Gerakan Homoseksual Dari Iain Semarang
Monday, June 11, 2018
Add Comment
بسم الله الرØمن الرØيم
Buku ini secara terang-terangan mendukung, dan mengajak masyarakat untuk mengakui dan mendukung legalisisasi perkawinan homoseksual. Bahkan, dalam buku ini ditulis taktik gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia, yaitu (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual ialah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melaksanakan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” (hal. 15)
Kita tidak tahu, apakah para penulis yang merupakan mahasiswa-mahasiswa fakultas Syariah IAIN Semarang itu merupakan kaum homo atau tidak. Tetapi, umat Islam tentu saja dibentuk terbelalak dan terperangah dengan banyak sekali goresan pena yang ada di buku ini. Betapa tidak, belum dewasa ini dengan beraninya melaksanakan ijtihad dan merumuskan aturan gres dalam Islam, bahwa acara homoseks dan lesbian ialah normal dan halal, sehingga perlu disahkan dalam satu bentuk perkawinan.
Masalah perkawinan memang senantiasa menjadi target liberalisasi agama. Ketika hukum-hukum yang sudah niscaya – menyerupai haramnya muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim – dirombak oleh sejumlah dosen IAIN/UIN, menyerupai Zainun Kamal dan Musdah Mulia – maka kecerdikan yang sama sanggup dipakai untuk merombak hukum-hukum lain di bidang perkawinan, dengan alasan santunan Hak Asasi Manusia kaum homoseks. Bahkan, mereka berani membuat tafsir gres atas ayat-ayat Al-Quran, dengan membuat tuduhan-tuduhan keji terhadap Nabi Luth.
Seorang penulis dalam buku ini, misalnya, menyatakan, bahwa pengharaman nikah homogen ialah bentuk kebodohan umat Islam generasi kini sebab ia hanya memahami kepercayaan agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas kepercayaan tersebut. Si penulis kemudian mengaku bersikap kritis dan curiga terhadap motif Nabi Luth dalam mengharamkan homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran surat al-A’raf :80-84 dan Hud :77-82). Semua itu, katanya, tidak lepas dari faktor kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki, yang kebetulan homoseks.
Ditulis dalam buku ini sebagai berikut:
‘’Karena impian untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal. Istri Luth sanggup memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami dan dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth menilai jelek terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh yang saya tahu, al-Quran tidak memberi tanggapan yang jelas. Tetapi kebencian Luth terhadap kaum homo disamping sebab faktor kecewa sebab tidak berhasil menikahkan kedua putrinya juga sebab anggapan Luth yang salah terhadap kaum homo.” (hal. 39)
Sejak kecil, belum dewasa kita sudah diajarkan untuk menghafal dan memahami rukun iman. Salah satunya, ialah beriman kepada Nabi dan Rasul, termasuk sifat-sifat wajib yang dimiliki oleh para Nabi. Yaitu, bahwa para Nabi itu merupakan orang yang jujur, amanah, cerdas, dan memberikan risalah kenabian. Mereka juga berifat ma’shum, terjaga dari kesalahan. Tetapi, dengan metode pemahaman historis-kritis ala hermeneutika modern, semua itu sanggup dibalik. Kisah Nabi Luth, misalnya, dianalisis secara asal-asalan oleh anak IAIN ini. Dan hasilnya, Nabi Luth digambarkan sebagai sosok yang emosional dan tolol.
Dikatakannya dalam buku ini:
“Luth yang mengecam orientasi seksual sesama jenis mengajak orang-orang di kampungnya untuk tidak menyayangi sesama jenis. Tetapi permintaan Luth ini tak digubris mereka. Berangkat dari kekecewaan inilah kemudian kisah petaka itu direkayasa. Istri Luth, menyerupai kisah Al-Quran, ikut jadi korban. Dalam Al-Quran maupun Injil, homoseksual dianggap sebagai faktor utama penyebab dihancurkannya kaum Luth, tapi ini perlu dikritisi… saya menilai petaka tersebut ya petaka biasa sebagaimana gempa yang terjadi di beberapa wilayah sekarang. Namun sebab contoh pikir masyarakat dulu sangat tradisional dan mistis lantas petaka tadi dihubung-hubungkan dengan kaum Luth…. ini tidak rasional dan terkesan mengada-ada. Masa’, hanya faktor ada orang yang homo, kemudian terjadi peristiwa alam. Sementara kita lihat sekarang, di Belanda dan Belgia misalnya, banyak orang homo nikah formal… tapi kok tidak ada peristiwa apa-apa.” (hal. 41-42).
