai perempuan yang duduk di dingklik depan mobil, sempurna di samping sopir, mengalami luka paling parah. Sopirnya bahkan meninggal.
Kini, si bagus dengan make up terlihat pucat dan dandanan pengantin itu dikalungi begitu banyak selang, infus, dan oksigen derma pernapasan. Napasnya satu-satu.
Tak cukup bilangan waktu itu. Maut menjemput segera. Yat tergugu ketika garis lurus mewarnai
monitor pendeteksi jantung sang pengantin. Serasa napasnya turut terhenti dan dunianya habis.
Gelap. la meraung di ruang gelap matanya, pingsan.
"Belum menikah, Mas?" tanya saya beberapa tahun kemudian dan selalu saya hanya menerima jawaban
serupa, senyum kecut. Lantas, biasanya, disertai sengal dan napas yang berat dihela, ia akan
mengajak beranjak pada perbincangan yang lain.
Tapi kali ini saya telah bertekad untuk tidak mau beranjak begitu lekas. Saya masih mencari
jawabannya. Akhirnva.
"Aku takut jatuh cinta, Wie! Setiap perempuan yang kucintai selalu meninggal dengan cara yang tragis, °` alasannya, dengan pandangan yang segera dibuang ke jurusan lain, selanjutnya memaku ke tanah. Luka yang begitu bernanah. "Itu hanya kebetulan saja, hibur saga, memahami dalamnya murung itu.
"Kebetulan? Tidak cukupkah tiga nyawa menjadi bukti?" "Itu bukan bukti. Nyatanya, tidak ada
manusia yang tidak mempunyai jodoh. Itu komitmen Allah."
"Karna engkau tidak mengalami menyerupai yang kualami."*
Saya tepuk bahunya. "Karena saga bukan orang pilihan, Mas. Engkaulah yang dipilih Allah untuk
sanggup menghadapi cobaan semacam ini.°"
"Kaucoba membesarkan hatiku?"
"Saya tak perlu membesarkannya alasannya sesungguhnya hatimu jauh lebih besar dari yang kauduga. Engkau orang istimewa, Mss, lantaran itu Allah mengujimu dengan yang begini berat."
"Tapi saya tak akan menikah, Wie, seberapa pun kuatnva engkau merayuku."
"Ini tidak merayu, Mas, karna menikah yakni separo dari agamamu."
Beberapa tahun sehabis insiden tragis itu.
Saya tidak tahu dari jalan mana hidayah itu datang. Semua memang rahasia. Preman kampung yang sempat luntang lantung itu kini menjadi preman masjid kawakan. Aura religius begitu tertangkap di parasnya yang telah menua.
"Aku melarikan diri ke sini, Wie! Tuhan begitu menenteramkan. Maka, kendati takdirku hidup
sendiri, saya merasa tidak kesepian alasannya ada Dia yang selalu menemani. Saat sepi, adakah yang lebih indah dari rasa ditemani? Saat berduka, adakah yang lebih nyaman dari rasa berkawan? Sesungguhnya, Dia yakni mitra yang tak pernah pergi, sahabat yang tak pernah berkhianat."
Saya tersenyum, kecut, bahwa dirinya belum juga mempunyai keberanian untuk menikah.
"Orang yang kucintai selalu meninggal sebelum menikah."
"Mereka memang bukan jodohmu, Mas, alasannya Allahh tengah menyiapkan yang lebih baik, yang
lebih pantas untuk orang setegar dirimu."
"Apa itu ada, Wie!"
"Tidak ada insan yang diciptakan tidak mempunyai jodoh, Mas."
"Tapi, bagaimana saya akan menikah, sedangkan saya selalu takut untuk jatuh cinta."
"Mengapa harus takut?"
"Itu pertanyaan konyol. Wie! Engkau tidak mengalami menyerupai yang saya alami."
"Kalau begitu adanya, mengapa tidak menikah saja dengan orang yang tidak kaucintai?"
"Kau ngaco!"
"Menikah tidak harus diawali dengan cinta, bukan?"
Rautnya telah begitu bau tanah ketika duduk di pelaminan. Namun, binar itu, siapa tidak percaya bahwa itu binar yang hanya dimiliki oleh anak muda? Seorang gadis muda duduk menyandingnya di sana. Usia dua mempelai itu terpaut begitu jauh.
Yat, tahun ini menginjak usia tiga puluh delapan tahun, sedangkan ia gadis belum usang beranjak
dari angka dua puluh. Keduanya dipertemukan oleh seorang ustaz, melewati masa taaruf singkat, tanpa.sebelumnya saling mengenal. Jodoh memang ajaib. Akhwat yang menyanding Yat ini yakni seorang penggagas dakwah kampus. Belum lagi selesai kuliahnya, tetapi ia mantap mendampingi hidup seorang Yat.
Apa yang akan saya sebutkan dari kebaikan perempuan ini? Kaya, rupawan, salihah, mahirah. Memang sungguh, akhwat semacam inilah yang sempurna untuk orang setegar dan sehanif Yat. Bukankah Yat tak perlu khawatir perempuan yang dicintainya akan 'meninggai dunia' sebelum menikah Ya. alasannya Yat gres belaiar 'mencintai' perempuan itu sehabis ia menikah.
0 Response to "Lelaki Yang Takut Jatuh Cinta"
Post a Comment
Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)
NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".
Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda