Konsep Dan Dasar-Dasar Al-Wakalah - Tempat Blogging

Konsep Dan Dasar-Dasar Al-Wakalah

بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh: Ust. Darul Azka (majalah misykat)

Definisi Al-Wakalah

Al-Wakalah mempunyai beberapa makna lughawi, di antaranya arti proteksi (al-hifzh), dan penyerahan (al-tafwidh), atau memperlihatkan kuasa. Menurut kalangan Syafi’iyah, arti wakalah berdasarkan syariat yaitu ungkapan penyerahan kuasa dari pemberi kuasa (al-muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) supaya melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (yaqbalu an-niyabah) dan sanggup dilakukan oleh pemberi kuasa (lahu fi’luhu). Dengan ketentuan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada ketika pemberi kuasa masih hidup.



Hukum Dasar Al-Wakalah

Dalam hal ini wakalah ditetapkan boleh dilakukan dan diakui sebagai ikatan kontrak yang disyariatkan. Dari dasar aturan ibahah (diperbolehkan), al-wakalah bisa mempunyai muatan sunnah, makruh, haram atau bahkan wajib, sesuai dengan motif pemberi kuasa, pekerjaan yang dikuasakan atau faktor lain yang melingkupi.

Al-Wakalah merupakan jenis kontrak ja'iz min at-tharafain, yakni bagi kedua pihak berhak membatalkan ikatan kontrak, kapanpun mereka menghendaki. Pemberi kuasa (al-muwakkil) berhak mencabut kuasa dan menghentikan peserta kuasa (al-wakil) dari pekerjaan yang dikuasakan. Begitu pula sebaliknya, bagi peserta kuasa (al-wakil) berhak membatalkan dan mengundurkan diri dari kesanggupannya mendapatkan kuasa.

Dasar Penetapan Al-Wakalah

Al-Wakalah terkonsep dalam syariah berlandaskan beberapa macam dalil, antara lain :
1.Al-Qur’an QS Al-Kahfi (18:19):


وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا

Demikianlah Kami bangunkan mereka supaya mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kau berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. berkata (yang lain lagi): “Tuhan kau lebih mengetahui berapa lamanya kau berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kau untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.


QS An-Nisaa (4:35):

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا


Dan kalau kau khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga pria dan seorang hakam dari keluarga perempuan. kalau kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, pasti Tuhan memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Tuhan Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

2.Al-Sunnah:

Banyak hadis menjadi landasan keabsahan al-wakalah, di antaranya:HR. Ahmad dari Abi Rafi’, mengatakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ حَلَالًا وَبَنَى بِهَا حَلَالًا وَكُنْتُ الرَّسُولَ بَيْنَهُمَا

“Bahwasanya Rasulullah menikahi Maimunah dalam keadaan halal, dan menggaulinya dalam keadaan halal, dan saya yaitu delegasi antara keduanya”.


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : أَرَدْت الْخُرُوجَ إلَى خَيْبَرَ فَأَتَيْت رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْت لَهُ : إنِّي أَرَدْت الْخُرُوجَ إلَى خَيْبَرَ فَقَالَ إذَا أَتَيْت وَكِيلِي فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسْقًا


Dari Jabir ra berkata, saya keluar hendak pergi ke Khaibar, kemudian saya tiba kepada Rasulullah saw., saya katakan kepada Beliau, “Sungguh saya ingin keluar ke Khaibar”. Lalu Beliau bersabda, "Bila engkau tiba pada wakilku di Khaibar, maka ambillah darinya 15 wasaq." (HR. Abu Daud)

Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah mewakilkan kepada orang lain dalam menangani banyak sekali urusan. Membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan pembayarannya, mewakilkan penanganan unta, pendelegasian dakwah, dan lain sebagainya merupakan teladan konkrit diakuinya al-wakalah di masa Nabi.

3.Ijma’:

Ulama menyepakati diperbolehkannya al-wakalah, dan hal ini ditetapkan menjadi aturan dasar fiqh muamalah selama beberapa kurun.