Tentu saja, penafsiran anak IAIN ini sangat liar, sebab ia tidak memakai metodologi tafsir yang benar. Disamping ayat-ayat Al-Quran, seharusnya, ia juga menyimak banyak sekali hadits Nabi Muhammad saw perihal homoseksual ini. Begitu juga para sobat dan para ulama Islam terkemuka. Tapi, sanggup jadi, si anak ini sudah terlalu kurang didik dan tidak lagi memiliki etika dalam mengakui kesalehan dan kecerdasan para Nabi, termasuk para sobat Nabi. Pada catatan yang lalu, kita sudah memahami, bagaimana mereka mencaci-maki sobat Nabi seenak perutnya sendiri.
Dengan sedikit bekal ilmu syariah yang dimilikinya, si penulis berani ‘berijtihad’ membuat aturan gres dalam Islam, dengan terang-terangan menghalalkan perkawinan homoseksual. Menurutnya, sebab tidak ada larangan perkawinan homoseksual dalam Al-Quran, maka berarti perkawinan itu dibolehkan. Katanya, ia berpedoman pada kaedah fiqhiyyah, “’adamul hukmi huwa al-hukm” (tidak adanya aturan memperlihatkan aturan itu sendiri).
Logika anak IAIN ini terang sangat tidak beralasan dan berantakan. Di dalam Al-Quran juga tidak ada larangan kawin dengan anjing, babi, atau monyet. Dengan kecerdikan yang sama, berarti belum dewasa Fakultas Syariah IAIN Semarang itu juga dibolehkan menikah dengan anjing, babi, atau monyet. Kita tunggu saja, mungkin sebentar lagi, mereka akan meluncurkan buku “Indahnya Menikah dengan Monyet”. Bukankah kera juga memiliki Hak Asasi untuk menikah dengan mahasiswa Syariah IAIN Semarang itu?
Tentang Kisah Luth sendiri, Al-Quran sudah memperlihatkan citra terang bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini.
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, bersama-sama mereka ialah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan ia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; ia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).
Para mufassir Al-Quran selama ratusan tahun tidak ada yang beropini menyerupai belum dewasa ‘kemarin sore’ yang berlagak menjadi mujtahid besar di periode ini, meskipun gres mengecap dingklik kuliah S-1 di Fakultas Syariah IAIN Semarang itu. Orang yang memahami bahasa Arab pun tidak akan keliru dalam menafsirkan ayat tersebut. Bahwa memang kaum Nabi Luth ialah kaum yang berdosa sebab mempraktikkan sikap homoseksual. Hukuman yang diberikan kepada mereka, pun dijelaskan, sebagai bentuk siksaan Allah, bukan sebagai petaka biasa. Tidak ada sama sekali klarifikasi bahwa Nabi Luth dendam pada kaumnya sebab tidak mau mengawini kedua putrinya. Tafsir homo ala anak IAIN Semarang yang menghina Nabi Luth itu benar-benar sebuah fantasi intelektual untuk memaksakan pehamamannya yang pro-homoseksual.
Dalam Islam maupun Kristen, hingga kini, praktik homoseksual tetap dipandang sebagai tindakan bejat. Nabi Muhammad saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan laki-laki pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari watu hingga mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah. Dalam Pidatonya pada malam Tahun Baru 2006, Paus Benediktus XVI juga menegaskan kembali perihal terkutuknya sikap homoseksual.
Gerakan pengukuhan homoseksual yang dilakukan para mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang – dan mendapatkan pengukuhan dari Institusinya – merupakan fenomena gres dalam gerakan pengukuhan homoseksual di Indonesia. Di dunia Islam pun, gerakan semacam ini, belum ditemukan. Hal semacam ini merupakan sesuatu yang “unthought”, yang tidak terpikirkan selama ini; bahwa dari lingkungan Fakultas Syariah Perguruan Tinggi Islam justru muncul gerakan untuk melegalkan satu tindakan bejat yang selama ribuan tahun dikutuk oleh agama.