Rukun Dan Syarat Wakalah

Menurut Syafi’iyyah, rukun dan syarat al-wakalah yaitu sebagai berikut:

1.Al-Muwakkil (Pemberi kuasa)

Seorang pemberi kuasa disyaratkan mempunyai hak tasharruf (mempergunakan barang) secara sah atas bidang-bidang yang dikuasakan. Hal ini diubahsuaikan dengan persyaratan dalam bidang-bidang tersebut. Seperti halnya dukungan kuasa untuk membelanjakan harta, maka syarat bagi pemberi kuasa yaitu memenuhi kualifikasi baligh, berakal dan berstatus hebat tasharruf, dan lain sebagainya. Hanya saja ada duduk kasus yang dikecualikan, yakni permasalahan orang buta yang meskipun intinya tidak sah melangsungkan transaksi jual beli sebab keterbatasannya menilai barang dengan penglihatan, namun diperbolehkan mewakilkan orang lain melangsungkan jual beli.

2.Al-Wakil (Penerima kuasa)

a.Sebagaimana pemberi kuasa, peserta kuasa juga disyaratkan mempunyai hak tasharruf secara sah atas bidang-bidang yang dikuasakan. Sehingga anak kecil dan orang absurd tidak sah menjadi wakil. Orang buta juga tidak sah menjadi wakil dalam jual beli dan pekerjaan lain yang disyaratkan bisa melihat. Dikecualikan permasalahan mengirimkan hadiah, memberi ijin masuk rumah, dimana hal ini boleh diwakilkan kepada anak kecil yang sudah mencapai taraf tamyiz dan sanggup dipercaya.

b.Seseorang yang mendapatkan kuasa, disyaratkan harus mu’ayyan (jelas perseorangannya). Sehingga tidak sah mewakilkan pekerjaan pada salah satu dari dua orang tanpa ditunjuk secara terang atau mengatakan, ”Aku wakilkan untuk menjual rumah ini kepada siapa saja yang menginginkan.”

c.Penerima kuasa harus mempunyai sifat adil, apabila kuasa tersebut berasal dari seorang qadhi, atau ketika mendapatkan kuasa dari seorang wali untuk menjualkan harta orang-orang yang ada dalam tanggungannya.

3.Shighat (ucapan perwakilan)

a.Bahasa dari pemberi kuasa (al-muwakkil) harus mewakili kerelaannya menyerahkan kuasa pada al-wakil. Baik berbentuk sharih (jelas) sebagaimana ucapan, ”Aku wakilkan kepadamu penjualan rumahku ini”, maupun kinayah (tersirat dan sanggup ditafsirkan berbeda) ibarat ucapan, ”Aku posisikan dirimu menggantikan saya untuk menjual rumah ini.”
b.Dari pihak peserta kuasa (al-wakil) hanya cukup menerimanya (qabul), meskipun tanpa ada ucapan dan hanya berwujud tindakan.
c.Bahasa penyerahan kuasa tidak dirangkai dengan ikatan syarat tertentu. Seperti ucapan, ”Jika Zaid tiba dari kota, maka engkau menjadi wakilku menjualkan kambing ini”. Berbeda halnya kalau syarat diberlakukan dalam urusan pembelanjaan (tasharruf) pada jenis al-wakalah al-munjazah (wujud penguasaannya sudah ada), ibarat ucapan, ”Aku mewakilkanmu menjual rumah ini, hanya saja tolong kau jual awal bulan Muharram saja”. Shighat al-wakalah juga mendapatkan pembatasan masa kiprah al-wakil, ibarat dalam tempo seminggu atau sebulan.

4.Al-Muwakkal fihi (obyek atau pekerjaan yang dikuasakan).

a.Obyek harus berbentuk pekerjaan yang pada ketika dikuasakan menjadi hak pemberi kuasa (al-muwakkil). Sehingga tidak sah mewakilkan penjualan barang yang tidak dimiliki al-muwakil, atau akan dimilikinya. Kecuali mewakilkan penjualan barang yang akan dimiliki secara taba'i (mengikuti barang yang sudah ada dalam kepemilikan). Seperti, mewakilkan untuk menjual buah yang akan dikeluarkan pohon milik al-muwakkil. Meskipun buah belum ada, namun dinilai sah sebab pohonnya dimiliki oleh al-muwakkil.

b.Pekerjaan yang dikuasakan harus terang spesifikasi dan kriterianya, meskipun hanya dari satu tinjauan. Hukumnya sah mengatakan, ”Aku mewakilkanmu untuk melunasi hutangku”, meskipun al-wakil tidak tahu persis hutang yang mana dan siapa saja yang menghutangi.

c.Obyek harus dari jenis pekerjaan yang mendapatkan untuk dikuasakan pada orang lain. Sehingga ulama berpendapat, tidak sah menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah murni, ibarat shalat dan puasa. Namun boleh menguasakan ibadah yang kemampuan tubuh menjadi syarat pelaksanaan, bukan syarat wajib, ibarat haji dan umrah. Atau menguasakan hal-hal yang bersifat penyempurna dalam sebuah ibadah, ibarat pembagian harta zakat pada mereka yang berhak

Berakhirnya Kontrak Al-Wakalah

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terhentinya kontrak al-wakalah, yakni:

1.Al-Faskh (pembatalan kontrak)

Sebagaimana di atas bahwa al-wakalah yaitu jenis kontrak ja'iz min at-tharafain, yakni bagi kedua pihak berhak membatalkan ikatan kontrak, kapanpun mereka menghendaki. Sehingga ketika al-muwakkil memberhentikan al-wakil dari kuasa yang dilimpahkan, baik dengan ucapan langsung, mengirim kabar atau surat pemecatan, maka status al-wakil sekaligus hak kuasanya ketika itu juga dicabut. Hal ini berlaku baik al-wakil hadir atau tidak hadir, mendengar atau tidak mendengar perihal perihal pemecatannya. Dan apabila al-wakil hingga terlanjur melaksanakan tasharruf, maka dinilai batal, meskipun al-wakil belum mendapatkan kabar pemecatan dirinya. Sebanding ketika pihak al-wakil yang mengundurkan diri dari kontrak, maka al-wakalah ditetapkan berakhir meskipun al-muwakkil belum mengetahuinya.

2.Cacat kelayakan tasharruf-nya

Yakni ketika salah satu dari kedua belah pihak mengalami gila, ditetapkan safih (cacat sebab menyia-nyiakan harta) atau falas (cacat sebab harta tidak setimpal dengan beban hutang). Atau sebab mengalami kematian, baik diketahui oleh pihak yang lain atau tidak.

3.Hilangnya status kepemilikan atau hak dari pemberi kuasa (al-muwakkil).

Hal ini terjadi ketika al-muwakkil semisal menjual sepeda motor yang dikuasakan kepada al-wakil untuk disewakan, sepeda motor dicuri atau mungkin mengalami kerusakan total. Contoh al-muwakkil yang kehilangan haknya yaitu wali yang mewakilkan penjualan harta milik anak kecil tanggungannya, kemudian di tengah berlangsungnya al-wakalah, anak kecil tersebut menginjak usia baligh.

terima kasih sudah mau membaca.
Show comments
Hide comments

0 Response to "Konsep Dan Dasar-Dasar Al-Wakalah"

Post a Comment

Blog ini merupakan Blog Dofollow, karena beberapa alasan tertentu, sobat bisa mencari backlink di blog ini dengan syarat :
1. Tidak mengandung SARA
2. Komentar SPAM dan JUNK akan dihapus
3. Tidak diperbolehkan menyertakan link aktif
4. Berkomentar dengan format (Name/URL)

NB: Jika ingin menuliskan kode pada komentar harap gunakan Tool untuk mengkonversi kode tersebut agar kode bisa muncul dan jelas atau gunakan tool dibawah "Konversi Kode di Sini!".

Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close