Tentulah, gerakan homoseksual dari lingkungan kampus Islam, merupakan tindakan kemungkaran yang jauh lebih ancaman dari gerakan pengukuhan homoseks yang selama ini sudah gencar dilakukan kaum homoseksual sendiri.
Dalam catatan epilog buku ini dimuat goresan pena berjudul “Homoseksualitas dan Pernikahan Gay: Suara dari IAIN”. Penulisnya, mengaku berjulukan Mumu, mencatat, “Ya, kita tentu menyambut besar hati upaya yang dilakukan oleh Fakultas Syariah IAIN Walisongo tersebut.”
Juga dikatakan: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan homogen sebagai sesuatu yang aneh dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan berpengaruh bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya membuat insan sudah berhasil bahkan kebablasan.”
Membaca buku ini, kita jadi bertanya-tanya, sudah begitu bobrokkah institusi pendidikan tinggi Islam kita? Sampai-sampai sebuah Fakultas Syariah IAIN menjadi sarang gerakan pengukuhan tindakan amoral yang jelas-jelas bejat dan bertentangan dengan aliran agama?
Wallahu a’lam.
terima kasih sudah mau membaca.menyambung dari postingan sebelumnya perihal ahmadiyah (klik disini). yang akhir-akhir ini menguras banyak tenaga dan pemikiran banyak orang dalam penyelesainya. kemudian saya berpikir perihal hal yang berdasarkan saya menyerupai dengan persoalan ahmadiyah yaitu "pergerakan kaum homoseksual". beberapa waktu kemudian ada kejadian dikala suatu Ormas yang mendatangi sebuah kawasan dimana diadakan program yang dihadiri para kaum homoseksual. Ormas itu mengobrak-abrik program itu dan meminta program dibatalkan. tapi para penerima (terdiri para kaum homoseksual) menolaknya dengan alasan mereka punya hak sebagai warga negara. oleh sebab itu saya memposting goresan pena Pak Adian Husaini yang membahas perihal gerakan homoseksual. di kampus yang notabenenya islam. walaupun agak nyeleweng dari pembahasan tapi gak apa-apalah. paling gak menambah wawasan kita, aminnnn.
Written by Adian Husaini
Monday, 13 February 2006
Saat ini, liberalisasi nilai-nilai dan aliran Islam di Indonesia benar-benar sudah hingga pada taraf yang sangat absurd dan menjijikkan. Orang-orang yang bergelut dalam bidang studi Islam tidak segan-segan lagi menghancurkan aliran agama yang sudah terang dan qath’iy. Sementara, institusi pendidikan tinggi Islam menyerupai tidak berdaya, membiarkan semua kemungkaran itu terjadi di lingkungannya. Pekan lalu, saya mendapatkan kiriman buku dari Semarang berjudul "Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, "(Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005). Buku ini ialah kumpulan artikel di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004.Monday, 13 February 2006
Buku ini secara terang-terangan mendukung, dan mengajak masyarakat untuk mengakui dan mendukung legalisisasi perkawinan homoseksual. Bahkan, dalam buku ini ditulis taktik gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia, yaitu (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual ialah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melaksanakan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” (hal. 15)
Kita tidak tahu, apakah para penulis yang merupakan mahasiswa-mahasiswa fakultas Syariah IAIN Semarang itu merupakan kaum homo atau tidak. Tetapi, umat Islam tentu saja dibentuk terbelalak dan terperangah dengan banyak sekali goresan pena yang ada di buku ini. Betapa tidak, belum dewasa ini dengan beraninya melaksanakan ijtihad dan merumuskan aturan gres dalam Islam, bahwa acara homoseks dan lesbian ialah normal dan halal, sehingga perlu disahkan dalam satu bentuk perkawinan.
Masalah perkawinan memang senantiasa menjadi target liberalisasi agama. Ketika hukum-hukum yang sudah niscaya – menyerupai haramnya muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim – dirombak oleh sejumlah dosen IAIN/UIN, menyerupai Zainun Kamal dan Musdah Mulia – maka kecerdikan yang sama sanggup dipakai untuk merombak hukum-hukum lain di bidang perkawinan, dengan alasan santunan Hak Asasi Manusia kaum homoseks. Bahkan, mereka berani membuat tafsir gres atas ayat-ayat Al-Quran, dengan membuat tuduhan-tuduhan keji terhadap Nabi Luth.
Seorang penulis dalam buku ini, misalnya, menyatakan, bahwa pengharaman nikah homogen ialah bentuk kebodohan umat Islam generasi kini sebab ia hanya memahami kepercayaan agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas kepercayaan tersebut. Si penulis kemudian mengaku bersikap kritis dan curiga terhadap motif Nabi Luth dalam mengharamkan homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran surat al-A’raf :80-84 dan Hud :77-82). Semua itu, katanya, tidak lepas dari faktor kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki, yang kebetulan homoseks.
Ditulis dalam buku ini sebagai berikut:
‘’Karena impian untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal. Istri Luth sanggup memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami dan dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth menilai jelek terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh yang saya tahu, al-Quran tidak memberi tanggapan yang jelas. Tetapi kebencian Luth terhadap kaum homo disamping sebab faktor kecewa sebab tidak berhasil menikahkan kedua putrinya juga sebab anggapan Luth yang salah terhadap kaum homo.” (hal. 39)
Sejak kecil, belum dewasa kita sudah diajarkan untuk menghafal dan memahami rukun iman. Salah satunya, ialah beriman kepada Nabi dan Rasul, termasuk sifat-sifat wajib yang dimiliki oleh para Nabi. Yaitu, bahwa para Nabi itu merupakan orang yang jujur, amanah, cerdas, dan memberikan risalah kenabian. Mereka juga berifat ma’shum, terjaga dari kesalahan. Tetapi, dengan metode pemahaman historis-kritis ala hermeneutika modern, semua itu sanggup dibalik. Kisah Nabi Luth, misalnya, dianalisis secara asal-asalan oleh anak IAIN ini. Dan hasilnya, Nabi Luth digambarkan sebagai sosok yang emosional dan tolol.
Dikatakannya dalam buku ini:
“Luth yang mengecam orientasi seksual sesama jenis mengajak orang-orang di kampungnya untuk tidak menyayangi sesama jenis. Tetapi permintaan Luth ini tak digubris mereka. Berangkat dari kekecewaan inilah kemudian kisah petaka itu direkayasa. Istri Luth, menyerupai kisah Al-Quran, ikut jadi korban. Dalam Al-Quran maupun Injil, homoseksual dianggap sebagai faktor utama penyebab dihancurkannya kaum Luth, tapi ini perlu dikritisi… saya menilai petaka tersebut ya petaka biasa sebagaimana gempa yang terjadi di beberapa wilayah sekarang. Namun sebab contoh pikir masyarakat dulu sangat tradisional dan mistis lantas petaka tadi dihubung-hubungkan dengan kaum Luth…. ini tidak rasional dan terkesan mengada-ada. Masa’, hanya faktor ada orang yang homo, kemudian terjadi peristiwa alam. Sementara kita lihat sekarang, di Belanda dan Belgia misalnya, banyak orang homo nikah formal… tapi kok tidak ada peristiwa apa-apa.” (hal. 41-42).
Tentu saja, penafsiran anak IAIN ini sangat liar, sebab ia tidak memakai metodologi tafsir yang benar. Disamping ayat-ayat Al-Quran, seharusnya, ia juga menyimak banyak sekali hadits Nabi Muhammad saw perihal homoseksual ini. Begitu juga para sobat dan para ulama Islam terkemuka. Tapi, sanggup jadi, si anak ini sudah terlalu kurang didik dan tidak lagi memiliki etika dalam mengakui kesalehan dan kecerdasan para Nabi, termasuk para sobat Nabi. Pada catatan yang lalu, kita sudah memahami, bagaimana mereka mencaci-maki sobat Nabi seenak perutnya sendiri.
Dengan sedikit bekal ilmu syariah yang dimilikinya, si penulis berani ‘berijtihad’ membuat aturan gres dalam Islam, dengan terang-terangan menghalalkan perkawinan homoseksual. Menurutnya, sebab tidak ada larangan perkawinan homoseksual dalam Al-Quran, maka berarti perkawinan itu dibolehkan. Katanya, ia berpedoman pada kaedah fiqhiyyah, “’adamul hukmi huwa al-hukm” (tidak adanya aturan memperlihatkan aturan itu sendiri).
Logika anak IAIN ini terang sangat tidak beralasan dan berantakan. Di dalam Al-Quran juga tidak ada larangan kawin dengan anjing, babi, atau monyet. Dengan kecerdikan yang sama, berarti belum dewasa Fakultas Syariah IAIN Semarang itu juga dibolehkan menikah dengan anjing, babi, atau monyet. Kita tunggu saja, mungkin sebentar lagi, mereka akan meluncurkan buku “Indahnya Menikah dengan Monyet”. Bukankah kera juga memiliki Hak Asasi untuk menikah dengan mahasiswa Syariah IAIN Semarang itu?
Tentang Kisah Luth sendiri, Al-Quran sudah memperlihatkan citra terang bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini.
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, bersama-sama mereka ialah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan ia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; ia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).
Para mufassir Al-Quran selama ratusan tahun tidak ada yang beropini menyerupai belum dewasa ‘kemarin sore’ yang berlagak menjadi mujtahid besar di periode ini, meskipun gres mengecap dingklik kuliah S-1 di Fakultas Syariah IAIN Semarang itu. Orang yang memahami bahasa Arab pun tidak akan keliru dalam menafsirkan ayat tersebut. Bahwa memang kaum Nabi Luth ialah kaum yang berdosa sebab mempraktikkan sikap homoseksual. Hukuman yang diberikan kepada mereka, pun dijelaskan, sebagai bentuk siksaan Allah, bukan sebagai petaka biasa. Tidak ada sama sekali klarifikasi bahwa Nabi Luth dendam pada kaumnya sebab tidak mau mengawini kedua putrinya. Tafsir homo ala anak IAIN Semarang yang menghina Nabi Luth itu benar-benar sebuah fantasi intelektual untuk memaksakan pehamamannya yang pro-homoseksual.
Dalam Islam maupun Kristen, hingga kini, praktik homoseksual tetap dipandang sebagai tindakan bejat. Nabi Muhammad saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan laki-laki pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari watu hingga mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah. Dalam Pidatonya pada malam Tahun Baru 2006, Paus Benediktus XVI juga menegaskan kembali perihal terkutuknya sikap homoseksual.
Gerakan pengukuhan homoseksual yang dilakukan para mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang – dan mendapatkan pengukuhan dari Institusinya – merupakan fenomena gres dalam gerakan pengukuhan homoseksual di Indonesia. Di dunia Islam pun, gerakan semacam ini, belum ditemukan. Hal semacam ini merupakan sesuatu yang “unthought”, yang tidak terpikirkan selama ini; bahwa dari lingkungan Fakultas Syariah Perguruan Tinggi Islam justru muncul gerakan untuk melegalkan satu tindakan bejat yang selama ribuan tahun dikutuk oleh agama.
Tentulah, gerakan homoseksual dari lingkungan kampus Islam, merupakan tindakan kemungkaran yang jauh lebih ancaman dari gerakan pengukuhan homoseks yang selama ini sudah gencar dilakukan kaum homoseksual sendiri.
Dalam catatan epilog buku ini dimuat goresan pena berjudul “Homoseksualitas dan Pernikahan Gay: Suara dari IAIN”. Penulisnya, mengaku berjulukan Mumu, mencatat, “Ya, kita tentu menyambut besar hati upaya yang dilakukan oleh Fakultas Syariah IAIN Walisongo tersebut.”
Juga dikatakan: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan homogen sebagai sesuatu yang aneh dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan berpengaruh bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya membuat insan sudah berhasil bahkan kebablasan.”
Membaca buku ini, kita jadi bertanya-tanya, sudah begitu bobrokkah institusi pendidikan tinggi Islam kita? Sampai-sampai sebuah Fakultas Syariah IAIN menjadi sarang gerakan pengukuhan tindakan amoral yang jelas-jelas bejat dan bertentangan dengan aliran agama?
Wallahu a’lam.
0 Response to "Gerakan Homoseksual Dari Iain Semarang"
Post a Comment
Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)
NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".
Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda